Enarotali, Jubi – Pemberlakuan Otonom Khusus (Otsus) dan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua, merupakan bentuk penjajahan Indonesia yang diterapkan di tengah-tengah rakyat Papua.
Hal itu disampaikan Ikatan Mahasiswa Indonesia Papua (IMIPA) di Manado, Sulawesi Utara, usai imbauan umum aksi nasional yang dikeluarkan oleh Petisi Rakyat Papua (PRP) pada 5 Mei 2022 di Jayapura.
Pihaknya yang tergabung dalam PRP dan Petisi Rakyat Indonesia (PRI) For West Papua di Manado, Sulawesi Utara, turut menolak Otsus Jilid II dan pembentukan DOB, serta menuntut pemberian hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua.
“Sesuai komando, maka kami kota studi Manado, Sulawesi Utara, juga turun ke jalan dengan tujuan aksi di Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Utara, pada Selasa (10/5/2022). Sebab pola penjajahan Indonesia di Papua yakni pertama eksploitasi sumber daya alam dan manusia, kedua ekspansi modal, dan ketiga adalah marginalisasi,” kata Wilsom Itlay melalui keterangannya, Rabu (11/5/2022).
Menurutnya, ratusan mahasiswa-mahasiswi yang mengenyam pendidikan di beberapa kota/kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara antara lain di Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa (Tondano), Kota Manado, dan Kairagi, melaksanakan aksi damai pada Selasa, 10 Mei 2022.
Aksi tersebut dimulai dari asrama mahasiswa Papua Cenderawasih V Manado, dan dalam perjalanan massa aksi bergantian berorasi menolak Rancangan Undang-Undang DOB dan menuntut pemerintah mencabut Otsus Jilid II, serta tuntutan agar Indonesia segera memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.
“Aksi damai berjalan dengan baik dan aman, hingga sampai di Kantor Gubernur Sulawesi Utara, dan massa aksi diterima oleh perwakilan Gubernur Sulawesi Utara dalam hal ini Bidang Politik dan Hukum. Aspirasi kami sudah diterima dan akan ditidaklanjuti ke pemerintah pusat di Jakarta,” katanya.
Setelah menyampaikan aspirasi di Kantor Gubernur Sulawesi Utara, massa aksi kemudian meninggalkan Kantor Gubernur dengan aman dan tertib, lalu pulang ke Asrama Mahasiswa Papua Cenderawasih V Manado.
“[Aspirasi itu yakni] segera hentikan [keputusan dalam] hasil pertemuan pada 4 Maret 2022 antara Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dengan sembilan bupati yang berasal dari wilayah Pegunungan Tengah Papua. Pertemuan yang pada 4 Maret 2022 itu, mengagendakan persiapan pemekaran [pembentukan] provinsi di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Pembahasan tersebut didasarkan Pasal 76 UU ayat 3, Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,” katanya.
Koordinator lapangan aksi demonstrasi tolak pembentukan DOB dan pencabutan Otsus, Michael Giban, menyampaikan alasan pihaknya menolak pemekaran dan mencabut Otsus Jilid II, bahwa pada 1 Mei 1963 sesuai hukum internasional, Papua digabungkan dengan paksa (aneksasi) ke dalam teritori Indonesia.
“Dua tahun sebelumnya [1961] dikumandangkan Tri Komando Rakyat atau Trikora oleh Soekarno. Trikora bertujuan untuk melakukan mobilisasi militer dan sipil untuk menduduki wilayah Papua,” katanya.
Pada 1962 dilakukan dua perjanjian internasional yaitu New York Agreement pada 15 Agustus dan Roma Agreement pada 30 September. Hal itu bertujuan untuk melegalkan kependudukan Indonesia di Papua. Semua langkah-langkah ini tidak melibatkan orang asli Papua.
“Pada 1967, Indonesia melalui presiden Soeharto menandatangani Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Hal ini berpengaruh terhadap kontrak karya PT Freeport di Timika. Perusahaan ini memiliki hak penambangan eksklusif selama 30 tahun untuk wilayah tersebut dari saat pembukaan tambang [1981]. Penduduk setempat masih melawan namun selalu dibungkam,” katanya.
Tambahnya, untuk memperluas eksploitasi sumber daya alam, PT Aneka Tambang memaksakan pembukaan eksploitasi sumber daya alam di Blok Wabu, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan sebagainya. (*)
Discussion about this post