Jayapura, Jubi – Polemik pemekaran Papua saat ini mengingatkan kepada proses pemekaran wilayah secara besar-besaran pada masa pemerintahan Gubernur Papua, JP Solosssa yang menjabat sejak 23 November 2000 hingga 19 Desember 2005. Saat itu, hanya ada satu provinsi di Tanah Papua, Provinsi Papua Barat belum lagi terbentuk, dan “dalam sekejap” Provinsi Papua punya 14 kabupaten baru.
Secara bersamaan, pemerintah memekarkan enam kabupaten yang ada di Provinsi Papua kala itu—Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Yapen Waropen, Merauke, Manokwari, Sorong, dan Fakfak. Pemekaran itu dilakukan melalui Undang-undang Nomor 26 Tahun 2002, dan hasil pemekarannya terbentuk menjadi Kabupaten Sarmi, Keerom, Sorong Selatan, Raja Ampat, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Tolikara, Waropen, Kaimana, Boven Digoel, Mappi, Asmat, Teluk Bintuni, dan Teluk Wondama.
Sebagai perbandingan, pada masa Orde Baru, Soeharto hanya membentuk wilayah Pembantu Wilayah I di Jayapura, wilayah II di Manokwari dan wilayah III di Merauke. Alasannya, keterbatasan APBN dan juga sumber daya manusia kala itu.
Pemekaran wilayah di Papua kembali terjadi pada masa pemerintahan BJ Habibie. Melalui Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, pemerintah membentuk Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Saat itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Irian Jaya telah menerbitkan Surat Keputusan DPRD Irian Jaya Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga provinsi.
Akan tetapi, rencana itu ditolak rakyat Papua. Pada 14 Oktober 1999, warga Papua di Jayapura mengikuti demonstrasi akbar untuk menolak rencana pemekaran Papua. Sejak saat itu, rencana pemekaran Papua ditangguhkan, sementara proses pembentukan Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong tetap dilanjutkan.
Lalu, lahirlah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama). Didalamnya, UU Otsus Papua Lama itu mengatur dengan ketat tata cara pemekaran Papua.
Pasal 76 UU Otsus Papua Lama menyatakan “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua dan DPR Papua setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.” Ketika itu, banyak orang membayangkan semua agenda pemekaran provinsi dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 bakal mati gara-gara UU Otsus Papua Lama.
Nyatanya tidak. Pada 2002, masyarakat Irian Jaya Barat bersama 315 warganya meminta agar Provinsi Irian Jaya Barat “kembali diaktifkan”. Presiden Megawati Soekarnoputri lalu menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999.
Ketika itu, pemerintah pusat secara cepat memproses pembentukan Provinsi Papua Barat. Celah hukum memang ada, karena ketentuan Pasal 76 UU Otsus Papua Lama tidak bisa dijalankan lantara MRP belum terbentuk.
Kini, polemik tentang tata cara pemekaran Papua, berikut debat soal pengabaian Pasal 76 UU Otsus Papua Lama kembali terjadi, gara-gara langkah DPR RI yang pada 12 April 2022 lalu menetapkan tiga Rancangan Undang-undang (RUU) Pembentukan Provinsi Papua Tengah, Provinsi Pegunungan Tengah, dan Provinsi Papua Selatan sebagai RUU Inisiatif DPR RI. Jawapos.com melansir, saat ini, DPR sedang menunggu surat presiden dan daftar inventarisasi masalah dari pemerintah untuk segera membahas tiga RUU tersebut.
DPR RI dan pemerintah pusat memang sudah membuat celah hukum untuk melangkahi ketentuan Pasal 76 UU Otsus Papua Lama. Melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) DPR RI dan pemerintah pusat menambah ketentuan Pasal 76 UU Otsus Papua Lama dengan ayat (2) yang baru dan menyatakan “pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom ….”
DPR RI tanpa ragu bergegas membuat RUU tentang pemekaran Papua, kendati permohonan permohohan uji material atas UU Otsus Papua Baru yang diajukan MRP belum diputus Mahkamah Konstitusi.
Dalilnya, tentu saja “percepatan pembangunan Papua”. Laman resmi DPR RI melansir pernyataan Ketua DPR RI, Puan Maharani yang menyebut pemekaran Papua bertujuan meningkatkan peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat Papua. “Penambahan provinsi dimaksudkan untuk mempercepat pemerataan pembangunan di Papua dan untuk melayani masyarakat Papua lebih baik lagi,” kata Puan.
Miskin dan tidak bahagia
Benarkah pemekaran Papua bikin rakyat kaya dan bahagia? Hasil pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk Provinsi Papua Barat, berikut pemekaran kabupaten untuk membentuk puluhan kabupaten baru di Tanah Papua, bisa menjadi bahan pelajaran untuk menjawab pertanyaan itu.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut hingga kini Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat masih menjadi provinsi paling miskin di Indonesia. Menurut https://databoks.katadata.co.id, jumlah penduduk miskin di Papua justru cenderung terus bertambah.
Hasil Sensus Penduduk 2020 mencatat penduduk Provinsi Papua pada September 2020 sebanyak 4,3 juta jiwa. Itu pertambahan penduduk yang signifikan, karena Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah penduduk Provinsi Papua baru mencapai 2,83 juta jiwa.
Meskipun penduduk bertambah https://databoks.katadata.co.id juga menyebutkan berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan di Provinsi Papua mencapai 26,8% dan Papua Barat dengan tingkat kemiskinan sebesar 21,7%.
Selain itu Indeks Kebahagiaan 2021 yang dirils BPS juga menunjukkan penduduk Papua merupakan salah satu masyarakat paling tidak bahagia di Indonesia, bersama penduduk Banten, Bengkulu, Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Barat. Padahal, selama dua dekade terakhir, Papua mendapat kucuran Dana Otonomi Khusus yang nilainya Rp138,65 triliun, dan mengalami puluhan pemekaran wilayah.
Akankah kesejahteraan bisa tercapai dengan adanya provinsi baru di Tanah Papua? Tanyakan kepada mereka yang pernah mengabdi atas nama rakyat di Tanah Papua,
Kenyataannya, di mana-mana rakyat berdemo dan menolak pemekaran Papua. Jadi, rakyat yang mana yang akan menikmati kesejahteraan dan lantas bahagia? (*)
Discussion about this post