Enarotali, Jubi – Rakyat Papua di berbagai wilayah pada Kamis (1/12/2022) memperingati peristiwa 1 Desember 1961, hari di mana bendera Bintang Kejora dikibarkan di halaman Kantor Nieuw Guinea Raad atau Dewan Nugini Belanda di Holandia, tepat disamping bendera Belanda. Buruknya penerapan Otonomi Khusus Papua sejak 2001 dinilai sebagai wujud kebohongan Pemerintah Indonesia kepada Orang Asli Papua, dan menjadi sorotan peringatan 1 Desember oleh mahasiswa dan aktivis asal Papua di Jember, Jawa Timur.
Dalam peringatan 1 Desember di Jember, Juru bicara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Jember, Vilex Kogoya menyatakan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) lahir sebagai respon Pemerintah Indonesia terhadap tuntutan kemerdekaan Papua. UU Otsus Papua menjanjikan kedaulatan bagi rakyat West Papua yang termajinalisasi, mengobati luka lama akibat penindasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan mengakomodasi kehadiran partai politik lokal. Namun nyatanya 20 tahun pelaksanaan UU Otsus Papua gagal mencegah terjadinya berbagai kasus kekerasan di Papua, dan gagal meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua.
“Lembaga pemerintahan lokal menjadi sasaran campur tangan dan pengawasan pemerintah pusat demi menyingkirkan kandidat yang prokemerdekaan [Papua]. Implementasinya pun lebih terfokus pada proyek pembangunan. Kendati UU Otsus Papua mengklaim hendak mengangkat derajat orang West Papua yang termarjinalisasi melalui proyek pembangunan, faktanya dana proyek itu lebih sering diselewengkan,” kata Vilex Kogoya kepada Jubi melalui keterangannya, Selasa, (2/12/2022).
Kogoya menilai selama pelaksanaan Otsus Papua, aparat keamanan meraih keuntungan dari berbagai eksploitasi sumber daya alam Papua. Sepanjang Otsus Papua, aparat keamanan menggelar berbagai operasi, melahirkan berbagai kasus kekerasan baru, dan kebebasan berekspresi secara damai di Papua tetap terbungkam.
“Larangan pengibaran bendera Bintang Kejora tetap diberlakukan. Dan tidak ketinggalan, tetap terjadi pembunuhan di luar hukum oleh TNI dan Polri,” ucap Kogoya.
Kogoya menyebut berbagai kegagalan Otsus Papua itulah yang membuat organisasi masyarakat sipil dan aktivis politik di Papua menolak evaluasi Otsus dan rencana pemerintah merevisi UU Otsus Papua. Pada Juli 2020, 16 kelompok masyarakat membentuk Petisi Rakyat Papua (PRP) yang telah menerima lebih dari 700.000 cap jempol dan tanda tangan untuk menolak perpanjangan Otsus Papua.
“PRP membantah klaim Jakarta yang mengatakan bahwa Otsus berhasil menyejahterakan dan mengikutsertakan orang asli West Papua dalam memerintah wilayah mereka. PRP juga menunjukkan keberatan atas meningkatnya militerisasi di West Papua dan menuntut Pemerintah Indonesia segera berhenti mereduksi persoalan-persoalan pokok rakyat West Papua ke dalam pembahasan dana Otsus,” ujar Kogoya.
Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga kultural Orang Asli Papua yang dibentuk oleh UU Otsus Papua, juga menolak revisi UU itu. Apalagi belakangan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) justru mengebiri Otsus Papua, dan mengurangi kewenangan MRP untuk menyetujui atau menolak pemekaran Provinsi Papua. Berbagai elemen rakyat Papua berunjuk rasa menolak pemekaran Papua itu, namun berbagai demontrasi itu diabaikan, bahkan direpresi dengan alasan pandemi COVID-19.
Di sisi lain, satuan teritorial aparat keamanan terus dimekarkan, mengikuti pemekaran provinsi dan kabupaten yang terjadi pada periode terdahulu. Banyak pihak menilai pemekaran satuan teritorial aparat keamanan itu terkait dengan kepentingan pemodal untuk mengambil sumber daya alam Papua. “Sejak lama, militer Indonesia terlibat dalam kegiatan ekonomi ilegal di West Papua, termasuk di usaha penebangan kayu dan pengamanan perusahaan pertambangan dan perkebunan, yang menggusur orang-orang West Papua dari tanahnya,” kata Kogoya. .
Kogoya mengkritik berbagai operasi aparat keamanan yang menimbulkan kekerasan baru di Papua. Ia juga menilai berbagai operasi aparat keamanan bias kepentingan untuk memuluskan kepentingan pemodal mengambil sumber daya alam di Papua.
“Hal itu menimbulkan pertanyaan, apakah operasi melawan pemberontakan tersebut sebenarnya untuk memenuhi tujuan yang kerap pemerintah nyatakan, atau tidak lebih dari sumber pendapatan lain? Belum lagi kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga—Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemanion Nirigi dan Atis alias Jenius Tini yang jelas-jelas dlakukan oleh militer Indonesia diatas tanah West Papua,” kata Kogoya.
Kordinator lapangan aksi peringatan 1 Desember oleh AMP Komite Kota Jember, Matias Yatipai mengatakan Presiden Joko Widodo mengizinkan militer memperluas satuan teritorialnya dengan pembentukan Komando Daerah Militer XVIII/Kasuari di Provinsi Papua Barat. Sejumlah satuan teritorial baru juga dibentuk di tingkat kabupaten atau gabungan kabupaten. Ia juga mengkritik pemerintahan Jokowi yang membangun Jalan Trans Papua dengan alasan meningkatkan aksesibilitas dan pelayan publik di Papua, namun jalan itu justru dipakai untuk mempercepat pergerakan aparat keamanan.
“Keberadaan militer dan polisi yang mencolok telah menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat sipil. Tidak ada cara yang sederhana untuk mengukur efek pendudukan militer. Insiden kekerasan, termasuk penyiksaan, pelecehan dan intimidasi serta pelanggaran lain, misalnya, tidak dapat dipertanggungjawabkan,” kata Yatipai.
Yatipai menilai militerisasi di Tanah Papua sudah pada level yang memprihatinkan, dan telah terbukti gagal menghentikan konflik bersenjata di Papua. “Serangkaian penjelasan di atas dapat menyimpulkan bahwa akar permasalahan yang terjadi di West Papua adalah cacatnya sejarah integrasi. Kondisi ini kemudian membuahkan praktek militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM [seperti] pembunuhan di luar hukum, penangkapan, penyiksaan, pembungkaman kebebasan berpendapat, penyingkiran Orang Asli Papua, dan kerusakan lingkungan,” kata Yatipai.
Melalui momentum peringatan peristiwa 1 Desember 1961, Yatipai menyatakan pihaknya menuntut pemenuhan Hak Menentukan Nasib Sendiri melalui referendum. Referendum dinilai sebagai solusi demokratis atas konflik bersenjata di Papua, kekerasan dan pelanggaran HAM yang berkepanjangan, serta diskriminasi dan marjinalisasi Orang Asli Papua. “Diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni Hak Menentukan Nasib Sendiri. Tentu dengan tidak mengesampingkan demiliterisasi di Papua terlebih dahulu,” pungkasnya. (*)