Jayapura, Jubi – Aliansi Mahasiswa Pemuda dan Rakyat atau Ampera Provinsi Papua Selatan, meminta kepada pemerintah pusat, agar menghentikan aktivitas perusahaan di wilayah adat tiga marga, yakni, marga Moiwend, Gebze dan Kwipalo, di Merauke.
Proyek Strategis Nasional Swasembada Gula dan Bioetanol serta Program Cetak Sawah di Merauke dianggap merampas hak hidup masyarakat adat di Papua Selatan, dan menghilangkan hak masyarakat adat atas hak ulayat.
Saat ini setidaknya ada tiga marga yang secara konsisten menolak kehadiran perusahan di tanah adat mereka, yaitu marga Kwiplao dari Distrik Jagebob dan dua marga dari Distrik Ilwayab, yaitu marga Gebze dan Moiwend.
Marga Moiwend dan Gebze pada Jumat (13/9/2024) menyurati Uskup Agung Merauke untuk turut menyuarakan penyerobotan dan penggusuran paksa yang dilakukan oleh PT Jhonlin Group, atas hutan dan tanah adat marga Moiwend dan Gebze.
Sikap menyurati Keuskupan Agung untuk bersuara karena sikap pasif pemerintah yang tidak menggubris suara-suara penolakan dari masyarakat adat.
Ampera Papua Selatan pun menyuarakan hal yang sama. Ketua Ampera Ambrosius Nit mengatakan, Pemerintah dan PT Jhonlin Grup segera menghentikan penggusuran tanah adat dan pembongkaran hutan masyarakat adat marga Gebze dan Moiwend.
Karena aktivitas tersebut melanggar hak-hak masyarakat adat, mengingat tidak ada proses Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) dengan marga Moiwend dan Gebze pemilik hak Ulayat. Seharusnya masyarakat diberikan ruang untuk menentukan terima atau tolak.
“Kami mendesak kepada pemerintah agar melindungi dan menghormati hak-hak kesulungan masyarakat adat, khususnya marga Moiwend dan Gebze,” kata Ambrosius dikutip dari siaran pers kepada Jubi di Jayapura, Papua, Sabtu (21/9/2024).
Ambrosius menegaskan bahwa Ampera siap mengawal perjuangan marga Gebze dan Moiwend bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua dan para aktivis lingkungan lainya, untuk berjuang mempertahankan hak-hak masyarakat adat.
Ambros juga juga mengajak semua masyarakat Papua dan Indonesia untuk mengawal perjuangan masyarakat marga Gebze, Moiwend dan Kwipalo, untuk menolak kehadiran perusahan yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), yang dianggap terbukti melanggar hak-hak masyarakat adat Papua.
Anggota Ampera, Frederikus Stanislaus Awi menilai, tindakan yang dilakukan oleh PT Jhonlin Grup, merupakan bentuk perampasan hak masyarakat adat marga Gebze dan Moiwend di Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke. Perampasan hak masyarakat adat itu dinilai telah merusak sumber mata pencaharian masyarakat adat marga Gebze dan Moiwend, serta merusak alam marga Moiwend dan Gebze di Ilwayab.
“Pemerintah pusat dan daerah, baik provinsi, maupun kabupaten juga harus segera mencabut izin dan hentikan semua aktivitas PT Jhonlin di atas tanah adat milik marga Moiwend dan Gebze,” kata Awi.
Stanis Awi juga mengingatkan salah satu kasus yang sedang viral, yakni, terkait penanaman patuk yang dilakukan oleh PT Murni Nusantara Mandiri di tanah marga Kwipalo di Jagebob Merauke.
Menurut Stanis tindakan sepihak tersebut merupakan penyerobotan tanah masyarakat adat marga Kwipalo.
“Penanaman patok tersebut tanpa sepengetahuan pemilik tanah, yaitu masyarakat adat marga Kwipalo, maka kami meminta kepada pemerintah dan pihak PT Murni Nusantara Mandiri, agar segera mencabut patok ilegal yang sudah ditanam oleh pihak PT Murni Nusantara Mandiri,” katanya.
“Kami juga menegaskan kepada PT Murni Nusantara Mandiri agar segera angkat kaki dari tanah milik marga Kwipalo karena marga Kwipalo tidak pernah mengizinkan PT Murni Nusantara Mandiri untuk beroperasi di tanah adatnya,” katanya. (*)