Jayapura, Jubi – Ketua Tim Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Universitas Cenderawasih, Prof Dr Melkias Hetharia menyatakan pemekaran Papua maupun pembentukan tiga provinsi baru di Papua tidak akan menghambat pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR. Hal itu disampaikan Hetharia dalam Diskusi Naskah Akademik Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Tanah Papua di Kota Jayapura, Selasa (12/7/2022).
Hetharia menyatakan pembentkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah mandat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama). Ketentuan tentang pembentukan KKR juga tidak mengalami perubahan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru).
Pasal 46 ayat (3) UU Otsus Lama menyatakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua dapat dibentuk dengan Keputusan Presiden, setelah ada usulan dari Gubernur Papua. Hetharia menyatakan ketentuan itu telah berlaku sejak di 2001, ketika Tanah Papua hanya memiliki satu provinsi. Menurutnya, KKR tetap dapat dibentuk atas dasar usulan Gubernur Papua,.
“Jadi pembentukan Daerah Otonom Baru tidak berpengaruh [terhadap pembentukan KKR]. Kami lihat beberapa negara yang juga membentuk KKR, dengan mengelar diskusi kelompok terpumpun, proses yang memakan waktu 3 – 5 tahun. [Di] Papua, [proses pembentukan KKR] sudah berjalan 3 tahun. Meskipun Jakarta mau [KKR Papua] segera [dibentuk], kami harus mengikuti prosedur yang tertuang dalam [UU] Otsus,” tegasnya.
Pemerintah Provinsi Papua dan Universitas Cenderawasih sedang menyusun naskah akademik yang akan dijadikan dasar pembentukan peraturan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Setelah proses itu selesai, Melkias Hetharia berharap Gubernur Papua dapat segera mengusulkan pembentukan KKR Papua. “Intinya, semua bergantung dari proses yang sementara berjalan itu,” kata Hetharia.
Sesuai ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU Otsus Papua Lama, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertugas melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam NKRI. KKR juga bertugas merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi atas kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Hetharia, penyempurnaan rancangan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua terus dilakukan melalui diskusi kelompok terpumpun yang melibatkan tokoh perempuan, tokoh adat, tokoh agama, TNI, Polri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penyusunan naskah akademik itu juga melibatkan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat di Bumi Cenderawasih.
Melkias Hetharia menyatakan konsep Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua telah disesuaikan dengan asas maupun prinsip resolusi konflik dalam hukum adat, hukum positif, maupun hukum internasional. “Itu kami lakukan karena kami ingin pembentukan KKR menciptakan kedamaian dan keharmonisan antar seluruh masyarakat serta masyarakat dan pemerintah,” ujarnya.
Hetharia menjelaskan adat istiadat di Papua pada dasarnya mengenal konsep rekonsiliasi untuk menyelesaikan sebuah pelanggaran adat. Konsep itu dapat diadopsi sebagai konsep Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua.
“Biasanya, dalam adat istiadat, apabila terjadi pelanggaran adat, timbul ketidakseimbangan sosial, sehingga harus segera diselesaikan. Biasanya dalam adat harus ditentukan lebih dulu siapa yang bersalah. Apabila terungkap, maka yang dinyatakan bersalah dituntut untuk bertanggung jawab dengan jenis-jenis yang dikenal dalam adat. Apabila penyelesaian adat berjalan dengan baik, maka tercipta ketentraman dan kedamaian,” kata Hetharia.
Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Papua, Derek Hegemur mengatakan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua memang membutuhkan waktu yang lama. Hal itu terjadi karena pembentukan KKR harus dibahas bersama-sama, agar kepentingan semua pihak terakomodir.
“Makanya hari ini Pemerintah Provinsi Papua mengundang seluruh pihak yang berkompeten untuk berdiskusi, agar KKR [yang dibentuk nantinya] bisa berfungsi dan menolong kita semua, [orang Papua. KKR juga] menjadi instrumen yang dapat dipakai untuk mencari fakta, mengungkap, dan [merumuskan langkah] rekonsiliasi,” kata Hegemur.
Hegemur meyakini jika proses pembentukan KKR Papua partisipatif, tingkat kepercayaan publik kepada KKR akan lebih tinggi. “Jadi memang butuh waktu yang panjang, karena butuh ada penyelesaian masalah Papua pada masa lalu. Itu penting supaya ketidakpercayaan, kekecewaan, dan ketakutan yang sudah membayangi sejak lama bisa perlahan pudar,” tutup Hegemur. (*)
Discussion about this post