Jayapura, Jubi – Majelis Rakyat Papua atau MRP menyatakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review yang diajukan lembaga kultur orang asli Papua itu, belum sepenuhnya mencerminkan kepastian hukum.
Ketua MRP Timotius Murib mengatakan, dalam putusannya pada Rabu (31/08/2022), MK menolak judicial review yang diajukan MRP.
Judicial review itu dilakukan berkaitan delapan pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021, tentang perubahan kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 tetang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Namun menurutnya, putusan itu belum sepenuhnya mencerminkan kepastian hukum. Sebab menurut MK terjadi pro dan kontra dalam internal sembilan hakim konstitusi untuk memutuskan perkara itu.
“Jadi ini kelihatannya masih [belum] memberikan kepastian hukum, yang tidak pasti. Kenapa? Mahkamah Konstitusi, anggota sendiri di dalamnya itu masih ada pro dan kontra,” kata Timotius Murib dalam siaran pers yang diterima Jubi, Kamis (01/09/2022).
Akan tetapi menurut Timotius Murib, MRP pada prinsipnya menganggap putusan MK itu sudah sah, dan menerimanya. Sebab, merupakan putusan final terhadap judicial review yang diajukan pihaknya sejak setahun silam.
“Keputusan ini telah memberi penguatan terhadap Undang-Undang [Otsus] kita yang baru, sehingga seketika pelaksanaan, saya kira sudah tidak ada keraguan, atau pro dan kontra. Jadi keputusan mana yang mengikat, ya itulah yang akan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat asli orang Papua,” ujarnya.
Katanya, MRP mengajukan judicial review ke MK ketika itu, karena ada delapan pasal dalam UU Nomor 2 Tahun 2021, yang dinggap berpotensi merugikan hak-hak dasar orang asli Papua.
“Gugatan kita cukup lama kita menunggu [keputusannya], yaitu satu tahun, satu hari baru Mahkamah Konstitusi putuskan, dan hasilnya ada tiga keputusan,” ujarnya.
Timotius Murib mengatakan, dalam putusan yang dibacakan, MK juga tidak berpihak pada versi lembaga itu sendiri atau para pihak yang merevisi UU Otsus Papua, dan versi MRP.
“Ini artinya bahwa kami lihat keputusan hari ini, tidak memihak kepada orang asli Papua dan tidak memihak kepada pembuat undang-undang di Jakarta,” ucapnya.
Dalam putusannya, MK menolak seluruh permohonan yang diajukan MRP. MK berpendapat, Pasal 6 ayat (1) huruf (b), ayat (2,3,4,5 dan 6), Pasal 28 ayat (1,2,dan 4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), Pasal 68 a ayat (1) dan Pasal 76 ayat (1,2 dan 3) dan Pasal 77 UU Otsus Papua Baru tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminasi terhadap Orang Asli Papua.
Dengan demikian, seluruh pasal itu dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. MK menyatakan permohonan MRP tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
MRP juga tidak memiliki kedudukan hukum, mengajukan permohonan Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3) dan Pasal 76 ayat (1,2 dan 3) dan Pasal 77 UU Otsus Papua Baru. (*)