Jayapura, Jubi – Salah satu tokoh politik di Tanah Papua, yang juga mantan anggota DPR Papua, Laurenzus Kadepa tidak ingin demonstrasi penolakan program makanan bergizi gratis atau MBG oleh pelajar di berbagai wilayah di Tanah Papua beberapa waktu lalu dipolitisir.
Ia mengimbau agar jangan ada pihak-pihak yang mempolitisir aksi penolakan makanan bergizi gratis dengan menuding para pelajar yang berunjuk rasa telah digerakkan atau ditunggangi oleh kelompok tertentu.
“MBG di Tanah Papua ini menimbulkan pro dan kontra dari pelajar. Namun saya lebih [menyoroti] pada aspirasi penolakan pelajar, jangan dipolitisir. Aspirasi yang mereka sampaikan itu, sesuai kondisi sebenarnya yang mereka hadapi,” kata Laurenzus Kadepa kepada Jubi, Kamis (13/3/2025).
Menurutnya, apabila pelajar di Tanah Papua menolak MBG karena merasa belum terlalu penting, dan lebih mendesak pendidikan gratis dan ketersediaan fasilitas pendidikan memadai, itu wajar. Sebab merekalah yang merasakan kondisi pendidikan di Tanah Papua selama ini. Terutama bagi siswa di daerah pedalaman Papua.
“Jadi jangan menganggap protes pelajar itu karena digerakkan oleh KNPB atau TPNPB dan pihak-pihak lain. Saya pikir itu murni dari apa yang mereka rasakan dan orangtua mereka rasakan selama ini,” ucapnya.
Kadepa juga mengatakan, para pemangku kepentingan di daerah mestinya melanjutkan aspirasi pelajar di Tanah Papua itu kepada Presiden Prabowo Subianto. Sebab MBG merupakan salah satu program pemerintahan kini.
“Pelajar ingin pendidikan gratis, jangan dibantah oleh siapapun dan kemudian dianggap itu ditunggangi. Aspirasi itu mesti dipertimbangkan oleh Presiden karena [MBG] itu program unggalan presiden. Jangan ada pihak yang menggiring opini kalau aspirasi itu ditunggangi,” ujarnya.
Laurenzus Kadepa yang selama dua periode (2014-2019 dan 2019-2024) menjabat sebagai legislator Papua mengatakan, apabila Prabowo Subianto tetap melanjutkan program MBG di Tanah Papua, distrubusinya jangan disamakan dengan di daerah lain.
Katanya, sebaiknya yang mendistribusikan MBG ke sekolah-sekolah di Tanah Papua, terutama di wilayah rawan potensi konflik adalah NGO-NGO lokal atau pihak gereja. Bukan aparat keamanan.
“Distribusinya melalui mereka-mereka ini, dan berkolaborasi dengan pemda setempat. Ini untuk menghindari isu-isu miring. Kalau yang antar makanan adalah militer, tidak bisa. Akan menimbulkan berbagai prasangka. Apalagi orang Papua memiliki trauma passionis dan itu selalu ada dari generasi ke generasi,” kata Laurenzus Kadepa.
Pelibatan Tentara Nasional Indonesia atau TNI dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), juga dinilai mengganggu psikologis orang Papua.
Hal itu dikemukakan tokoh agama yang juga dosen Sekolah Tinggi Teknologi STT Baptis Papua, Pdt Stevanus Wenda belum lama ini.
”Kami gereja sangat khawatir karena pelaksanaan MBG dikawal anggota militer (TNI), sehingga di Papua beberapa daerah sejumlah pelajar menolak, karena pola penerapannya kurang respek, mereka meminta pendidikan gratis, maka polanya harus diubah,” kata Pdt. Stevanus Wenda.
Katanya, MBG musti melibatkan sejumlah pihak, misalnya, yayasan, gereja dan sejumlah kelompok usaha di Papua. Sebab merekalah yang paham kondisi di masing-masing daerahnya.
”Di Papua, dalam berbagai aspek pembangunan [telah] libatkan aparat militer Indonesia. Program MBG dari pandangan tokoh agama terlihat positif untuk meningkatkan gizi buruk Ibu dan anak, tetapi caranya kurang efektif,” ujarnya.
Ketua Koordinator Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau (SPPG) Badan Gizi Nasional di Provinsi Papua, Rama Irjayanto Putra Sukoco Borotian, mengatakan TNI- Polri memang dilibatkan untuk uji coba program MBG karena sejumlah alasan.
”Banyak isu, TNI-Polri dilibatkan untuk uji coba bukan permanen, sebab mengapa? karena anggota militer memadai fasilitasnya untuk mengantarkan makanan di tempat berbagi pelosok Indonesia,” kata Rama Irjayanto Putra Sukoco Borotian. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!