Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Perwakilan Papua meminta Presiden Prabowo Subianto memberi perhatian serius penyelesaian konflik bersenjata di Tanah Papua. Mereka juga meminta Prabowo segera menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM di Tanah Papua.
Kepala Kantor Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengatakan Rakyat Papua saat ini tidak membutuhkan percepatan pembangunan wilayah. Yang mereka butuhkan, ialah penyelesaian konflik bersenjata.
“Kami harap Prabowo konsen dalam memerhatikan penyelesaian konflik [bersenjata] di Tanah Papua. Kami juga berharap Prabowo melanjutkan upaya [proses] nonyudisial untuk korban-korban pelanggaran berat HAM [di Tanah Papua],” kata Ramandey, Selasa (14/1/2025).
Berdasarkan pemantauan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), terjadi 70 kasus kekerasan dalam 51 konflik bersenjata di Tanah Papua pada Desember 2023 hingga November 2024. Tindak kekerasan tersebut menewaskan 21 orang, dan melukai 36 lainnya. Para pelakunya diduga dari TNI dan Polri serta Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat.
Sementara itu, berdasarkan pemantauan Komnas HAM Papua, terdapat 114 orang korban kekerasan bersenjata di Tanah Papua sepanjang tahun lalu. Mereka terdiri atas 71 korban tewas, dan 43 luka-luka.
“Konflik bersenjata juga mengakibatkan [aktivitas pembangunan] hingga pelayanan kesehatan dan pendidikan tidak berjalan baik di Tanah Papua. Itu berdampak terhadap ketertinggalan [kesejahteraan rakyat] di Tanah Papua,” kata Ramandey.
Menurutnya, Prabowo harus membentuk tim khusus untuk menyelesaikan konflik bersenjata di Tanah Papua. Tim tersebut beranggotakan para profesional dan berpengalaman.
“[Tim khusus ini] dikasih tugas dalam kurun, misalnya enam bulan hingga satu tahun untuk memberi masukan bagi penyelesaian konflik. Salah satu agendanya, mendorong dialog kemanusiaan,” kata Ramandey.
Kontradiksi kebijakan
Desakan serupa disampaikan Pegiat HAM Papua John Jonga. Menurutnya, Prabowo harus berani menyelesaikan konflik bersenjata di Tanah Papua.
“Prabowo harus berani menyelesaikan konflik Papua. Namun, juga harus berhati-hati dalam menanggapi perkembangan situasi di Tanah Papua,” kata Pastor Jonga.
Jonga pun sependapat Prabowo harus mengedepankan dialog kemanusiaan dan pendekatan budaya. Menurutnya, pendekatan keamanan justru makin memperuncing konflik bersenjata di Tanah Papua. “Banyak pasukan militer, kondisi Papua makin parah.”
Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) mencatat setidaknya 13 ribu personel TNI dikirim ke Tanah Papua pada tahun lalu. Mobilisasi pasukan tersebut kontradiktif dengan kebijakan sipil pemerintah pusat.
“Pemerintah pusat bilang [akar persoalan di] Papua itu masalah kesejahteraan, tetapi pendekatannya militeristik. Kalau masalah kesejahteraan, pendekatannya [juga harus melalui] kesejahteraan,” kata Direktur AIDP Latifah Anum Siregar dalam sebuah siniar JubiTV, akhir bulan lalu.
Dia menegaskan pendekatan keamanan hanya memperpanjang siklus kekerasan di Tanah Papua. Pengerahan besar-besar pasukan TNI ke Tanah Papua tersebut juga tanpa persetujuan DPR RI dengan dalih operasi militer nonperang.
“Namun, TNI menempatkan pasukan di daerah-daerah sehingga [semestinya] harus mendapat persetujuan parlemen. Anehnya, parlemen tidak tanya [mempermasalahkannya],” ujar Anum.
Anum pun sependapat dialog damai merupakan solusi efektif dalam menyelesaikan konflik bersenjata di Tanah Papua. Dia berharap para pejabat pemerintah pusat dari Tanah Papua memulai inisiasi dialog tersebut.
“Siklus kekerasan terus terjadi [di Tanah Papua]. Kekerasan dibalas kekerasan. Walaupun menjadi kata basi, dialog memang sangat dibutuhkan [dalam penyelesaian konflik bersenjata di Tanah Papua], dan tidak ada pilihan lain,” kata Anum. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!