Jayapura, Jubi – Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai pemekaran Papua yang dilakukan pemerintah pusat merupakan cara untuk menguasai sumber daya alam yang ada di Papua. Usman menyatakan Papua belum bisa dimekarkan untuk membentuk Daerah Otonom Baru atau DOB.
“Kebijakan pembentukan DOB juga melanggar kebijakan nasional tentang moratorium pemekaran wilayah,” kata Usman saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon, Jumat (08/04/2022).
Menurut Usman, kehadiran DOB akan diikuti dengan pengerukan sumber daya alam untuk kepentingan elit politik maupun elit nasional. Elit itu diduga tidak mendapat izin bisnis dari Pemerintah Provinsi Papua, sehingga meminta pemerintah pusat membentuk provinsi baru di Papua.
“Jadi, itu terasa, motif untuk menguasai tanah. Itu kepentingan apa lagi, kalau bukan [kepentingan menguasai] sumber daya alam,” ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik Papua menunjukan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 15,11 persen pada 2021. Dari sisi produksi, pertumbuhan terbesar terjadi pada Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian sebesar 40,80 persen.
“Itu [pertumbuhan] dari industri-industri yang mengeruk kekayaan alam, bukan dari ekonomi kerakyatan bukan dari pengolahan sagu, peternakan atau ekonomi kerakyatan lain,” kata Usman.
Menurut Usman, dalil pemekaran mengatasnamakan pelayanan yang lebih baik merupakan pendapat yang sangat menyesatkan. Jika mau melayani masyarakat Papua dengan baik, seharusnya pemerintah mengevaluasi kabupaten dan kota yang ada di Papua.
“Ada kepentingan apa? Apakah kepentingan untuk menguasi SDA di pegunungan tengah atau provunsi-provinsi yang ada sekarang ini mau di bentuk,” ujarnya.
Usman menyatakan DOB malah akan meningkatkan eskalasi konflik, baik itu konflik politik, ekonomi, konflik sosial dan konflik bersenjata. Pada akhirnya, eskalasi konfik itu menyulut terjadinya kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Kendati Rancangan Undang-undang tentang pembentukan tiga provinsi baru di Papua telah disetujui Badan Legislasi DPR RI, Usman mendesak pemerintah dan DPR RI untuk bertemu, meminta pertimbangan dan persetujuan pemekaran Papua dari Majelis Rakyat Papua (MRP), DPR Papua, dan Gubenur Papua. Usman menegaskan ketiga lembaga itulah yang memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak rencana pemekaran Papua, sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama).
Pasal Pasal 76 UU Otsus Papua Lama menyatakan “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR Papua setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, dan kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang.” DPR RI dan pemerintah pusat sepihak mengundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) pada 19 Juli 2021.
UU Otsus Papua Baru itu memberi wewenang bagi DPR RI dan pemerintah pusat untuk melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten/kota di Papua. “Nah, yang tidak adil adalah pemerintah pusat mengubah aturan itu melalui amademen UU Otsus [Papua], dan kewenangan MRP dalam menolak atau menyetujui pemekaran wilayah dihapuskan,” ujar Usman.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas mengatakan Orang Asli Papua menolak rencana pemekaran Papua, karena pemekaran itu dikhawatirkan akan mengancam Orang Asli Papua. Menurut Cahyo, pemekaran Papua dan pembentukan provinsi baru dikhawatirkan akan mendatangkan banyak orang dari luar Papua, dan para pendatang itu akan menguasai sektor ekonomi dan berbagai sektor lainnya.
Cahyo mengatakan pemekaran “top down” yang dibuat sepihak oleh pemerintah pusat itu prosesnya tidak demokratis, karena tidak melalui konsultasi publik di berbagai wilayah adat yang ada di Papua. Cahyo menilai pemerintah pusat hanya mendengar suara-suara dari para bupati, lembaga adat yang pro pemerintah, dan pimpinan tentara atau polisi yang ada di Papua.
“Kebijakan pemekaran Papua yang terbaru akan mendorong ketidakpercayaan Papua yang meluas kepada pemerintah pusat. Itu akan semakin menyulitkan negara untuk mengakhiri konflik bersenjata Papua,” kata Cahyo. (*)
Discussion about this post