Papua No. 1 News Portal | Jubi
Wamena, Jubi – Selasa (1/2/2022) malam itu, teriakan “wa, wa, wa, wa, wa” terus diucapkan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Jayawijaya, Engelbertus Surabut dalam pertemuannya dengan rombongan Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Hilmar Farid di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Papua. Pekik “wa, wa, wa, wa” itu merupakan sambutan khas Wilayah Adat Lapago, ungkapan “selamat datang” dari tuan rumah kepada tamunya.
Pekikan yang juga merupakan ucapan terima kasih atas pastisipasi dukungan morel dan materil dari seseorang itu mengawali paparan materi Engelbertus Surabut kepada Hilmar. Surabut menjelaskan berbagai potensi budaya Kabupaten Jayawijaya, Wilayah Adat Lapago, dan juga mempaparkan potensi budaya Wilayah Adat Meepago.
“Orang bilang, kalau belum ke Wamena, belum [bisa disebut sudah pernah] ke Papua. Banyak alasan yang mendukung ungkapan itu,” ujar Suarabut saat menjelaskan paparannya.
Baca juga: Lembah Baliem dan 10 keunikannya
Kabupaten Jayawijaya merupakan kabupaten induk dari kabupaten Tolikara, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Yalimo, Nduga, Lany Jaya, dan Mamberamo Tengah. Surabut menyebut, Jayawijaya sebagai kabupaten tertua di Wilayah Adat Lapago menyimpan potensi wisata alam dan kebudayaan yang tak ada duanya di Indonesia, bahkan di dunia.
“Keajiban dunia, keajaiban Tuhan, ada di sini,”ungkap Surabut. Ia memaparkan sekitar 30 obyek wisata yang ada di Jayawijaya.
Selain memiliki salju abadi di wilayah tropis, Jayawijaya juga memiliki danau air garam, lima mumi manusia, dan arsitektur khas rumah adat yang disebut silimo atau pilamo. Surabut menyebut berbagai potensi itu perlu dikelola sekaligus dilindungi, Surabut mengusulkan agar Lembah Baliem, yang dalam bahasa setempat disebut juga sebagai Lembah Hubulama, diajukan sebagai situs warisan budaya dunia.
Baca juga: Lembah Baliem selayang pandang
“Kami mohon mumi, o sili, pilamo atau kunume yang tersebar di Wilayah Adat Lapago, Yali, Lani dan Hubula [diajukan menjadi situs warisan budaya dunia]. Kami mohon kepada Direktur Jenderal Kebudayaan, jadikan warisan budaya dunia dari Indonesia, Papua,” ungkapnya.
Surabut menyatakan arsitektur khas silimo dan mumi harus bersama-sama menjadi benda warisan budaya dunia, karena keduanya ada dari satu kesatuan hidup. Sebagai konsep rumah adat masyarakat adat Lapago, silimo menjadi pusat kebudayaan dan pendidikan. Selain bernilai penting dalam tradisi orang di Wilayah Adat Lapago, silimo juga menjadi basis organisasi kehidupan, pusat pendidikan, dan kebudayaan orang Huwula secara turun termurun.
Dari silimo itulah yang kemudian memunculkan ratusan mumi yang pernah ada. Saat ini, tinggal lima mumi manusia yang tersisa, karena banyak mumi yang telah rusak atau terbakar dalam perang suku sebelum masyarakat adat di sana berkontak dengan dunia luar.
Baca juga: Museum Noken seharusnya dikelola sebagai ikon dan destinasi wisata
“Kami punya lima mumi, tetapi yang terbuka untuk [masyarakat] umum hanya empat mumi. Kami mohon [keberadaan mumi asli Lembah Hubulama itu] didaftarkan ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa [atau] UNESCO, supaya negara tidak klaim itu miliknya. Daftarkan, supaya pemiliknya jelas,” kata Surabut.
Menanggapi usulan Surabut, Hilmar Farid menyebut mumi dan pilamo merupakan potensi budaya khas Hubulama yang pantas diusulkan menjadi warisan budaya dunia. Akan tetapi, Hilmar juga mendorong Pemerintah Kabupaten Jayawijaya berpijak dalam kerangka yang lebih besar lagi, mengajukan pusat peradaban Lembah Hubulama sebagai situs warisan budaya dunia.
“Saya setuju sekali mumi dan pilamo menjadi warisan budaya dunia. Tetapi kalau boleh usul, seluruh lembah pusat peradaban itu menjadi warisan budaya dunia. Dunia patut belajar dari lembah ini,” ungkapnya, sembari mencontohkan pengelolaan budaya di Bali.
Baca juga: UNESCO dorong upaya pelestarian noken Papua
Hilmar menyatakan untuk mengajukan Lembah Baliem ditetapkan sebagai situs warisan budaya dunia tidak mudah. Hilmar menyebut, upaya itu membutuhkan komitmen dan kerja keras pemerintah daerah dan berbagai pihak lainnya.
“Bukan sekadar mendaftarkan, tetapi tanggung jawab [pasca pendaftaran itu] tidak kecil. [Itu membutuhkan] komitmen, memerlukan kesuguhan, konsekuensi paling mendasar, mengintegrasikan, menyatukan komitmen dalam upaya membangun,” kata Hilmar.
Menurutnya, komitmen itu tidak bisa diwujudkan hanya dengan sebuah program atau ikutan program. Perspektif untuk menjadikan Lembah Baliem sebagai situs warisan dunia harus menjadi titik pusat atau bagian utama dari perencanaan pembangunan daerah di Jayawijaya. “Mau lanskap budaya dunia, [perspektif Lembah Baliem sebagai] pusat peradaban kita taruh di hulu, bukan di hilir,” kata Hilmar. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G
Discussion about this post