Jayapura, Jubi – Suster Nelly Imbiri tak menyangka pelatihan 12 tahun lalu adalah awal dirinya berkenalan dengan kusta. Ia memang sudah mendengar kusta, tapi bagi tenaga kesehatan belum menjadi suatu hal yang lumrah.
“Tidak semua orang kesehatan mengenal kusta dengan baik. Pada saat itu saya berpikir, saya disuruh ikut kegiatan setelah itu selesai. Belum tahu tanggung jawab apa yang ada di belakang saya. Biasanya dong bilang latihan lain, main lain,” katanya.
Setelah ikut pelatihan suster Imbiri kembali bertugas seperti biasa. Ia belum menangani pasien kusta, tapi masih menangani pasien-pasien sakit lainnya. Imbiri bertugas di Puskesmas Abepantai, Kota Jayapura.
Walaupun telah mendapatkan ilmu tentang kusta melalui pelatihan, ia belum begitu mengetahui secara dalam tentang penyakit kusta. Ia juga belum pernah menangani pasien kusta.
Agar ilmu yang dipelajari tidak sia-sia, Imbiri kemudian bergabung dengan teman-teman juru kusta di Kota Jayapura. Dari situ ia tidak hanya belajar tentang penyakit kusta, tetapi sudah mulai melihat secara langsung pasien kusta.
“Di situ saya bertemu dengan banyak senior juru kusta,” ujarnya.
Di situ Imbiri mulai terlibat aktif dalam setiap kegiatan tentang kusta. Ia juga mulai terlibat dalam survei mencari pasien kusta. Ia bersama juru kusta lainnya masuk dari satu rumah ke rumah lainya mencari pasien. Secara perlahan itu melatihnya mengenali kusta dan cara penangannya.
“Saya mulai latih diri, ikut kegiatan, survei masuk orang pu rumah dari rumah ke rumah. Dari situ mulai mengasah atau melatih saya merawat orang kusta,” katanya.
Ada seorang pasien yang membuatnya semakin mencintai pekerjaannya merawat penderita kusta. Imbiri menceritakan ketika itu ada seorang laki-laki berumur 67 tahun datang ke Puskesmas Abepantai. Imbiri kemudian mengetahui bahwa bapak itu penderita kusta. Waktu itu Imbiri hanya meresepkan obat, lalu menganjurkan secara teratur mengkonsumsi obat.
Tujuh bulan berlalu sejak diperiksa di Puskesmas Abepantai, pasien tersebut menelepon Imbiri. Dalam percakapan pasien meminta agar ia dirujuk ke Biak agar dekat dengan keluarganya.
“Dia telepon bilang suster saya mau pulang. Saya tanya kenapa mau pulang? Dia bilang biar kalau saya ada apa-apa di kampung tidak jadi masalah,” ujarnya.
Imbiri kemudian mengajak pasiennya untuk bertemu di puskesmas. Pasien itu dalam kondisi tidak baik-baik, karena sedang kesakitan. Dari pertemuan itu Imbiri mengetahui bahwa pasiennya hanya minum obat dan jarang makan. Imbiri kemudian mengajaknya makan, meresepkan obat, dan menganjurkan untuk pulang istirahat.
Selang satu hari, tepatnya pada Mminggu laki-laki tersebut menelepon Imbiri. Ia menyampaikan bahwa dalam keadaan sakit dan tidak bisa bergerak. Imbiri kemudian dengan cepat melaju ke kos pasien tersebut.
Sesampainya di kos Imbiri terkejut melihat kondisi pasiennya. Imbiri menceritakan tubuh pasiennya seperti terbakar. Ternyata itu adalah efek dari obat kusta dapson.
“Saya datang ke kosnya. Di situlah pertama kali saya melihat efek obat depson pada penderita kusta. Hancur semua tubuhnya, kayak orang terbakar. Waduh, apa yang saya buat,” ujarnya.
Situasi itu membuat Imbiri panik dan bingung, karena pertama kali dihadapkan dengan kondisi pasien kusta seperti itu. Ia lalu menelepon teman dokternya dan menceritakan kondisi pasiennya. Dokter lalu memberitahukan cara penangannya.
