Jayapura, Jubi – Direktur Papuan Observatory for Human Rights atau POHR, Thomas Christofel Syufi mendukung Juha Christensen menjadi mediator dialog, antara pemerintah Indonesia di Jakarta dengan orang Papua.
Menurut Syufi, Christensen merupakan mediator berpengalaman dalam perundingan damai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia, 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia.
Juha Christensen juga dianggap sebagai salah satu aktor kunci bersama mantan Presiden Finlandia dan pemenang hadiah Nobel Perdamaian Martti Ahtisaari yang sukses memediasi konflik Aceh.
“Dia memiliki reputasi dan kredibilitas global yang baik dalam ikut menyelesaikan berbagai konflik, baik di negara-negara Balkan, termasuk perdamaian GAM dan pemerintah Indonesia,” kata Syufi dikutip dari siaran pers kepada Jubi di Jayapura, Papua, Senin (27/1/2025).
Syufi mengatakan, Christensen menawarkan bantuan sebagai mediator konflik Papua ini, telah disampaikan kepada Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, dan Pemasyarakatan RI Yusril Ihza Mahendra pada 22 Januari 2022. Maka pemerintah Indonesia harus menggubrisnya dan menetapkan langkah-langkah kerja konkret, dalam menyelesaikan konflik Papua melalui dialog.
Dialog, katanya, melibatkan kedua pihak yang berkonflik, yaitu rakyat Papua yang diwakili oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) atau United Liberation Movement for West Papua (ILMWP).
Dalam proses ini, katanya, bisa dipercayakan sepenuhnya kepada seorang mediator, untuk mengatur segala aturan main dialog, dengan tetap dalam supervisi kedua pihak yang berkonflik, yaitu Papua dan Jakarta.
“Saya berharap kelompok pro-kemerdekaan Papua maupun pemerintah pusat di Jakarta jangan mengulur-ulur waktu untuk berunding dan berdialog untuk perdamaian Papua,” katanya.
“Kita baru menyaksikan di bulan pertama tahun 2025 dalam rentan waktu sekitar 2 minggu dua anggota polisi Indonesia mati tertembak di daerah Papua Pegunungan oleh pelaku yang diduga TPNPB-OPM. Bahkan sebelumnya, Komnas HAM RI mencatat bahwa 71 orang tewas akibat kekerasan selama tahun 2024 di Papua,” katanya.
Dari puluhan kasus kekerasan ini, katanya, ada 114 orang menjadi korban, 71 orang tewas dan 40 orang di antaranya warga sipil, 15 aparat keamanan meninggal dunia, 15 orang sipil bersenjata meninggal, serta satu warga negara asing meninggal.
Dia mengatakan, proses penyelesaian konflik Papua sengaja dibiarkan. Dampaknya korban terus berjatuhan.
Menurut pengacara kelahiran Tambrauw, Provinsi Papua Barat Daya, 11 Januari 1989 itu, kasus pelanggaran HAM di Papua yang selama ini dilakukan oleh negara melalui aparat TNI-Polri, jarang sekali diproses secara adil dan benar sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bahkan pelaku tidak pernah diseret ke pengadilan HAM, tetapi melalui peradilan umum dan peradilan militer.
Bahkan, katanya, sebagian pelaku pelanggar HAM hanya diberi sanksi ringan dengan ganjaran demosi, sebagian besar mendapatkan impunitas dan promosi dari perbuatan jahat mereka.
“Ini menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat Papua, termasuk masyarakat internasional terhadap pemerintah Indonesia atas ketidakmampuannya dalam menyelesaikan konflik dan pelanggaran HAM di Papua,” katanya.
Dia mengatakan, kasus HAM di Papua terus menjadi sorotan masyarakat internasional, tetapi pemerintah belum memiliki niat tulus untuk menyelesaikannya. Bahkan, konflik dan pelanggaran HAM Papua baru saja dipertanyakan oleh para tokoh politik internasional kepada pemerintah Indonesia.
“Yaitu, Delegasi Pemerintah Kerajaan Inggris yang dipimpin Catherine West MP selaku Parliamentary Under-Secretary of State at the Foreign, Commonwealth and Development Office dan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Dominic Jermey, melalui Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra di Kantor Menko Kumham Imipas, Jakarta, Senin, 20 Januari 2025,” katanya.
Dalam pertemuan itu, kata Thomas, pemerintah Inggris melalui Dubes Dominic mempertanyakan kebijakan pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, terhadap konflik dan pelanggaran HAM di Papua.
“Pertanyaan itu berangkat dari informasi dan laporan yang didapatkan oleh pemerintah Inggris, bahkan kerap terus digaungkan oleh para anggota Parlemen Inggris. Saya pikir apa yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia itu, perlu direspons secara jujur dan objektif oleh pemerintah Indonesia,” katanya.
“Jangan ditanggapi dengan cara-cara diplomasi yang bisa menimbulkan kecurigaan dari pejabat asing, bahwa pemerintah Indonesia sepertinya lalai dan sengaja tidak mau menyelesaikan fakta pelanggaran HAM dan konflik di Papua melalui cara-cara damai, justru berupaya melakukan distorsi dan amnesia terhadap memoria passionis rakyat Papua.”
Menurut dia, anggapan bahwa konflik Papua sebagai hal remeh merupakan pengabaian terhadap HAM. Dia bahkan skeptis bahwa pemberian amnesti dan abolisi terhadap tahanan politik Papua tidak akan menyelesaikan konflik Papua.
“Karena itu, tawaran dialog menjadi cara paling efektif dan bermartabat yang like or dislike harus disetujui oleh pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik Papua seperti konflik Aceh pada 2005 silam,” katanya.
“Hanya dengan jalan dialog, mata rantai kekerasan dan litani kematian di Tanah Papua dapat diakhiri, perdamaian dapat terwujud, martabat kemanusiaan terlindungi, dan kesejahteraan rakyat bisa dioperasikan dan dinikmati oleh masyarakat Papua,” lanjutnya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!