Jayapura, Jubi – Dewan Adat Papua versi Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua IV mendorong pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR di Tanah Papua. Dewan Adat Papua menegaskan pembentukan KKR di Tanah Papua merupakan amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).
Deputi Kesekjenan Bidang Hukum dan Perlindungan Masyarakat Adat Papua, Dewan Adat Papua versi Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua IV, Yan Cristian Warinussy menyampaikan hingga kini Pemerintah Indonesia tidak memiliki kemauan politik untuk segera membentuk KKR di Tanah Papua. Padahal pembentukan KKR itu dimandatkan UU Otsus Papua Lama.
Menurutnya, Dewan Adat Papua ada pada posisi mendorong dan mendesak agar pemerintah pusat segera merealisasikan pendirian KKR di Tanah Papua. Warinussy mengatakan proses pembentukan itu bisa dimulai Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Provinsi Papua Barat dengan mendorong pemerintah pusat menyiapkan rancangan Peraturan Presiden.
UU Otsus Papua Lama mengatur tujuan pembentukan KKR untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua serta merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi. Warinussy menyatakan keterlibatan para praktisi hukum dan Hak Asasi Manusia, ahli sejarah, ahli Hak Asasi Manusia, dan ahli hukum pidana perlu dilibatkan dalam pembentukan KKR.
Warinussy mengatakan Dewan Adat Papua akan ikut mendukung penyelesaian dugaan pelanggaran HAM masa lalu melalui KKR, karena hal itu ada kerangka kebijakan Otonomi Khusus dan menjadi salah satu solusi terhadap persoalan sejarah dan HAM masa lalu di Tanah Papua.
“Saya yakin jika pembentukan KKR [bisa menjadi] penyelesaian akar masalah soal sejarah. Sebuah langkah progresif dalam penyelesaian masalah Papua,” kata Warinussy kepada Jubi, Senin (16/5/2022).
Secara terpisah, Pastor Alexandro Rangga OFM dari Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua mengatakan solusi yang dapat dipakai guna menyelesaikan masalah di Papua adalah melalui jalan dialog damai Jakarta – Papua. Hal itu disampaikannya dalam webinar “Tindakan Politik Papua” yang diselenggarakan Philojustice JPIC OFM Indonesia, pada Minggu (15/05/2022).
Menurutnya, konsep dialog sudah lama diperjuangkan oleh tokoh-tokoh gereja maupun tokoh-tokoh Papua. Agenda dialog damai Papua diharapkan merujuk dari hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahua Indonesia, termasuk masalah status Papua dalam bingkai NKRI.
“Dialog itu akan susah terealisasi karena pemerintah Indonesia mau berdialog, tetapi jangan minta merdeka. Padahal dalam banyak hal, isu [Papua merdeka] menjadi salah satu isu yang harus dimasukan dalam dialog,” katanya.
Menurut Pastor Alexandro Rangga, status Papua perlu diperjelas, karena pemerintah Indonesia mengklaim Papua sudah sah menjadi bagian dari NKRI. Sebaliknya masyarakat Papua menyatakan mereka telah merdeka sejak 1961.
“Hal ini selalu diangkat orang Papua. Artinya, kita [Indonesia] boleh mengklaim bahwa sudah sah. Tapi itu masih menjadi persoalan di akar rumput [masyarakat Papua] yang mempengaruhi kebijakan pembangunan, misalnya berbagai kasus kekerasan yang terjadi di Papua,” ujarnya. (*)
Discussion about this post