Jayapura, Jubi – Koordinator Lapangan demonstrasi Petisi Rakyat Papua, Warpo Wetipo menyatakan pihaknya menyeru Pemerintah Indonesia untuk mencabut Otonomi Khusus Papua Jilid 2. Petisi Rakyat Papua juga menolak pembentukan tiga provinsi baru hasil pemekaran Papua, dan menuntut Pemerintah Indonesia menggelar referendum bagi rakyat Papua.
Wetipo mengatakan proses pembahasan dan pengesahan tiga Rancangan Undang-undang (RUU) tentang pemekaran Papua maupun proses pembahasan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) dilakukan secara sepihak dan tidak melibatkan rakyat Papua maupun Majelis Rakyat Papua. Bagi Petisi Rakyat Papua, hal itu menunjukkan bahwa pemekaran Papua maupun Otonomi Khusus Papua merupakan agenda sepihak Jakarta.
“Rakyat Papua berkali-kali merespon kebijakan sepihak kolonialisime Indonesia dengan aksi demonstrasi besar-besaran [Petisi Rakyat Papua], baik di Papua maupun di luar Papua. Demonstrasi berlangsung di Jayapura, Sorong, Wamena, Paniai, Dogiyai Deyai Nabire, Serui, Biak, Manokwari, Merauke, dan demonstrasi di Yahukimo yang berujung dengan jatuhnya korban jiwa. Di luar Papua, demonstrasi berlangsung di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Jember, Bali, Makasar, Ambon, Ternate, Kupang dan Ambon,” katanya.
Wetipo mengatakan Petisi Rakyat Papua menyadari bahwa pemekaran Papua yang diikuti dengan pembentukan tiga provinsi baru sudah jauh-jauh hari dirancang Pemerintah Indonesia. “Itu mengapa pembahasan RUU tentang Daerah Otonom Baru disepakati secara sepihak untuk mempertahankan kekuasaan penjajahan Indonesia di West Papua. Rakyat Papua dengan sadar menolak Otonomi Khusus, sebab Otonomi Khusus Papua diberikan oleh Jakarta untuk meredam gerakan rakyat Papua menuntut kemerdekaan Bangsa West Papua,” katanya.
Wetipo mengatakan pemekaran Papua mengakibatkan polarisasi politik identitas di Papua. “Kehidupan masyarakat Papua sudah sangat jauh bergeser ke politik identitas berdasarkan warna kulit, gunung-pantai, suku, marga, hingga kelompok berdasarkan kepentingan. Daerah [hasil] pemekaran justru [mempertajam] persaingan dari kondisi sebelumnya. Lantas nasib orang Papua yang jumlah populasinya sangat sedikit justru mengalami perpecahan,” katanya.
Petisi Rakyat Papua menilai bahwa keberadaan orang Papua sangat jauh dari kata sejahtera. Ia menyinggung kasus gizi buruk yang terus terjadi di Papua, angka buta huruf dan buta aksara yang tinggi di wilayah penghasil emas dan gas terbanyak di Indonesia.
Wetipo menyebut Kabupaten Mimika sebagai kabupaten dengan tingkat kesejahteraan rakyat yang rendah, padahal menjadi lokasi tambang PT Freeport Indonesia. “Marginalisasi merupakan salah satu bentuk penjajahan di West Papua. Orang Papua yang sedikit menemukan problem untuk mengisi semua lini kehidupan suatu daerah pemekaran. Kondisi penjajahan itu berakibat kepada lambatnya perkembangan sumber daya manusia Papua,” katanya.
Wetipo mengatakan Petisi Rakyat Papua menilai pemekaran Papua hanya akan menjadi alasan untuk menambah markas militer di Papua. Padahal rakyat Papua sudah mengalami kekerasan aparat Indoneia sejak 1963.
“Pemekaran hanya akan menguntungkan pemodal. Pembangunan jalan, infrastruktur kota, serta aset vital lainnya dibutuhkan guna mendukung percepatan proses angkut barang mentah di Papua, untuk memajukan proses produksi barang. Dalam sejarah Papua, [kepentingan] Freeport McMoran menjadi [dasar] semangat pencaplokan Papua ke dalam NKRI, secara Paksa. Pemaksaan itu menjadi akar masalah bagi orang Papua,” katanya.
Berbagai hal di atas menjadi dasar Petisi Rakyat Papua menyatakan sikapnya:
- Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II
- Segera hentikan upaya pemekaran provinsi di wilayah West Papua.
- Elit Papua stop mengatasnamakan rakyat Papua untuk kepentingan kekuasaan.
- Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua.
- Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua.
- Stop Perampasan Tanah Adat serta stop kriminalisasi masyarakat adat di West Papua.
- Tutup Bandar Antariksa di Biak West Papua.
- Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat.
- Tolak pengembangan Blok Wabu dan tutup semua perusahaan nasional juga multinasional di seluruh wilayah West Papua.
- Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM.
- Hentikan rasisme dan tangkap pelaku politik rasial.
- Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan seluruh wilayah West Papua lainnya.
- PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif, secara adil, dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.
- Mendesak Rezim Jokowi-Ma’ruf untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung.
- Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi, dan berpendapat bagi bangsa West Papua.
- Kami mendukung perjuangan rakyat Wadas dan Jomboran melawan tambang yang merugikan.
- Kami mendukung perjuangan rakyat Indonesia menolak Omnibus Law.
- Menolak RUU KUHP.
- Hentikan perampasan tanah milik masyarakat adat Tambrauw oleh PT Nuansa Lestari Sejahtera, dan tutup semua perusahaan sawit yang beroperasi di seluruh Tanah Papua.
- Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw dan Gubernur Papua, Lukas Enembe segera mencabut Izin operasi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri di atas [tanah] adat milik masyarakat adat Grime Nawa di Kabupaten Jayapura.
- Stop militerisasi kampus, Rektor Universitas Cendrawasih, Apolo Safanpo segera menghentikan MoU dengan Korem 172/PWY, gratiskan biaya pendidikan, dan aktifkan perkuliahan tatap muka.
- DPR Papua segera gelar sidang paripurna ‘Cabut Otsus dan DOB’.
- Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!