Jayapura, Jubi – Anggota DPR Papua, Namatus Gwijangge menyatakan dirinya telah menerima aspirasi dari massa demontrasi Petisi Rakyat Papua di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya pada Selasa (10/5/2022). Ia menyatakan akan menyerahkan aspirasi itu kepada pimpinan DPR Papua di Kota Jayapura pada Rabu (11/5/2022).
“Tadi saya sudah terima aspirasi masa aksi dari Petisi Rakyat Papua di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jayawijaya. Saya sendiri yang besok akan sampaikan kepada pimpinan DPR Papua di Jayapura,” kata Gwijangge saat dihubungi melalui panggilan telepon pada Selasa.
Gwijangge berharap masyarakat tetap bersabar hingga aspirasi penolakan Otonomi Khusus Papua dan pemekaran Papua yang diserukan Petisi Rakyat Papua itu diserahkan DPR Papua kepada pemerintah pusat. “Saya akan menyampaikan kepada pimpinan [DPR Papua], agar [aspirasi itu] dibahas di DPR Papua dan ditindaklanjuti ke pemerintah, agar keputusan yang diambil benar-benar sesuai aspirasi masyarakat,” katanya.
Menurut Gwijangge, pemerintah seharusnya mendengarkan aspirasi masyarakat Lapago yang menolak pemekaran Papua untuk membentuk tiga provinsi baru, termasuk Provinsi Pegunungan Tengah Papua. “Saya minta pemerintah sebelum mengambil kebijakan harus mendengarakan aspirasi masyarakat Papua terkait Daerah Otonom Baru, sebab banyak orang Papua yang menjadi korban imbas dari penembakan,” katanya.
Menurut Gwijangge, rapat paripurna DPR RI pada 12 April 2022 baru menyetujui tiga Rancangan Undang-undang pemekaran Papua dijadikan RUU Inisiatif DPR RI. Proses pembahasan ketiga RUU itu masih akan berlanjut di Badan Legislatif DPR RI, dan RUU itu belum disahkan menjadi undang-undang.
“Pembentukan Daerah Otonom Baru akan membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara pada saat pemulihan pasca COVID-19. Hutang Luar Negeri [Indonesia] membengkak lebih dari Rp7.000 triliun. [Pemekaran Papua] adalah kebijakan konyol, dan kemungkinan akan ditunda. Sebaiknya pembahasan Daerah Otonom Baru [di Papua] dihentikan,” katanya.
“Sikap DPR Papua sejauh ini, terbuka, dan komparatif terhadap massa aksi yang ingin menyampaikan aspirasi. Karena, ketika ruang demokrasi dibungkam, sering terjadi kekerasan,” katanya.
Gwijangge mengapresiasi sikap Kepala Kepolisian Resor Jayawijaya yang telah membuka ruang demokrasi di Wamena. Ia menilai polisi berhasil menjaga keamanan dan ketertiban warga yang ingin mengikuti seruan demonstrasi Petisi Rakyat Papua dan menyampaikan aspirasi secara damai.
“Yang perjuangkan aspirasi pemekaran maupun penolakan pemekaran, [sama-sama] harus berdasarkan aspirasi rakyat, baik [yang disampaikan melalui] demonstrasi maupun mimbar bebas, dan lainnya. Jangan berjuang atas nama rakyat, padahal hanya [mewakili kepentingan] segelintir orang,” katanya.
Unjuk rasa untuk menolak Otsus Papua dan pemekaran Papua terjadi di sejumlah kota pada Selasa. Unjuk rasa itu diserukan oleh Petisi Rakyat Papua yang menginginkan adanya referendum solusi demokratis atas persoalan Papua.
Di Kota Jayapura, demonstrasi itu dibubarkan oleh polisi sebelum para demonstran bisa menyampaikan aspirasi mereka kepada DPR Papua. Di Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat, para pengunjuk rasa juga dihadang oleh polisi, sehingga gagal mendatangi Kantor DPR Papua Barat. Akan tetapi, untuk rasa itu di Manokwari itu berlangsung dengan damai, dan para peserta membubarkan diri setelah berunjuk rasa selama 6 jam. (*)
Discussion about this post