“Si Bapak hanya terkapar dengan baju dalam saja. Hancur badannya. Seperti orang dibakar. Tidur saja begitu. Bapak bilang ke saya biar sudah suster saya mati saja, antar saja saya pulang,” katanya.
Mendengar permintaan itu, Imbiri meminta diberikan waktu seminggu untuk merawatnya. Pasien tersebut tidak mau, tapi Imbiri tetap bersikukuh langsung membawanya ke rumah sakit.
Selama menangani pasien Imbiri memposisikan para pasien sebagai keluarganya, saudaranya, dan orang tuanya. Ada kebahagian tersendiri bagi Imbiri ketika melihat pasien bisa kembali pulih.
Secara perlahan-perlahan dengan perawatan yang baik pasiennya mulai pulih. Bagi Imbiri kalau semua hal dikerjakan dengan hati maka segala sesuatu pasti akan baik.
Imbiri akhirnya mengizinkan pasiennya dirujuk ke Biak agar dekat dengan keluarganya. Imbiri juga masih berkabar dengan pasiennya hingga saat ini.
“Desember 2021 dia kasih ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru. Ini pengalaman yang membuat saya jatuh cinta sama kusta,” ujarnya.
Masih ada stigma
Namun semua itu tidak dilaluinya dengan gampang. Imbiri menceritakan banyak sekali kendala yang dihadapi dalam mencari hingga menangani pasien. Sebab tidak semua pasien bersedia datang memeriksa dan berobat ke puskesmas.
Imbiri menceritakan masih ada stigma di tengah masyarakat terhadap pasien kusta. Penyakit kusta masih dianggap sebagai suatu penyakit yang tabu.
“Terkadang pasien yang mau berobat itu jadi tidak mau. Keluarga dong bisa telepon jangan ke rumah nanti ada yang tahu kami di keluarga ada yang sakit kusta,” ujarnya.
Kepercayaan juga merupakan tantangan terberat. Imbiri menyampaikan dalam mencari dan menangani pasien kusta tidak bisa secara langsung. Ia harus mencari cara, salah satunya melalui orang-orang tua atau pendeta yang biasa didengar masyarakat. Melalui pendeta pula Imbiri meminta bantuan untuk memantau obat pasiennya.
”Saya masuk lewat orang yang dituakan, lewat lingkungan mereka. Biasanya mereka nurut,” katanya.
Wilayah kerja Imbiri berada di sekitar daerah Koya Koso. Ia banyak menangani pasien dari Mamberamo dan Pegunungan Bintang. Setiap kali terjun ke pemeriksaan langsung dibarengi dengan pengobatan, karena rata-rata pasien yang ditangani kehidupan ekonominya lemah.
“Kendala yang kami hadapi mereka tinggal di gunung-gunung di kilometer 12, kilometer 14 di Koya. Kami kalau naik harus berbarengan dengan pengobatan. Mereka terkadang kendala di ongkos pengambilan obat,” ujarnya.
Imbiri sudah melayani sejak dari 2010 sehingga biasa menggunakan motor sendiri. Ia biasa bertemu dengan pasien di Koya Koso. Terkadang ia harus bertemu dengan pasien di rumahnya, karena ada pasien yang belum menerima keadaan dan harus ke rumahnya untuk menjelaskannya.
“Kalau kita paksa, dia minum obat satu dua hari setelah itu lepas. Jadi kami langsung ke rumah,” katanya.
Selama pasien menjalani pengobatan dukungan dari keluarga dan lingkungannya sangat penting. Sebab pada saat seseorang diterima di keluarganya maupun lingkungannya maka motivasinya untuk sembuh akan tinggi.
Selain itu perlu peran pemerintah karena kalau hanya tenaga medis atau keluarga saja, tapi peran pemerintah kurang akan sangat berat. Karena pemerintah yang mempunyai kebijakan, salah satunya dukungan lewat ketersedian obat-obatan.
“Kalau kita sendiri tanpa dukungan pemerintah akan setengah mati,” ujarnya. (*)
Discussion about this post