Jayapura, Jubi – Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah atau DPOD Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto Sumito menyatakan ada 63 usulan pembentukan Daerah Otonom Baru atau DOB di Provinsi Papua. Hal itu disampaikan Sudarjanto selaku pembicara dalam webinar Papua Strategic Policy Forum #12 “Pemekaran Sebagai Resolusi Konflik?” yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada pada Rabu (6/7/2022).
Sudarjanto mengatakan 63 usulan pembentukan Daerah Otonom Baru itu terdiri dari tujuh usulan pembentukan provinsi baru, dan 56 usulan pembentukan kabupaten/kota baru. “Usulan itu sudah disampaikan sejak jauh hari, ada yang disampaikan 2003. [Itu] dari daftar kami di Penataan Daerah, Otonomi Khusus dan DPOD Kementerian Dalam Negeri,” ujarnya.
Menurutnya usulan pembentukan daerah otonomi baru itu langsung disampaikan oleh masyarakat Papua, tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh adat Papua. “Kami hampir tiap hari mendapatkan kunjungan baik dari pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama Papua yang datang kepada kami untuk menyampaikan aspirasi [pemekaran] tersebut,” ujarnya.
Sudarjanto usulan pembentukan Daerah Otonom Baru di Provinsi Papua itu termasuk usulan yang disampaikan 61 tokoh masyarakat Papua yang bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 20 September 2019. Usulan dalam pertemuan itu kemudian melahirkan tiga provinsi baru di Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Pegunungan.
“Permintaan tokoh dari Papua dan Papua Barat, terkait pemekaran di Provinsi Papua dan Papua Barat. Tanggapan Presiden Jokowi saat itu, meminta pemekaran [Papua] paling banyak menjadi lima, dimulai tiga duluan. Hal itu langsung disambut baik,” katanya.
Sudarjanto menerangkan ada beberapa alasan yang menjadi dasar munculnya usulan pemekaran Papua. Antara lain bahwa pemekaran akan membawa dampak positif bagi kesejahteraan Orang Asli Papua. Pemekaran Papua juga dinilai memberikan ruang partisipasi yang lebih bagi Orang Asli Papua, membuka keterisolasian, memperkokoh Papua sebagai bagian dari NKRI.
Pemekaran Papua dinilai mempercepat pemerataan pembangunan, dan memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintahan dan lain-lainnya. “Itu alasan yang kami kumpulkan dari masyarakat Papua yang menginginkan pemekaran,” ujarnya.
Kendati menyatakan pemekaran Papua berdampak positif, Sudarjanto menyatakan pemerintah pusat tidak serta merta akan menerima semua usulan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua. Ia menyampaikan pemerintah saat ini fokus untuk mengawal penataan dan pembentukan perangkat daerah di ketiga provinsi yang baru dibentuk di Papua.
“Kami akan menyesuaikan dulu dengan kondisi perkembangan yang ada. Saat ini pemerintah [dan DPR RI] fokus kepada tiga [provinsi baru hasil] pemekaran,” katanya.
Selalu pembicara dalam webinar itu, Deputi Bidang Politik dan Pemerintahan Jaringan Damai Papua atau JDP, Pares L Wenda mengatakan pemekaran Papua untuk membentuk tiga provinsi baru bukanlah resolusi untuk menyelesaikan konflik Papua. Wenda mendesak pemerintah lebih fokus menyelesaikan empat akar masalah Papua yang telah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ketimbang membentuk Daerah Otonom Baru di Papua.
Wenda menyampaikan pembentukan Daerah Otonom Baru di Papua tidak bisa dilihat sebagai resolusi atas konflik Papua, karena bukan aspirasi aspirasi murni masyarakat Papua. Wenda menyatakan hingga saat ini masyarakat Papua bersama para mahasiswa terus melakukan penolakan terhadap pembentukan tiga provinsi baru itu.
Wenda menerangkan bahwa pemekaran tiga provinsi ini diinisiasi pemerintah pusat bersifat sangat politis, sebab merupakan aspirasi tokoh elit lokal maupun nasional. Wenda khawatir pembentukan Daerah Otonom Baru tidak akan meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua.
“Apakah pemekaran akan meningkatan kesejahteraan bagi orang asli Papua, atau hanya menyejahterakan para pejabat, dan para pejabat hanya melayani diri sendiri,” kata Wenda.
Wenda menyatakan pemerintah pusat harus fokus untuk menyelesaikan empat akar masalah Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, kini menjadi Badan Inovasi Riset Nasional atau BRIN). Keempat akar masaah Papua yang dirumuskan LIPI itu adalah masalah status dan sejarah politik Papua, kegagalan pembangunan, pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan marginalisasi terhadap orang asli Papua.
“Penyelesaian masalah-masalah itu dapat dilakukan dengan cara menghadirkan atau mendudukan semua pihak yang terlibat konflik selama ini di Papua. JDP akan senantiasa menjadi jembatan untuk memfasilitasi (penyelesaian) pihak-pihak yang berkonflik dalam hal ini konteks konflik yang sering disebut konflik Jakarta dengan Papua,” ujarnya. (*)
Discussion about this post