Jayapura, Jubi – Perempuan asal Supiori dari Kampong Sowek, Kepulauan Insobabi ini terkenal dengan sebutan “Bin Dame”, karena ia pembawa damai. Ia terlahir dengan nama asli Angganeta Menufandu yang dalam adat disebut “Inseren Sowek.”
Angganeta berprofesi sebagai guru Pendidikan Agama Kristen di Supiori. Ia lahir pada 1905 dan dibabtis dengan nama Angganeta pada 25 September 1932.
Angganeta tampil sebagai pemimpin gerakan Koreri sejak 1938. Ini gerakan “messianic” melawan penjajah, terutama kekuatan asing di Bumi Papua.
Koreri berasal dari Bahasa Biak yang secara etimologi berasal dari “ko” (kita) dan “rer” (ganti kulit). Untuk mengubahnya menjadi kata sifat diberikan imbuhan huruf “i”, maka disambung menjadi Koreri. Makna koreri secara luas adalah “kita menjadi baru kembali”.
Koreri bersumber dari mitologi perjalanan Mananermarkeri yang dikenal sebagai Kayan Biak atau Kayan Sanau. Laki-laki tua yang kudisan dan kaskado bisa berubah kulitnya menjadi bersih.
Itu peristiwa ajaib dan Manarmarkeri juga bisa memberikan tanda-tanda heran. Dia berjanji akan kembali membawa kekayaan ke Tanah Papua, khususnya di Biak, dalam sebuah kapal besar yang penuh harta benda.
Dalam perkembangannya gerakan Koreri muncul sebagai gerakan perlawanan terhadap perubahan sosial dan gejolak politik.
Antropolog Universitas Cendrawasih Jayapura, mendiang Dr Enos H Rumansara, MA pernah menjelaskan tentang ideologi Koreri. Ada tokoh mitologi yang dijanjikan akan datang bernama Manarmakeri.
Tokoh mitologi itu mendasari keyakinan tradisional mereka tentang harapan hidup yang lebih baik. Namun, dia kini memang belum hadir di tengah pengikutnya. ”Manarmakeri dipercaya sedang berada di arah barat. Namun, dia telah berjanji bahwa pada tujuh generasi kemudian ia akan datang membawa dunia koreri (dunia yang sejahtera) kepada para pengikutnya.
Menurut Rumansara dalam sejarah munculnya gerakan kepercayaan Koreri hadir sejak 1938. Saat itu pemimpin pertamanya adalah seorang perempuan, yakni Angganeta Manufandu. Kemudian pada 1942 di Biak muncul banyak pemimpin Koreri lainnya, seperti Stefanus Simopiaref, Mangginomi, Sangaji Namber, Steven Daman, dan Korinus Birmori.
‘’Dari kacamata antropologi, gerakan Koreri itu adalah gerakan perlawanan terhadap kekuatan atau sistem kekuasaan. Mereka memakai semacam upacara adat (wor) sebagai usaha untuk mempercepat kedatangan Koreri,” tulisnya.
Lebih lanjut Rumansara menjelaskan, pengikutnya percaya bahwa jika upacara adat digelar, yaitu upacara Mansar Manarmakeri, maka sang tokoh mitologi tersebut akan gelisah untuk cepat datang melihat penderitaan saudara-saudaranya.
“Melalui syair dan lagu pada upacara adat itu mereka menggugah Mansar Manarmakeri untuk segera kembali,’’ kata Enos Rumansara sebagaimana ditulis Republika.com
Tak heran kalau Bin Dame, julukan bagi Angganeta Menufandu, melakukan perlawanan terhadap pendudukan asing (Belanda dan Jepang) di negeri leluhur Tanah Biak, bersama Stephanus Simopiaref dari 1938 hingga 1943.
Arnold Mampioper dalam makalahnya berjudul “Mitologi dan Pengharapan Masyarakat Biak Numfor” di STT GKI IS Kijne, Jayapura pada 1976 menyebutkan gerakan Koreri sebenarnya menjadi bagian dari pergerakan suatu masyarakat untuk menuju perubahan baru yang bercampur dengan semangat mitologi Manarmakeri dan pengetahuan baru dalam masyarakat saat itu.
“Namun intinya adalah perubahan baru dari keadaan yang susah menjadi lebih baik,” tulisnya.
