Jayapura, Jubi – Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib mengatakan Otonomi Khusus atau Otsus yang dihadirkan di Tanah Papua bukan merupakan hadiah dari pemerintah pusat di Jakarta. Otsus Papua merupakan win-win solution atas tuntutan Orang Asli Papua yang pada 1999 menyampaikan tuntutan untuk merdeka dari Indonesia.
Hal itu disampaikan Timotius Murib sebagai kritik terhadap pemerintah pusat yang secara sepihak mengubah substansi Otonomi Khusus Papua melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru). Seharusnya, pemerintah pusat melibatkan Orang Asli Papua dalam mengevaluasi pelaksanaan Otsus Papua sejak 2001.
“Dengan berakhirnya Otsus [Papua] tahun 2001, pada tahun 2021 orang Papua menunggu momentum bagaimana mengevaluasi Otsus. Akan tetapi, yang terjadi Otsus dievaluasi sepihak oleh pemerintah pusat, tanpa melibatkan Orang Asli Papua secara utuh,” kata Murib.
MRP telah mengajukan permohonan uji materiil UU Otsus Papua Baru di Mahkamah Konstitusi, karena UU Otsus Papua Baru dianggap mengubah substansi Otsus Papua. UU Otsus Papua Baru itu misalnya mengurangi kewenangan MRP untuk menyetujui atau menolak rencana pemekaran Papua. Dengan UU Otsus Papua Baru itu pula DPR RI secara sepihak menyusun tiga RUU pemekaran Papua yang kini ramai diprotes rakyat Papua.
“[Pembuatan tiga RUU] itu tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. [Dalam UU Otsus Papua yang lama itu diatur bahwa] pemekaran Papua harus melalui persetujuan DPR Papua dan MRP,” kata Murib.
Murib menyatakan UU Otsus Papua Baru telah menghapuskan ciri khusus dan hak Orang Asli Papua yang sebelumnya dijamin oleh Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama). Seolah satir, Murib menyarankan kepada DPR Papua untuk menjalankan saja semua undang-undang yang bersifat umum, kendati undang-undang itu bertentangan dengan semangat Otsus Papua, karena Otsus Papua memang sudah tidak ada lagi.
“Saya sarankan DPR Papua lebih bagus meniadakan Otsus. Biarkan saja, jalankan peraturan seperti biasa. Mungkin itu yang bisa, karena ciri khusus hak orang Papua yang dipikir ada dalam Otsus Papua itu sudah tidak ada lagi, karena UU Otsus Papua Baru. Sudah tidak ada lagi undang-undang khusus bagi orang Papua. [Pengatura di Papua saat ini] sama saja dengan peraturan umum lainnya, jadi kepala daerah harus tahu itu,” papar Murib.
Murib juga menyayangkan pernyataan Bupati Jayapura yang menuding MRP tidak mengakomodir aspirasi dukungan pemekaran Papua untuk membentuk Daerah Otonom Baru (DOB). “Kami menyampaikan aspirasi penolakan pemekaran berdasarkan suara mayoritas masyarakat Papua, dan bukan kepentingan segelintir elit politik di Papua,” kata Murib.
“MRP tidak berdiri pada posisi memihak atau menolak [pemekaran Papua] tapi berfokus kepada aspirasi mayoritas masyarakat. Itu yang harus dipahami oleh para bupati dan kepala daerah di Papua. MRP tidak berada pada posisi menolak atau menerima Daerah Otonom Baru, tapi MRP menyampaikan aspirasi penolakan yang disampaikan mayoritas Orang Asli Papua,” kata Murib menegaskan.
Ia meminta para bupati dan wali kota di Papua untuk membaca dulu isi UU Otsus Papua Baru, dan membandingkannya dengan isi UU Otsus Papua Lama. “Jika dianggap kepastian, bahwa ketika Papua dimekarkan orang Papua akan mendapat kesejahteraan, itu tipu dan omong kosong,” ujar Murib.
Sebelumnya, Koordinator Papuan Observatory for Human Rights atau POHR, Thomas Ch Syufi menyatakan usulan pembentukan Daerah Otonom Baru atau DOB di Papua bukan kemauan rakyat Papua. Ia menyatakan mayoritas rakyat Papua justru menolak rencana pemekaran Papua dan Papua Barat.
Syufi menilai rencana pemekaran Papua dan Papua Barat selama ini digaungkan kalangan elite birokrasi. Usulan itu lebih didasari kepentingan pragmatis para elite politik Papua yang berkolaborasi dengan elite politik nasional yang ingin memecah belah rakyat Papua.
“Jadi, ada dua kepentingan yang bersekutu [dalam rencana pemekaran Papua dan Papua Barat]. Yakni kepentingan elite nasional adalah ingin mengokupasi Papua dengan kepentingn bisnis, dan elite lokal Papua,” katanya.
Syufi mengatakan rencana pemekaran Papua dan Papua Barat itu merupakan upaya memperlemah gerakan yang menuntut pemisahan Papua dari NKRI. Ia menilai upaya pemekaran Papua dan Papua Barat itu irasional, karena penduduk Papua yang sedikit akan dibagi dalam empat hingga lima provinsi baru.
Ia mengingatkan, pembentukan Provinsi Papua Barat yang merupakan hasil dari pemekaran Provinsi Papua belum sepenuhnya berhasil mengangkat kesejahteraan Orang Asli Papua. “Kalau pemekaran untuk pembagian jabatan dan pemerataan tenaga kerja Pegawai Negeri Sipil, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan lain-lain, sebaiknya ditunda saja,” ujar Syufi. (*)
Discussion about this post