Jayapura, Jubi – Amnesti Internasional atau AI meminta Presiden Indonesia terpilih, Prabowo Subianto yang dilantik pada Minggu (20/10/2024), wajib melindungi hak asasi manusia atau HAM.
Menurut AI, Pemerintah baru harus segera mengambil langkah-langkah efektif untuk menegakkan HAM bagi semua warga, mengoreksi kebijakan pemerintahan yang lama, dan memastikan adanya pertanggungjawaban negara atas setiap pelanggaran HAM yang terjadi.
AI menyatakan, Pemerintahan Jokowi selama ini gencar menjalankan agenda pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, yang dibayang-bayangi oleh pola pelanggaran serius dan mengkhawatirkan terhadap HAM.
“Pelanggaran-pelanggaran tersebut–mulai dari penindasan atas kebebasan berekspresi, penyingkiran hak komunitas adat, perusakan lingkungan, peningkatan konflik di Papua, hingga penguatan budaya impunitas–merupakan ciri mencolok pelanggaran pemerintah yang lama terhadap kewajiban dan komitmen internasional Indonesia di bidang HAM,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dikutip dari siaran pers kepada Jubi di Jayapura, Papua, Sabtu (19/10/2024).
Usman mengatakan, pemerintahan yang baru harus menjadikan prioritas utama untuk mengakhiri pelanggaran HAM yang semakin buruk, sekaligus memastikan terwujudnya ruang warga untuk bersuara dan berpartisipasi secara inklusif dalam urusan pengambilan kebijakan publik.
Selama pemerintahan Jokowi, katanya, para pembela HAM dan warga biasa menghadapi tindakan represi, meskipun pemerintah Indonesia mengklaim kemajuan dalam HAM dan supremasi hukum.
Dari Januari 2019 hingga Oktober 2024, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 454 kasus serangan terhadap 1.262 pembela HAM, termasuk pegiat masyarakat adat, jurnalis, dan aktivis lingkungan.
Salah satu contoh yang paling mencolok adalah kekerasan terhadap aksi-aksi protes yang damai maupun perbedaan pendapat.
Demonstrasi yang menentang undang-undang kontroversial dihadapi dengan kebijakan dan tindakan yang represif oleh aparat keamanan, dengan banyak laporan tentang adanya intimidasi, pelecehan, penggunaan kekerasan yang berlebihan, penangkapan sewenang-wenang, dan perlakuan yang merendahkan. Ini termasuk aksi menolak Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020 dan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada 2024, maupun aksi menolak kebijakan pembangunan seperti proyek strategis nasional yang mengancam hak-hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan.
“Pemerintah baru harus menyadari bahwa aksi protes bukan ancaman bagi negara, tetapi sendi yang fundamental dari pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai, seperti yang dijamin oleh Konstitusi dan perjanjian HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia,” kata Usman Hamid.
Menurut Usman, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tetap menjadi UU yang sangat bermasalah yang terus mengkriminalisasi pembela HAM dan membungkam suara-suara kritis di Indonesia, meskipun telah direvisi dua kali, pada 2016 dan 2024.
Selama bertahun-tahun, undang-undang ini dinilai telah berubah menjadi alat untuk menekan kritik terhadap pemerintah, membungkam hak atas kebebasan berekspresi, dan mengintimidasi mereka yang berusaha meminta pertanggungjawaban pihak berwenang atas pelanggaran HAM. Pembela HAM sering menjadi sasaran kriminalisasi hanya karena berbicara tentang dugaan korupsi, kerusakan lingkungan, atau penyalahgunaan kekuasaan.
Dari Januari 2019 hingga September 2024, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 521 kasus dengan 554 orang didakwa berdasarkan Undang-Undang ITE atas tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
“Tindakan ini mengungkapkan penindasan dan impunitas yang sudah mendarah daging, di mana pemerintah gagal memberikan kebebasan bagi rakyat untuk mengungkapkan pandangan mereka dan menyampaikan keluhan mereka,” kata Usman Hamid.
Marginalisasi masyarakat adat dan pengabaian lingkungan
Masyarakat adat dan komunitas lokal selama pemerintahan Jokowi, kata Usman, terus menghadapi represi. Misalnya, penduduk Poco Leok di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur menentang perampasan tanah mereka oleh pemerintah untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, yang merupakan bagian dari proyek strategis nasional.
Pada 2 Oktober 2024, beberapa pengunjuk rasa, termasuk perempuan, terjatuh setelah didorong dan sedikitnya seorang warga pingsan setelah ditendang oleh petugas. Polisi juga menangkap dan diduga memukuli empat warga, termasuk seorang jurnalis yang sedang meliput.
Perlakuan serupa terhadap pengunjuk rasa terjadi di Sirkuit Mandalika di Nusa Tenggara Barat menjelang balapan MotoGP September lalu. Otoritas melarang spanduk dan demonstrasi selama acara tersebut, mencerminkan represi yang terus berlanjut terhadap suara-suara kritis, terutama dari komunitas adat setempat yang tanahnya disita untuk Sirkuit Mandalika dan Kawasan Ekonomi Khusus tanpa kompensasi yang adil.
Katanya, proyek strategis nasional mengancam akan menggusur masyarakat adat dari tanah leluhur mereka, dengan sedikit atau tanpa konsultasi yang bermakna maupun kompensasi yang adil.
