Jayapura, Jubi – Sebanyak 13 nelayan asal Merauke, Papua yang kini ditahan di penjara Bomana Port Moresby, Papua Nugini dalam keadaan baik, dan akan menjalani sidang pertama pada 26 September 2022 atas kasus mereka.
Kepala Badan Perbatasan dan Kerja Sama Luar Negeri Provinsi Papua, Suzanna Wanggai, mengatakan saat menjalani persidangan, 13 nelayan asal Merauke akan didampingi kuasa hukum yang telah disiapkan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Port Moresby di PNG.
“KBRI sudah mengatur untuk ada pendampingan kuasa hukum bagi mereka [13 nelayan]. Jadi tidak ada yang perlu dikuatirkan,” kata Suzanna Wanggai, melalui sambungan telepon di Kota Jayapura, Kamis (22/9/2022).
Ia katakan sudah menjadi kewajiban negara untuk mendampingi warganya yang alami masalah hukum di negara lain.
“Tetapi kita tidak bisa mengintervensi hukum yang ada di negara Papua Nugini,” sambungnya.
KBRI selalu berikan bantuan logistik
Mengenai adanya keluhan soal makanan dan minum yang dikonsumsi 13 nelayan selama di penjara, Suzanna mengatakan hal itu sudah harus dimaklumi. Hanya saja KBRI beberapa kali juga memberikan bantuan logistik, bahkan sampai pagi tadi.
“Kalau mau makan enak, ya jangan di penjara,” ujarnya.
Ia katakan, seharusnya nelayan Papua bisa belajar dari masalah-masalah yang sudah sering kali terjadi, sehingga kewaspadaan untuk tidak melakukan pelanggaran itu lebih ditingkatkan.
“Pemilik kapal harus bisa melihat ini dan tidak kembali melakukan kesalahan, sebab yang akan menjadi korban adalah para anak buah kapal [ABK] yang tahunya bekerja,” katanya tegas.
Identitas 13 nelayan Merauke
Kapal motor nelayan Arsyla 77 dan Baraka Paris 21 ditangkap oleh tentara Papua Nugini pada Senin (22/82022). Penangkapan diduga terjadi saat kapal nelayan asal Merauke sedang mencari ikan di wilayah perairan PNG.
Identitas 13 ABK yang ditangkap yakni Sarif Casiman (nahkoda), Riki, Farid, Joko, Canu, Lasani, Joni, Rohman (nahkoda), Beni, Mor, Amin, Nando, dan Emi. (*)