Sentani, Jubi – Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib menyatakan banyak kepala daerah di Papua mengabaikan keberadaan MRP. Murib mencontohkan, delapan maklumat MRP pada 2018 untuk melindungi tanah dan Orang Asli Papua diabaikan para kepala daerah.
Hal itu dinyatakan Timotius Murib saat ditemui Jubi di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Selasa (5/4/2022). Menurut Murib, pengabaian keberadaan MRP sebagai lembaga representasi kultural yang diamanatkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) membuat MRP kesulitan menjalankan wewenang Otsus Papua.
“Kami mendapatkan tantangan yang luar biasa. Ada lembaga lain, atau oknum Orang Asli Papua sendiri yang juga katakan, ‘MRP buat maklumat itu dia punya kekuatan apa?’ Kami banyak dapat kata-kata seperti itu,” kata Murib.
Ia menyatakan MRP hanya ingin UU Otsus Papua menjadi undang-undang khusus yang mendasari pelaksanaan wewenang Otsus Papua, dan memiliki kekuatan hukum di atas UU sektoral yang berlaku umum. Menurut Murib, justru itulah hakekat otonomi khusus.
“MRP berharap di Papua itu UU yang di gunakan UU Otsus Papua, bukan UU yang lain. Dengan demikian, keputusan MRP harus dihargai, karena itu keputusan lembaga negara yang menjadi representasi kultural Orang Asli Papua,” kata Murib.
Dalam kenyataannya, selama 20 tahun pelaksanaan Otsus Papua, kepala daerah di Papua tidak mengindahkan maklumat MRP. “Ternyata delapan maklumat MRP pada tahun 2018 itu tidak berjalan. Semua itu kembali kepada hati pemimpin, para bupati dan wali kota,” ujar Murib.
Ia menegaskan MRP akan terus mendorong agar para kepala daerah aktif mengupayakan perlindungan atas tanah dan Orang Asli Papua. “MRP minta wali kota dan bupati untuk melaksanakan proteksi terhadap OAP, dalam hal ini [menjalankan] maklumat yang dikeluarkan [MRP],” ujar Murib.
Sekertaris Perempuan Kingmi, Ester Haluk mengatakan harus ada strategi untuk memperkuat keberlakuan Maklumat MRP itu. “Karena kebijakan Jakarta itu tumpang tindih. UUD sudah ada, tapi nanti Instruksi Presiden dan Peraturan Presiden segala macam. Indonesia untuk mengaku negara hukum, tapi [pelaksanaan hukum saling bertengangan], macam orang yang bodoh begitu,” kata Ester Haluk saat mengikuti pertemuan masa reses MRP di Sentani, Senin (4/4/2022).
Haluk menilai Tanah Papua inkonsistensi penerapan undang-undang di Papua membuat Papua lebih menyerupai tempat bagi pemerintah untuk memberlakukan aturan atau kebijakan yang aneh-aneh. “Papua ini menjadi tempat untuk negara menerapkan kebijakan yang aneh-aneh,” ucap Haluk. (*)
Discussion about this post