Jayapura, Jubi – Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia atau ELSHAM Papua menilai polisi melakukan tindakan represif dalam pembubaran demonstrasi penolakan pemekaran dan Otonomi Khusus di Kota Jayapura pada Selasa (10/5/2022). Polisi seharusnya mengawal penyampaian pendapat di muka umum dan tidak membubarkan demonstrasi.
Direktur ELSHAM Papua, Pdt Matheus Adadikam mengatakan aparat keamanan di Papua selalu represif terhadap penyampaian pendapat di muka umum. Represi itu kembali terulang dalam pembubaran demonstrasi mahasiswa dan aktivis yang menolak Otonomi Khusus Papua dan pemekaran Papua di Kota Jayapura pada Selasa.
Adadikam menyatakan tindakan polisi itu justru berlawanan dengan aturan hukum. “Negara Indonesia melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum telah menjamin [penyampaian pendapat],” kata Adadikam dalam keterangan pers tertulis yang diterima Jubi, Kamis (12/5/2022).
Adadikam mengatakan pembubaran demonstrasi yang dimobilisasi Petisi Rakyat Papua itu membuat 17 orang yang mengalami luka-luka. Mereka adalah Damianus Beanal, Welison Wanena, Dina Apray, Usman Hesegem, Magati Wakey, Elita Hiluka, Melan Kogoya, Yatina Sama, Mendiron Wanimbo, SutriNarek, Deli Wanimbo, Akiman Wonda, Enka Karoba, Otofred Nawipa, Riko Pekey, Apin Meage, Jufin Dogomo. “Itu belum termasuk mereka yang cedera karena semprotan water cannon dan tembakan gas air mata,” ujarnya.
Adadikam menyampaikan monitoring lapangan yang dilakukan Elsham menyimpulkan pembubaran demonstrasi Petisi Rakyat Papua dilakukan dengan pengerahan pasukan yang sangat berlebihan. Aparat keamanan juga menggunakan peralatan yang sangat berlebihan seperti mobil water cannon, gas air mata dan peluru karet, melakukan pemukulan dengan tongkat kayu dan tameng, menendang, menginjak dan mengejar demonstran yang menyelamatkan diri.
ELSHAM Papua meminta polisi memberikan ruang bagi kebebasan berekspresi di Tanah Papua, dan berhenti melakukan represi kepada massa aksi yang berdemonstrasi. ELSHAM Papua juga meminta polisi di Papua diberi pendidikan tentang Hak Asasi Manusia dan demokrasi.
Selain itu, alat kepolisian yang militeristik tidak digunakan dalam penanganan demonstrasi damai di Tanah Papua.”Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia,” kata Adadikam.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura, Kombes Gustav Urbinas mengatakan pembubaran demonstrasi dilakukan karena tidak ada jaminan aksi massa akan berlangsung secara damai. Sebab pihaknya telah menunggu penanggung jawab aksi untuk menjelaskan tujuan demostrasi, tapi mereka tidak datang ke kantor polisi.
“Kurir [pengantar] surat melarikan diri. Untuk mengurangi risiko, saya mengambil langkah tegas bahwa tidak boleh ada aksi mobilisasi massa menyampaikan aspirasi di Kota Jayapura,” kata Urbinas kepada wartawan di Expo Waena, Kota Jayapura, Selasa (10/5/2022).
Menurut Urbinas, demonstrasi menolak pemekaran Papua dan Otonomi Khusus Papua itu membuat masyarakat merasa khawatir, dan mengganggu aktivitas perekonomian di Kota Jayapura. Ia menegaskan pihaknya melakukan pembubaran demonstrasi di semua titik aksi.
“Mulai dari Expo, Mega Waena, Kamkey, Uncen Abe, Perumnas 3 Waena, dan lingkarkan Abepura. Kami bubarkan semuanya,” kata Urbinas. (*)