Jayapura, Jubi – Kuasa hukum korban pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika, Gustaf R Kawer menyatakan berkas perkara enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo telah dilimpahkan ke Makassar dan Jayapura. Meskipun demikian, Kawer menegaskan bahwa keluarga keempat korban tetap meminta keenam prajurit TNI itu diadili melalui pengadilan koneksitas yang digelar di Pengadilan Negeri Kota Timika.
Hal itu disampaikan Gustaf R Kawer kepada Jubi melalui layanan pesan WhatsAap pada Senin (24/10/2022).”Kami baru terima laporan bahwa pada tanggal 17 Oktober 2022 Polisi Militer di Mimika sudah melipahkan [berkas perkara] pelaku berpangkat Mayor kepada Oditurat Militer Tinggi IV Makassar. [Berkas perkara] mereka yang berpangkat kapten dan dibawahnya dilimpahkan ke Oditurat Militer IV-20 Jayapura,” kata Kawer.
Kawer menjelaskan pada 12 Oktober 2022 lalu keluarga korban telah menemui Oditurat Militer IV-20 Jayapura, dan menanyakan berkas perkara para anggota TNI yang menjadi tersangka pembunuh dan mutilasi di Mimika. “Keluarga minta sidang koneksitas digelar [di Pengadilan Negeri Kota Timika] agar [ada] keadilan bagi keluarga, dan keluarga dapat menyaksikan proses persidangan,” kata Kawer.
Pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil asal Kabupaten Nduga terjadi di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022 lalu. Keempat korban itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.
Polisi Militer Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih telah menetapkan enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo sebagai tersangka kasus itu, yaitu Mayor Hf, Kapten Dk, Praka Pr, Pratu Ras, Pratu Pc, dan Pratu R. Sementara penyidikan Kepolisian Daerah (Polda) Papua telah menetapkan empat warga sipil sebagai tersangka kasus yang sama, yaitu APL alias Jeck, DU, R, dan Roy alias RMH.
Kawer menilai pelimpahan berkas perkara keenam prajurit TNI ke Makassar dan Jayapura menunjukkan bahwa Negara tidak serius menyelesaikan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua. Kawer meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkuham) maupun Kementerian Pertahanan memastikan keenam prajurit TNI itu tetap diadili melalui peradilan koneksitas di Pengadilan Negeri (PN) Kota Timika.
“Kami meminta kepada Kemenhumkam dan Kementerian Pertahanan mengeluarkan rekomendasi agar kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika dapat disidangkan di Mimika, sesuai permintaan keluarga,” kata Kawer.
Kawer juga mengkritik penyidikan yang dilakukan Polisi Militer, karena terkesan lebih menonjolkan kasus pembunuhan dan mutilasi Mimika sebagai kasus pencurian dengan kekerasan ketimbang kasus pembunuhan berencana. Kawer menyatakan seharusnya penyidik Polisi Militer menempatkan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana sebagai sangkaan utama bagi keenam prajurit TNI itu.
Berbagai pihak juga telah menyampaikan harapan mereka agar enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo yang menjadi tersangka pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika dapat diadili di Pengadilan Negeri Kota Timika. Permintaan itu antara lain disampaikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI dalam keterangan pers Komnas HAM RI di Jakarta pada 20 September 2022 lalu.
“Kami mendorong dilakukan pengadilan koneksitas. Itu legal, dan bisa dilaksanakan. Apalagi pelakunya dari prajurit TNI dan [warga] sipil. Kami berharap Panglima dan Kepala Staf Angkatan Darat mendorong penegakan hukum secara koneksitas,” kata Komisioner Komnas HAM RI, Choirul Anam saat mengumumkan hasil pemantauan dan penyelidikan awal Komnas HAM RI atas kasus itu, Selasa.
Choirul menyatakan selama proses pemantauan dan penyelidikan awal yang dilakukan pada pada 2 – 4 September 2022 dan 12 – 16 September 2022 lalu, tim Komnas HAM bertemu dengan keluarga korban, aktivis HAM, dan advokat pendamping keluarga korban. Menurutnya, semua pihak itu meminta agar enam prajurit yang menjadi tersangka kasus itu diadili di Pengadilan Negeri Kota Mimika.
Menurut Choirul, berbagai pihak itu meminta keenam prajurit TNI diadili di Mimika agar mereka bisa memastikan proses persidangan berjalan transparan, dan keluarga korban bisa menyaksikan persidangan itu. “Kalau pengadilannya di Pengadilan Negeri Kota Timika, secara psikologis masyarakat bisa melihat langsung gelar sidangnya. Itu juga permintaan dari keluarga korban. [Menggelar peradilan] koneksitas di Mimika juga membuat orang mudah untuk bersaksi,” ujar Choirul
Choirul menyatakan persidangan koneksitas merupakan jalan terbaik untukmemberi rasa keadilan bagi keluarga korban. Ia menyatakan persidangan koneksitas yang digelar di Pengadilan Negeri Kota Timika akan menunjukkan pemerintah memiliki komitmen nilai kemanusiaan yang sama dengan semua pemangku kepentingan dalam kasus itu, khususnya keluarga keempat korban.
“Untuk menunjukkan komitmen kemanusiaan [kita], maka persidangan koneksitas adalah jalan yang terbaik. Misalnya, kasus [dugaan pelanggaran HAM berat] Paniai [yang akan disidangkan] di Makassar, orang Paniai ke Makassar juga berat. Kendala teknis seperti itu jangan terjadi dalam kasus mutilasi ini. Rasionalitasnya [sidang dilakukan] di Mimika, dan dilakukan dengan (persidangan) koneksitas,” kata Choirul. (*)