Jayapura, Jubi – Imparsial menyatakan, operasi militer di Tanah Papua hanya mengorbankan warga sipil dan pengungsian besar-besaran.
Menurut Imparsial, sejumlah warga sipil dari Kampung Bumbakon, Mimin, Oksop, Alutbakon, Oktumi, Atenor, dan Ngangom, Distrik Oksop, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan, meninggalkan rumah mereka dan terpaksa mengungsi ke hutan dan distrik lain sejak 8 Desember 2024.
Para pengungsi dilaporkan sedang kesulitan mendapatkan bahan makanan dan pasokan air minum. Gelombang pengungsian tersebut, disebabkan karena warga merasa ketakutan akibat operasi militer, yang mengerahkan personel militer secara mendadak pada 4 Desember 2024.
“Hal ini (operasi militer) mengejutkan dan menimbulkan kecemasan bagi warga Distrik Oksop, yang merasa terganggu dengan kehadiran aparat, dalam jumlah besar di wilayah mereka,” kata Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, seperti dikutip dari siaran pers kepada Jubi di Jayapura, Papua, Rabu (18/12/2024).
Apalagi, lanjut Ardi, bagi perempuan dan anak-anak yang tidak pernah mendengar bunyi tembakan senjata di sekitar kampungnya.
Imparsial memandang, operasi militer yang melakukan aksi penyisiran oleh anggota TNI, dilakukan dengan tidak manusiawi dan tidak mengindahkan prinsip hukum humaniter.
“Mereka melepaskan tembakan secara sembarang dan melakukan pemeriksaan dengan cara intimidatif dan kekerasan,” ujar Ardi.
Menurut dia, kehadiran TNI dalam jumlah besar dan mendadak di Distrik Oksop, menyebabkan warga menjadi ketakutan, hingga terpaksa harus mengungsi ke hutan, untuk menyelamatkan diri.
“Kejadian ini menimbulkan trauma mendalam bagi warga sipil yang menjadi korban dari adanya operasi militer yang dilakukan secara sewenang-wenang,” katanya.
Menurut laporan Pdt. Jimmy Koirewoa, Ketua Departemen Hukum dan HAM Gereja Injili di Indonesia (GIDI), kata Ardi, sekitar 3.318 orang dari Distrik Oksop berada di pengungsian. Lokasi pengungsian terpencar di beberapa titik dan akses menuju pengungsian dan gedung gereja GIDI Efesus Sape dikuasai oleh aparat TNI.
Mobilisasi aparat TNI, lanjutnya, dilakukan melalui jalur darat dan udara, dengan menerjunkan mereka dari helikopter.
“Akibat dari kejadian ini, semua fasilitas dan pelayanan publik terhadap warga lumpuh total, akses menuju sekolah dan layanan kesehatan terhambat,” katanya.
Selain itu, katanya, pada 4 Desember 2024, umat Stasi Kandang Betlehem Bumbakon menjadi target anggota TNI yang mengejar kelompok TPNPB. Rumah-rumah jemaat didobrak, hingga menimbulkan ketakutan dan terjadi pengungsian besar-besaran.
Menurut catatan Imparsial, gelar pasukan TNI di Papua masih terus berlanjut. Selama tahun 2024, pemerintah setidaknya telah mengirimkan 3.187 pasukan non-organik ke Tanah Papua.
“Penting untuk diingat bahwa pengiriman pasukan ini merupakan tindakan ilegal yang bertentangan dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI yang menegaskan bahwa operasi militer selain perang hanya dapat dilakukan setelah adanya kebijakan dan keputusan politik negara, yaitu kebijakan politik pemerintah bersama dengan DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR seperti rapat konsultasi dan rapat kerja,” katanya.
“Sedangkan selama ini tidak ada satu pun kebijakan atau keputusan politik, untuk melakukan operasi militer oleh TNI ke tanah Papua. Akibatnya korban terus berjatuhan karena kontak senjata seringkali terjadi di tengah pemukiman warga,” ujarnya.
Imparsial menilai, pengiriman pasukan dan operasi militer ilegal, yang terus dilakukan oleh pemerintah, semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius dalam menyelesaikan konflik di Papua. Pendekatan keamanan masih menjadi prioritas utama pemerintah. Sebaliknya pendekatan damai dan dialog justru cenderung diabaikan.
“Langkah dan pendekatan keamanan justru memperburuk situasi, menambah ketakutan masyarakat setempat dan memperkuat pengaruh militer di wilayah yang sudah rentan konflik,” katanya.
Apalagi, katanya, pengerahan TNI yang dilakukan secara masif akan meningkatkan korban dari warga sipil secara terus-menerus.
“Jika terus dilanjutkan, siklus ini akan terus berulang dan berkembang menjadi krisis kemanusiaan di tanah Papua,” katanya.
Lebih jauh dengan adanya kejadian ini, lanjutnya, sangatlah disayangkan mengingat dalam waktu dekat umat Katolik dan Protestan akan merayakan hari raya Natal.
“Akan tetapi, kali ini masyarakat di Distrik Oksop tidak dapat merasakan kebahagiaan menyambut Natal di rumahnya masing-masing, sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Dalam konteks ini, menurut Ardi, aparat keamanan yang seharusnya bertugas untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi warganya, justru menjadi sumber ketakutan. Padahal warga Oksop berharap Natal tahun ini dapat dilaksanakan dengan kedamaian dan ketentraman.
Atas dasar tersebut di atas, Imparsial mengecam operasi militer yang dilakukan oleh TNI di Distrik Oksop secara mendadak dan menimbulkan ketakutan bagi warga sipil.
Imparsial mendesak pemerintah untuk segera menarik pasukan non-organik, dan menghentikan operasi-operasi ilegal atas dasar keamanan Papua. Karena tidak adanya kejelasan mekanisme pengerahan pasukan di Papua dan tidak sesuai dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Imparsial juga mendesak Komnas HAM RI untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap operasi militer di Distrik Oksop, yang telah mengakibatkan gelombang pengungsi secara besar-besaran. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!