Jayapura, Jubi – Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena menyatakan putusan majelis hakim Pengadilan Militer II-08 Jakarta yang menjatuhkan vonis bersalah terhadap para prajurit TNI AL yang terlibat kasus penembakan bos rentan mobil di Tangerang harus menjadi momentum untuk merevisi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Putusan itu menegaskan bahwa banyak prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum yang seharusnya diadili di peradilan umum.
Hal itu dinyatakan Wirya melalui keterangan pers tertulis Amnesty International Indonesia menanggapi putusan majelis hakim Pengadilan Militer II-08 Jakarta dalam perkara penembakan bos rental mobil di rest area KM 45 Tol Merak-Tangerang pada Selasa (25/3/2025). Majelis hakim menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo dan Sersan Satu Akbar Adli. Seorang terdakwa lainnya, Serean Satu Rafsin Hermawan divonis hukuman penjara selama empat tahun.
Wirya menyatakan vonis bersalah kepada ketiga prajurit TNI AL menunjukkan bahwa ada banyak prajurit TNI yang melakukan delik pidana umum. “Putusan penjara seumur hidup dan empat tahun untuk tiga personel TNI AL dalam kasus penembakan bos rental di Tangerang menunjukkan banyaknya personel militer yang terlibat dalam kasus pidana umum seperti pembunuhan dan penadahan,” ujarnya.
Menurutnya, pembunuhan yang dilakukan oleh anggota militer lewat penyalahgunaan senjata yang diberikan oleh negara bukanlah pembunuhan seperti yang dilakukan oleh warga sipil, melainkan termasuk kategori pembunuhan di luar hukum oleh aparat. Dari 9 kasus pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat sejak Januari 2025, empat di antaranya pelakunya berasal dari TNI.
Data tersebut belum termasuk kasus-kasus pembunuhan di luar hukum di Papua, di mana aparat keamanan maupun aktor non-negara kerap melakukan pembunuhan di luar hukum dengan impunitas.
Amnesty International Indonesia menilai kasus kriminalitas yang melibatkan personel militer semakin marak, termasuk pembunuhan di luar hukum. Amnesty International mencatat sepanjang tahun 2024 terdapat sebanyak 55 kasus pembunuhan di luar hukum dengan jumlah korban 55 orang. Pelakunya mayoritas berasal dari aparat kepolisian maupun militer.
Setelah pembunuhan pengusaha rental mobil, seorang perempuan pada 31 Januari lalu diduga dibunuh oleh kekasihnya, seorang anggota TNI AD berpangkat Pratu di Tangerang Selatan, Banten. Pada 15 Maret lalu, seorang anggota TNI AL berpangkat Kelasi Dua juga dilaporkan menembak mati seorang pekerja sales mobil di Aceh Utara, Aceh. Lalu tiga polisi ditembak mati saat menggerebek judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Way Kanan, Provinsi Lampung, pada 17 Maret 2025.
Wirya menyatakan pengadilan militer telah dibebani oleh kasus-kasus pidana umum yang seharusnya diadili oleh pengadilan umum. Revisi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer) yang mengatur bahwa prajurit TNI pelaku delik pidana umum diadili di peradilan umum akan membuat peradilan militer bisa fokus menangani kasus kejatahan/pelanggaran yang terkait dengan dinas militer saja.
“Revisi UU Peradilan Militer merupakan langkah mendesak guna memastikan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Anggota militer yang terlibat dalam tindak pidana umum seharusnya diadili di peradilan umum, sebagaimana warga sipil pada umumnya, demi menjamin transparansi, independensi, dan keadilan hukum yang lebih baik,” demikian keterangan pers tertulis Amnesty International Indonesia pada Selasa.
Amnesty International Indonesia menyatakan pemerintah dan DPR harus segera mengambil langkah konkret dengan mempercepat revisi UU Peradilan Militer. “Reformasi sistem peradilan militer ini menjadi kebutuhan mendesak agar tidak ada lagi impunitas dan untuk memastikan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, tunduk pada hukum yang sama.”
Amnesty International Indonesia menyayangkan majelis hakim Pengadilan Militer II-08 Jakarta yang menolak permohonan restitusi dalam putusan hari ini. Amnesty Internasional Indonesia menilai seharusnya keluarga korban mendapatkan restitusi, karena pembunuhan terhadap korban terjadi karena penyalahgunaan senjata yang diberikan negara.
“Restitusi penting untuk memberikan keadilan bagi korban tindak pidana serta mengganti kerugian yang diderita korban, baik kerugian materiil (kehilangan harta benda, biaya perawatan medis, dan lain-lain) maupun kerugian imateriil (trauma psikologis, penderitaan, dan lain-lain) sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana,” demikian keterangan pers Amnesty International Indonesia. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!