Jayapura, Jubi – Forum Masyarakat Anti Korupsi meminta Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut dugaan penyuapan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang yang belakangan disahkan menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua atau UU Otsus Papua Baru. Hal itu disampaikan Hilman selaku penasehat hukum Forum Masyarakat Anti Korupsi dalam keterangan pers tertulis yang diterima Jubi pada Rabu (20/7/2022).
Permintaan Forum Masyarakat Anti Korupsi itu merupakan buntut dari pidato Bupati Merauke, Romanus Mbaraka dalam video Pawai Bersama Ucapan Syukur Pengesahan UU Pembentukan Provinsi Papua Selatan pada 10 Juni 2022 lalu. Dalam video yang viral itu, Mbaraka menyebut adanya “bayaran mahal” dalam pembahasan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua atau UU Otsus Papua Baru.
Bupati Merauke, Romanus Mbaraka sendiri telah meminta maaf atas pernyataan “bayaran mahal” dalam pidatonya itu. Mbaraka juga meminta maaf kepada dua anggota DPR RI yang namanya dia sebut-sebut dalam video “bayaran mahal” itu, yaitu Komaruddin Watubun dan Yan Permenas Mandena.
Akan tetapi, Forum Masyarakat Anti Korupsi tetap meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan mengusut dugaan praktik suap dalam pembahasan RUU yang belakangan disahkan menjadi UU Otsus Papua Baru itu. “Kami meminta KPK untuk mengusut fenomena suap menyuap dalam pengesahan UU. [Itu] bukan hal baru dalam praktik legislasi negara ini,” tulis Himan keterangan persnya.
Himan mengatakan peryataan publik yang dilontarkan Bupati Merauke dengan jelas menyebutkan beberapa nama anggota DPR RI. “Dalam video yang beredar luas di media sosial itu, Romanus bersama dengan [anggota] DPR RI jelas secara janggal berupaya untuk melakukan revisi terhadap tikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, sehingga menyerahkan kendali kekuasaan kepada Jakarta,” kata Hilman.
Himan menyatakan pernyataan Bupati Merauke memunculkan kembali dugaan praktik suap dalam pembahasan RUU oleh DPR RI. “Jika hal itu benar, maka patut diduga [ada] kontribusi dari elit Papua Tengah, Pegunungan Tengah, [dan] Papua Selatan terhadap elit-elit di pusat untuk meloloskan kepentingan segelintir orang,” kata Hilman.
Hilman menyatakan dugaan suap dalam pembahasan RUU Otsus Papua Baru itu harus diusut, apalagi UU yang menggantikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama) itu menimbukan banyak masalah. “Proses perubahan [UU Otsus Papua Lama] itu tidak didasari usulan rakyat Papua melalui Majelis Rakyat Papua dan DPR Papua sebagaimana amanat Pasal 77 UU Otsus Papua Lama. Substamsinya pun merugikan hak Orang Asli Papua,” kata Himan.
Hilman menyatakan dugaan suap dalam pembahasan RUU Otsus Papua Baru itu masalah serius, karena UU Otsus Papua Baru dijadikan dasar hukum bagi banyak kebijakan menyangkut Otsus Papua. Pemekaran Papua misalnya, dilakukan secara sepihak oleh DPR RI dan pemerintah pusat dengan menggunakan UU Otsus Papua Baru sebagai dasar hukumnya.
“Kami menduga terjadi transaksi gelap, lekuasaan gelap, jabatan gelap, di bawah ruang gelap. Sedangkan masyarakat Papua dibayar untuk menderita,” katanya.
Sebelumnya, video pernyataan Bupati Merauke Romanus Mbaraka yang menyebut “bayaran mahal” terkait proses pembahasan UU Otsus Papua Baru viral. Mbaraka kemudian meminta maaf, dan menyatakan pernyataannya itu diplintir seolah-olah ia memberikan sejumlah uang kepada anggota DPR RI untuk meloloskan pasal pemekaran Provinsi Papua dalam UU Otsus Papua Baru.
“Saya memohon agar tidak dipelintir atau diplesetkan. Saya pertegas lagi, tidak ada suap menyuap kepada DPR RI soal Daerah Otonom Baru,” kata Romanus Mbaraka dalam video klarifikasinya. (*)
Discussion about this post