Jadi Angganita Menufandu termasuk tokoh perempuan yang memimpin gerakan Koreri pada 1938, yaitu gerakan kultural yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakatnya dalam mitos Manarmakeri, yaitu seorang penyelamat yang akan datang kembali membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat suku Biak.
Sedangkan kedatangan Manarmakeri ke dunia harus diumumkan oleh utusannya yang dalam Bahasa Biak disebut “Konor” atau pembawa berita atau perintis jalan. Konor mendapat perintah dari Manseren Manggundi melalui mimpi atau suatu penglihatan bahwa sang mesias akan segera kembali.
Namun ada persyaratan bagi para pengikutnya. Di antaranya, membangun rumah baru untuk Manseren Manggundi, memperbesar rumah masing-masing untuk orang-orang yang akan dibangkitkan kembali saat kedatangan Manseren Manggundi, mempersiapkan segala sesuatu, termasuk kayu bakar, sebab akan terjadi kegelapan selama tiga hari, yang mendahului kedatangan Manseren Manggundi.
Kemudian tidak memakan sayur labu dan daging babi, sebab daging babi dan sayur labu membuat Manarmakeri meninggalkan Kampung Sopen.
Juga tidak boleh memakan daging ular dan udang, karena hewan hewan inilah yang berganti kulit yang memiliki kaitan erat dengan perubahan kulit dari Manarmakeri.
Bendera Bercorak Tiga
Menurut Pdt Bas Nanlohi dalam artikelnya berjudul “Akulturasi dalam Gerakan Koreri”, pemahaman pengharapan mesianis orang Biak Numfor bermuara pada seorang tokoh mistis yang dianggap memiliki kuasa untuk memberikan kehdiupan baru, baik secara jasmani maupun rohani.
Artinya, Manseren Manggundi mempunyai kuasa ilahi dari Manseren Nanggi, sehingga dapat menyelamatkan manusia masa kini dan akan datang.
Masalah kedatangan Manseren Manggundi belum terwujud, walau demikian seringkali muncul seorang Konor atau pembawa berita, sehingga orang banyak mengikuti dan mempercayainya.
“Hal ini membuktikan bahwa kepercayaan akan Manseren Manggundi begitu mendalam dan berakar pada sebagian masyarakat Biak Numfor,” tulis dosen STT IS Kijne itu.
Gerakan Koreri di Biak diawali dengan peristiwa magis yang dialami Inseren Sowek yang kemudian dibaptis dengan nama Angganeta. Ia janda dengan tiga anak dari klen Menufandu dari Kampung Sowek, Supiori. Karena ia saat itu menderita penyakit kulit dan beri-beri sehingga diungsikan ke tempat lain.
Namun ketika ia kembali ke sanak keluarganya di Pulau Insumbai, perubahan besar telah terjadi, ia telah sembuh dari penyakit kulit dan menjadi cantik elok rupanya. Angganita menuturkan bahwa ketika ia berada di tempat pengasingan dan mendapat kunjungan dari seseorang yang memberinya makan dan menjadi sembuh.
Kemudian, lanjut Angganeta, orang asing itu memberkatinya dan memilihnya untuk menjadi penyiar dan pemimpin dari suatu hidup yang tidak akan ada akhirnya atau kehidupan kekal dan abadi.
Melalui dia, penduduk akan menuju pada jalan Koreri. Akhirnya berita kesembuhan dan pesan dari orang asing kepada Angganeta menyebar ke seluruh Pulau Biak dan Numfor.
Angganeta mengaku bahwa orang asing yang menyembuhkannya adalah Manamarkeri, yang berkata bahwa ia telah melihat kelaliman, penderitaan, penganiayaan, dan penindasan kepada Angganeta.
Oleh karena itu, ia akan memberikan kedamaian abadi dan memberikan nama Bin Damai atau Bin Mas ro Judea (Putri Damai atau putri emas dari Judea). Ia pun mengutus Angganeta untuk memimpin rakyatnya menuju Koreri.
Agar Koreri bisa berlangsung tidak ada perang antar suku dan pertumpahan darah. Bahkan bendera yang akan dipakai di seluruh Irian adalah bendera bercorak tiga, di atas berwarna biru, di tengah putih, dan di bawahnya merah yang melambangkan kesetiaan, kedamaian, dan keberanian. Ia menambahkan akan terjadi Perang Dunia Kedua jika hak serta bendera orang Irian tidak diakui.