“Pemerintah tampaknya tidak peduli tentang Persetujuan Berdasarkan Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa). Masyarakat adat dan lokal hanya dipandang sebagai penghalang pembangunan,” kata Usman.
Di Papua, proyek jalan Trans-Papua menembus wilayah adat tanpa konsultasi yang bermakna dengan penduduk setempat. Begitu pula masyarakat adat Merauke di Papua Selatan menolak PSN lumbung pangan (food estate), dengan alasan implementasinya yang agresif berupa perampasan lahan dan deforestasi tanpa adanya konsultasi yang memadai dan persetujuan dari masyarakat sekitar yang terdampak.
Di Sumatera Utara, proyek Bendungan Hidroelektrik Batang Toru mengancam komunitas adat yang tinggal di dekat hutan Batang Toru dan ekosistemnya, termasuk habitat orangutan Tapanuli.
Di Jawa Tengah, pabrik semen Kendeng tetap berjalan dengan konsultasi yang minim dan kurangnya kompensasi yang memadai meskipun ada penolakan dari komunitas adat Sedulur Sikep.
Di Kalimantan Timur, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sedang berlangsung mengancam hak-hak masyarakat adat Dayak Paser, yang lahannya berada di dalam dan sekitar zona pembangunan yang direncanakan.
Dalam banyak kasus, proyek-proyek semacam itu juga, katanya, menyebabkan degradasi lingkungan, karena hutan dibabat, ekosistem terganggu, dan komunitas lokal harus menanggung dampak ekologis yang ditimbulkan.
“Presiden dan pemerintah yang baru harus memprioritaskan pembangunan berkelanjutan yang menghormati hak-hak tanah masyarakat adat dan akses ke keadilan serta upaya pemulihan yang efektif, dan memastikan bahwa komunitas yang terkena dampak memiliki peran yang berarti dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi mata pencaharian dan keseharian mereka,” katanya.
“Hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal harus dihormati dan dilindungi secara efektif dalam semua proyek pembangunan nasional,” lanjutnya.
Krisis kemanusiaan di Papua
Kekerasan yang melibatkan aparat keamanan negara dan kelompok pro-kemerdekaan Papua terus berlangsung dan terus merenggut korban jiwa. Menurut pantauan Amnesty International, antara Februari 2018 dan Agustus 2024, terdapat setidaknya 132 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua, yang mengakibatkan kematian setidaknya 242 warga sipil. Sebagian besar insiden ini, yaitu 83 kasus dengan 135 korban warga sipil, dikaitkan dengan aparat keamanan.
Pada periode yang sama, setidaknya 55 personel militer (TNI) tewas dalam 37 kasus, begitu pula 16 anggota polisi (Polri) dalam 14 kasus, dan 42 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua (OPM) dalam 27 kasus pembunuhan di luar hukum.
Pembunuhan ini meningkatkan ketegangan, terutama bagi masyarakat adat Papua yang tidak bersalah yang tetap menjadi korban.
“Kami mendesak presiden dan pemerintah baru untuk mengevaluasi pendekatan keamanan yang masif di Tanah Papua. Selama dekade terakhir, penempatan militer yang semakin intensif hanya menghasilkan lebih banyak pelanggaran HAM. Pemerintah baru harus menegakkan HAM bagi semua warga, termasuk Orang Asli Papua, dan memastikan keadilan serta akuntabilitas atas pelanggaran HAM di Tanah Papua,” kata Usman Hamid.
Janji yang tak ditepati
Dalam kampanye Pilpres pada tahun 2014, Joko Widodo berjanji untuk menangani pelanggaran HAM masa lalu dan mengakhiri impunitas. Namun, satu dekade kemudian, janji ini masih belum terpenuhi.
Terduga pelanggar HAM terus menikmati impunitas sementara korban terus-menerus menuntut akses keadilan dan upaya pemulihan yang efektif, termasuk dalam 12 kasus yang diakui oleh presiden pada Januari 2023.
Hingga saat ini belum ada tindakan konkret dari Jaksa Agung untuk melanjutkan kasus-kasus ini ke tahap penyelidikan dan penuntutan, sesuai dengan mandat Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Menurut Usman, kurangnya akuntabilitas ini meluas ke pelanggaran HAM lainnya yang masih berlangsung hingga kini, di mana aparat penegak hukum dan pejabat negara jarang sekali menghadapi konsekuensi atas tindakan mereka.
“Jika Indonesia ingin melangkah maju, pemerintah baru harus segera memprioritaskan penghormatan terhadap HAM, akuntabilitas, dan supremasi hukum,” ujarnya.
“Ini termasuk membuka kembali atau melakukan investigasi yang menyeluruh, independen, imparsial, transparan, dan efektif terhadap pelanggaran HAM masa lalu, memastikan akses keadilan dan upaya pemulihan yang efektif bagi korban, serta memperkuat aturan hukum dan mekanisme kelembagaan yang ada untuk mencegah dan memperbaiki pelanggaran di masa depan,” lanjutnya.
Usman Hamid mengatakan, Pemerintah yang gagal mengatasi pelanggaran di masa lalu dipastikan akan mengulanginya lagi, dan pemerintahan baru memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa sejarah impunitas Indonesia tidak dibawa ke masa depan. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!