Jayapura, Jubi – Puluhan mahasiswa asal Nduga di Kota Jayapura yang ingin menyampaikan aspirasi kepada DPR Papua terkait kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika diadang polisi di Lingkaran Abepura, Kota Jayapura, Selasa (4/10/2022). Mereka akhirnya batal ke Kantor DPR Papua, dan membacakan aspirasinya di Lingkaran Abepura.
Puluhan mahasiswa Nduga dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) berorasi di beberapa lokasi di Kota Jayapura, yakni Perumnas 3 Waena, Expo Waena, dan Kampus Uncen Abepura. Awalnya, mereka ingin melanjutkan unjuk rasanya di Kantor DPR Papua, Kota Jayapura. Akan tetapi, mereka diadang polisi di kawasan Lingkaran Abepura, Kota Jayapura.
Para mahasiswa ini akhirnya berkumpul di Lingkaran Abepura, dan duduk di depan pasukan pengendali massa serta mobil water cannon Kepolisian Resor Kota Jayapura. Di sana, para mahasiswa menggelar panggung orasi dan membacakan tuntutan mereka.
Dalam tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Jokowi, Panglima TNI, Kapolri, Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih, Kepala Kepolisian Daerah Papua dan Kepala Kepolisian Resor Mimika, mahasiswa mendesak agar enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo yang menjadi tersangka pembunuhan dan mutilasi di Mimika segera diadili. Para mahasiswa juga meminta keenam prajurit TNI itu diadili melalui peradilan koneksitas di Pengadilan Negeri Kota Timika, dan menolak kasus itu diadili di peradilan militer.
Mahasiswa menyatakan pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika merupakan pelanggaran HAM berat. Mereka meminta para tersangka kasus itu dituntut dengan pidana hukuman mati, sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Mahasiswa meminta agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI segera menetapkan kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika sebagai kasus pelanggaran HAM berat. “Kami keluarga korban meminta agar organ tubuh korban yang belum ditemukan segera dicari hingga ketemu,” kata penanggung jawab aksi itu, Warnus Tabuni saat membacakan tuntutan tersebut.
Para mahasiswa juga meminta Pemerintah Indonesia membuka akses bagi jurnalis asing untuk meliput di Papua. Selain itu, pemerintah juga diminta membuka akses bagi Dewan Keamanan PBB untuk berkunjung ke Tanah Papua.
Dalam orasinya, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Uncen, Salmon Wantik mengecam keras enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo yang menjadi tersangka pembunuhan dan mutilasi di Mimika. Menurut Wantik pembunuhan dan mutilasi itu merupakan tindakan tidak manusiawi dan tidak beradab.
Wantik menyatakan masyarakat Papua bukanlah binatang yang diperlakukan tidak adil dan harus dibunuh. Wantik menyatakan enam prajurit TNI yang terlibat dalam pembunuhan dan mutilasi di Mimika harus diadili di Pengadilan Negeri Kota Timika.
“Supaya keluarga korban menyaksikan proses hukum negeri ini seperti apa. Jangan di bawah ke dalam kesatuan [atau diadili lewat pengadilan militer, karena] kami tidak akan tahu proses hukumnya seperti apa. Kasih [mereka diadili] di peradilan umum, biar keluarga korban dan masyarakat Papua bisa saksikan dan kita merasa lega,” ujarnya.
Wantik menyayangkan sikap polisi yang terus mengadang mahasiswa yang hendak menyampaikan aspirasi. Bagi Wantik, tindakan ini merupakan bagian dari pembungkaman ruang demokrasi di Tanah Papua.
“Papua adalah tanah damai. Tapi hari ini kita lihat tindakan aparat keamanan membungkam ruang demokrasi seperti itu. Hari ini kami turun jalan, mau menunjukan Tanah Papua itu tanah damai. Tapi hari ini kami masih mengalami tindakan represif pembungkaman. [Entah] sampai kapan, sampai kapan kami seperti itu terus,” kata Wantik dalam orasinya.
Massa demonstrasi sempat bernegosiasi dengan polisi, meminta diizinkan mendatangi Kantor DPR Papua. Akan tetapi, polisi hanya mengizinkan perwakilan mahasiswa pergi ke Kantor DPR Papua. Massa tidak mau menerima tawaran polisi, dan memilih bertahan di Lingkaran Abepura, hingga akhirnya para anggota DPR Papua datang menerima aspirasi mereka.
Kapolresta Jayapura Kota, AKBP Victor D Mackbon menyatakan pihak melarang massa untuk menuju ke kantor DPR Papua. Pihaknya hanya mengizinkan perwakilan mahasiswa mendatangi Kantor DPR Papua, karena mempertimbangkan keamanan, keselamatan massa, dan masyarakat umum di Kota Jayapura. Menurutnya, Polresta Jayapura menerjunkan 800 polisi untuk mengamankan demonstrasi di Expo Waena, Kampus Uncen Perumnas 3 Waena, Kampus Uncen Abepura, dan Lingkaran Abepura.
Anggota DPR Papua, Namantus Gwijangge dan Yakoba Lokbere yang hadir di Lingkaran Abepura dan menerima aspirasi mahasiswa menyatakan DPR Papua juga mendorong agar enam prajurit Brigade Infantri Raider 20/Ima Jaya Keramo yang menjadi tersangka pembunuhan dan mutilasi di Mimika diadili melalui peradilan koneksitas di Pengadilan Negeri Kota Timika. “DPR Papua secara tegas meminta dan akan mendorong agar proses hukum melalui mekanisme peradilan koneksitas di Pengadilan Negeri Kota Timika,” kata Gwijangge.
Anggota Komisi V Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Sosial Budaya DPR Papua menyatakan kasus pembunuhan dan mutilasi di Mimika merupakan kasus luar biasa yang melibatkan prajurit TNI dan warga sipil. Ia menyatakan DPR Papua akan bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih, dan Kepala Kepolisian Daerah Papua agar proses hukum terhadap enam prajurit TNI itu dilakukan melalui peradilan koneksitas.
“DPR Papua melalui Pansus yang ada akan terus kawal, supaya mekanisme itu jalan sampai dengan selesai, [sehingga] keluarga korban puas dan seluruh rakyat Papua puas,” ujarnya.
Gwijangge menyatakan bahwa peradilan koneksitas merupakan mekanisme yang tepat, karena dapat memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban dan rakyat Papua. Keluarga korban, kata Gwijangge meminta agar enam prajurit TNI yang terlibat dalam pembunuhan dan mutilasi itu mendapatkan hukuman yang berat.
“Karena itu, kami akan dorong apa maunya keluarga korban. Kami mau supaya ketika kasus diputuskan tidak boleh ada masalah. Maka itu kami akan meminta pasal yang paling maksimal, yakni Pasal 340 KUHP [tentang pembunuhan berencana yang diancam] hukuman mati,” katanya. (*)