Dua tahun kemudian, berita ini tersiar ke seluruh penduduk Biak Numfor, tetapi dirahasiakan dari pihak Belanda dan misionaris. Tersiarnya berita Perang Dunia II, semakin memperkuat pernyataan Angganitha, bahwa ia adalah orang yang diutus oleh Mananarmakeri. Berduyun-duyunlah orang ke Insumbabi untuk menyaksikan dan menerima langsung perintah Kayan Sanau melalui Angganitha. Banyak pula orang yang datang ke Angganitha untuk berobat.
Angganitha menjadi seorang yang sakral. Kekaguman penduduk tersebut segera menjelma ke dalam bentuk pendewaan. Apa yang diucapkan Angganitha adalah benar dan harus ditaati. Mulai saat itu terjadilah pergerakan melawan Kristen dan kedatangan orang Barat dan menginginkan terbentuknya agama dan pemerintahan baru berdasarkan pada mitologi Biak. Demikian catatan Johsz R. Mansoben dalam Majalah Prisma terbitan 1980, halaman 78-79.
Pertengahan 1941, Pemerintah Belanda dan para misionaris mengendus adanya tindakan pendewaan terhadap Angganitha. Kunjungan dalam jumlah besar ke pulau Insumbabi mengawali kecurigaan pemerintah yang kemudian mengadakan penyelidikan.
Dari hasil penyelidikan tersebut, pembantu kepala distrik Pemerintah Kolonial Belanda dan pendeta Kristen yang berkedudukan di Korido meminta Angganitha dan pengikutnya untuk menghentikan gerakannya.
Anjuran itu ditolak Angganitha yang memancing kemarahan kepala distrik yang berkedudukan di Bosnik. Ia pun mengirimkan satu kesatuan polisi ke Insumbabi dan membakar semua rumah di sana yang disertai dengan perintah larangan membangun rumah di daerah itu.
Perintah larangan tersebut mendapatkan respon menentang. Justru semakin banyak penduduk yang membangun rumah di Insumbabi. Pemerintah meresponnya dengan menangkap Angganitha dan dipenjarakan di Serui.
Karena kelakuan baiknya dan jaminan dari keluarga, akhir 1941 ia dibebaskan, dengan syarat untuk tidak menghidupkan lagi gerakannya. Setibanya di kampung Sowek, ia disambut meriah oleh pengikutnya.
Lebih banyak lagi orang yang datang untuk memujanya, kemudian mendorong Angganitha untuk secara terbuka menyatakan perang terhadap pemerintah dan zending.
Ia mengatakan jika pemerintah melarang pergerakannya dengan menyerang pulau Insumbabi, maka semua kapal yang digunakan akan dihancurkan. Kesempatan bagi Angganitha untuk menyebarluaskan pengaruhnya semakin terbuka ketika pecah perang Jepang-Sekutu.
Angganitha juga memperkuat diri dengan melantik pembantu-pembantu yang mewakilinya di setiap kampung dengan jabatan Tuan Damai atau Bin Damai. Kepada mereka diberikan bendera-bendera Koreri untuk dikibarkan di kampung mereka.
Para Tuan Damai inilah yang melakukan propaganda untuk menarik massa pendukung Angganitha. Di sisi lain, pemerintah juga memperkuat pasukannya untuk meredam perlawanan dari gerakan ini. Dari Bosnik, pemerintah kembali mengirim kesatuan polisi untuk membakar rumah-rumah di pulau Insumbabi.
Puncaknya, pada 8 Mei 1942 Angganitha ditangkap dan dibawa ke Bosnik. Pada 11 Juni 1942, armada Jepang tiba di Bosnik yang menandakan pergantian pemerintahan dari Belanda ke Jepang. Pada 29 Juni 1942 Angganitha diasingkan ke Manokwari oleh Jepang. Ini merupakan akhir dari pergerakan Angganitha, tapi menurut Johsz R. Mansoben, merupakan awal lahirnya pergerakan-pergerakan yang berakar pada pergerakan Angganitha tersebut. (*)
Discussion about this post