Jayapura, Jubi – Badan Riset Dan Inovasi Nasional atau BRIN merencanakan untuk melakukan pemindahan koleksi arkeologi Papua ke Cibinong pada tahun ini.
Namun rencana tersebut ditanggapi serius dan dikecam oleh kurator Papua karena dinilai melakukan praktik kolonial di Papua. Hal itu dikatakan Endrico Yory Kondologit di, Museum Universitas Cenderawasih, distrik Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua pada Jumat (5/7/2024).
Badan Riset Dan Inovasi Nasional telah melakukan migrasi atau memindahkan koleksi arkeologi di sebanyak 14 lokasi penyimpanan, antara lain KKE Gedong kuning Yogyakarta, Laboratorium Arkeologi Gunung Sewu, Pacitan Jawa Timur, Laboratorium Arkeologi Plawangan Rembang Jawa Tengah, Laboratorium Arkeologi Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, PKB Palembang, Sumatera Selatan, PKB Denpasar, Penyimpanan Artefak Gianyar dan Gilimanuk, Bali, Tempat Penyimpanan Artefak Ruteng, Manggarai Flores, NTT. KKB Medan, Sumatera Utara, Laboratorium Arkeologi Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, KKB Banjarbaru Kalimantan Selatan, KKB Makassar, Sulawesi Selatan, KKB Manado, Sulawesi Utara, KKB Ambon dan Pulau Banda, Maluku serta KKB Jayapura, Papua yang di Jadwalkan BRIN diangkut pada 16 Desember 2024.
Ketika Wartawan Jubi mengkonfirmasi kepastian rencana BRIN tersebut, Erlin Novita I Djami, Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN di Jayapura mengatakan benar adanya rencana pemindahan benda-benda arkeologi yang ada di balai arkeologi Papua karena perubahan fungsi kantor yang sebelumnya Balai Arkeologi Papua. Namun sudah diubah menjadi kantor administrasi Badan Riset dan Inovasi Nasional.
“Pemindahan Artefak itu yang ada di balai sini saja karena sudah ada perubahan fungsi Kantor kami ini menjadi tempat kerja bukan tempat penyimpanan. Sementara tempat penyimpanan sudah disiapkan di Cibinong, Jawa Barat,” katanya.
Erlin mengatakan alasan Artefak-artefak akan dipindahkan ke Cibinong, Jawa Barat, tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan, tetapi juga sebagai pusat riset arkeologi sehingga masyarakat dapat mengunjungi dan belajar di Cibinong, Jawa Barat.
Ia mengatakan kebijakan ini dilakukan oleh BRIN Pusat, sementara ia bersama rekan-rekan hanya sebagai pelaksana di lapangan.
“Alasan lain adalah perawatan sehingga benda-benda arkeologi yang ada di sini tidak ada perawatannya, jadi semua perawatan akan terkonsentrasi di satu tempat. kami hanya sebagai pelaksana di lapangan, kalau ingin lebih jauh untuk mengetahuinya bisa hubungi pengambil kebijakan di jakarta,” ujarnya.
Menanggapi rencana BRIN tersebut, Antropolog dan Kurator Papua, Enrico Yory Kondologit mengatakan pihaknya akan melakukan advokasi yang dimulai dari tingkat bawah, seperti masyarakat adat dari 7 wilayah adat, dewan adat Papua, Pemerintah Daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas, LSM, termasuk juga di dalamnya Balai Pelestarian Kebudayaan atau BPK.
“Tujuan dari advokasi tersebut adalah untuk melakukan tindakan represif agar bagaimana menahan benda-benda eks arkeologi untuk tetap ada di Papua,” katanya.
Kondologit berpendapat bahwa sebagai orang asli Papua – OAP yang juga sebagai seorang antropolog dan kurator yang bekerja dalam bidang-bidang kebudayaan material sangat menolak dengan tegas rencana pemindahan yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional tersebut.
“Teman-teman yang kerja di BRIN itu harus sadar bahwa kita para antropolog dan arkeolog itu adalah seorang peneliti. Klaim peneliti secara etika itu ada pada hasil riset yang dibukukan atau yang ditulis deskripsi, teori, segala macam konsep itu adalah klaim yang bisa kita lakukan sebagai seorang peneliti. Tetapi hasil temuan di lapangan, apalagi yang berhubungan dengan benda-benda kebudayaan material entah itu benda-benda artefak atau benda-benda kebudayaan menjadi milik masyarakat,” ujarnya.
Ia mengatakan sekalipun benda-benda kebudayaan itu ditemukan di hutan mana pun, harus diingat bahwa Papua ini bukan Tanah kosong maka itu bagian dari klaim masyarakat.
Ia mengatakan secara akademik, para peneliti boleh memindahkan benda-benda itu untuk melakukan riset dan penelitian, sejatinya setelah penelitian dikembalikan ke tempatnya, ataupun upaya penyelamatan di tanah Papua ini ada museum.
“Dan kami Museum Uncen ini sejak awal sudah menyampaikan bahwa kami ada museum sebagai wadah pelestari. Saya tidak tau teman-teman dari Arkeologi ini kesombongan egoisme apa? sampai tetap mempertahankan barang-barang itu di tempat mereka dan tidak mau titip di museum? Kalau mereka takut dicuri, sejak kapan Museum Uncen ini ada barang hilang atau dicuri?” katanya.
Kondologit mengatakan alasan yang kedua pihaknya menolak adalah BRIN dan Museum Uncen sama-sama instansi vertikal. Museum Uncen tidak seperti museum pemerintah daerah yang tidak terurus. Ia mengatakan kalau memang BRIN tidak mau untuk dititipkan di Museum Uncen, dipersilakan berbicara bersama Pemerintah Daerah untuk menyiapkan satu gedung agar bisa menampung benda-benda budaya dan bersejarah.
“Yang ketiga itu saya sebagai orang Papua melarang keras untuk benda-benda itu dipindahkan. Untuk apa sa pu barang-barang itu dipindah? Itu adalah bagian dari praktik kolonial karena dulu orang-orang kolonial sudah banyak benda-benda budaya yang dibawa ke luar negeri seperti ke Amerika, Belanda, Perancis sehingga kita mesti pergi belajar dari mereka padahal kita punya budaya sendiri,” ujarnya.
Ia menilai justru sekarang banyak antropolog, Profesor, Doktor di Papua untuk melakukan penelitian budaya sendiri.
“Kita setengah mati mau belajar karena ulah mereka. Memangnya orang Papua tidak mampukah? Sekarang antropolog kita juga sudah banyak ada Profesor, ada Doktor, apalagi yang kita tidak bisa, setop cari alasan untuk bawa barang-barang itu keluar sana,” katanya.
Kondologit mengatakan pihaknya memberikan batas waktu hanya satu bulan ini untuk BRIN membuat dan menyampaikan pernyataan resmi terkait pembatalan perencanaan tersebut.
Ia mengatakan jika BRIN tidak bisa melakukan pernyataan resmi, maka ia sendiri akan pimpin orang atau massa untuk datang melakukan protes ke kantor BRIN yang ada di Waena.
“Kami tidak suruh kamu datang ambil barang-barang itu, penelitian itu hanya untuk kepentingan studi-mu S1, S2, S3, dan Profesor kamu dapat dari situ baru kami masyarakat dapat apa? Kami orang Papua pemilik benda-benda itu dapat apa? Stop memperkaya diri dengan alasan penelitian padahal akan menghilangkan jejak budaya kami dengan memindahkan alat-alat budaya kami,” ujarnya. (*)