Jayapura, Jubi – Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP meluncurkan laporan investigasi tentang perdagangan senjata ilegal di Tanah Papua. Laporan yang diluncurkan di Kota Jayapura pada Jumat (1/7/2022) itu menyebut dalam 10 tahun terakhir ada 51 orang yang dipidana karena terlibat perdagangan senjata di Papua bernilai miliaran rupiah.
Laporan AlDP itu hasil investigasi terhadap berbagai kasus perdagangan senjata api dan amunisi pada periode 2011 dan 2021. Laporan itu menyatakan 51 orang yang dipidana karena memperdagangkan senjata itu terdiri dari 31 warga sipil, 14 prajurit TNI dan enam anggota Polri. Mereka dihukum melalui sejumlah perkara pidana perdagangan senjata api dan amunisi, dengan barang bukti berupa 52 pucuk senjata api, 9.605 butir peluru, dan uang senilai Rp7.244.990.000.
Direktur AlDP, Anum Latifah Siregar mengatakan pihak yang membeli senjata api atau amunisi ilegal di Papua memakai berbagai macam sumber pendanaan. Sumber pendanaan itu termasuk termasuk Dana Desa, keuntungan hasil tambang, dan uang yang beredar dalam proses pemilihan pejabat publik, khususnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
“(Saat Pilkada), walaupun dana itu diberikan bukan dengan tujuan untuk membeli senjata api, tetapi uang dengan jumlah yang banyak itu digunakan untuk membeli senjata api,” kata Siregar.
Laporan AlDP juga merinci berbagai jenis moda transportasi yang digunakan para penjual untuk mengirimkan senjata api atau amunisi dagangan mereka. Para pedagang senjata api atau amunisi di Papua itu mampu mengirimkan dagangannya menggunakan transportasi darat, laut, bahkan transportasi udara. Jayapura, Wamena, dan Nabire menjadi tiga daerah yang kerap menjadi lokasi transaksi perdagangan senjata api dan amunisi ilegal.
Siregar menyatakan perdagangan senjata api dan amunisi itu sangat menguntungkan bagi para pelakunya, karena harga sebutir peluru ilegal di Papua bisa mencapai kisar Rp150 ribu hingga Rp500 ribu. Jenis senjata api yang diperdagangkan di Papua pun beragam, termasuk senjata api M16 dan M4 dengan harga berkisar Rp90 juta hingga Rp330 juta per pucuk, ataupun pistol yang dijual dengan harga berkisar Rp15 juta sampai Rp100 juta per pucuk.
“Kita bisa lihat angka [harga itu] begitu fantastis. Jadi [harga senjata api] berlipat, diantara Rp90 juta dan Rp300 juta. Jaringan atau perantaranya lebih dari satu orang, sehingga yang mendapatkan banyak keuntungan [itu adalah] jaringan yang cukup panjang,” ujarnya.
Menurut Siregar, transaksi perdagangan senjata api dan amunisi ilegal di Tanah Papua memiliki beragam motif. Ada. motif ekonomi, karena harganya yang sangat tinggi. Ada pula motif untuk menaikan jenjang karir atau jenjang karir.
Ada pula motif penguasaan sumber daya alam (SDA). “Ada indikasi bahwa konflik terus terjadi di suatu tempat digunakan untuk menggeser masyarakat setempat untuk menguasai sumber daya alam [di wilayah itu]. Kami mendapatkan dari beberapa informasi dari lapangan dan narasumber menjelaskan sangat detail indikasi [motif penguasaan SDA] itu,” katanya.
Laporan AlDP merekomendasikan perlunya evaluasi dan pengawasan internal oleh TNI serta Polri terhadap produksi dan mekanisme distribusi senjata api dan amunisi, termasuk pembatasan pembawaan, tata cara penyimpanan, dan penggunaan di setiap ikatan pada aparat organik maupun non organik. Pemerintah dari instansi terkait perlu melakukan pengawasan terhadap wilayah potensial di Tanah Papua.
Aparat penegak hukum diharapkan tidak hanya memproses hukum pelaku perdagangan senjata di lapangan, tetapi mengungkapkan jaringan perdagangan senjata api dan amunisi ilegal, termasuk pemilik atau penyedia utama. “Perdagangan senjata api dan amunisi ilegal itu menghancurkan nilai kemanusian dan mengancam proses perdamaian di Tanah Papua,” kata Siregar. (*)
Discussion about this post