Jayapura, Jubi – Sehari setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto, seorang menteri mengumumkan rencana untuk melanjutkan program transmigrasi di Indonesia timur, khususnya Papua, dengan tujuan meningkatkan persatuan dan kesejahteraan penduduk setempat.
Program transmigrasi, yang ditujukan untuk merelokasi penduduk dari daerah padat ke wilayah yang lebih jarang penduduk, telah lama menjadi bagian dari kebijakan Indonesia dalam upaya pemerataan pembangunan. Kementerian terkait menyatakan akan merencanakan revitalisasi di sepuluh zona Papua dengan fokus pada relokasi lokal ketimbang mendatangkan warga dari luar wilayah.
Program ini dihentikan 23 tahun lalu di Papua dan kini akan dihidupkan kembali.
“Kami ingin Papua bersatu sepenuhnya dalam bingkai Indonesia melalui kesejahteraan dan persatuan nasional,” kata Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara dalam upacara serah terima pada 21 Oktober, seperti dikutip Jubi dari sumber www.rnz.co.nz, Selasa (5/11/2024).
Iftitah menekankan bahwa fokus evaluasi akan diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, bukan pada jumlah relokasi. Namun, rencana ini mendapat tanggapan keras dari sebagian penduduk asli Papua yang mengkhawatirkan dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan.
Papua, daerah yang kaya akan sumber daya alam namun sering dilanda konflik, telah menjadi pusat berbagai isu HAM dengan tuduhan pelanggaran oleh pemerintah pusat. Simon Balagaize, pemimpin pemuda dari Merauke, mengingatkan kembali dampak negatif program transmigrasi di era Orde Baru pada tahun 1960-an. “Tanah adat diambil, hutan ditebang, dan kini masyarakat Malind lebih fasih berbahasa Jawa dibanding bahasa asli mereka,” katanya kepada BenarNews.
Pendeta Dorman Wandikbo dari Dewan Gereja Papua turut menyuarakan kekhawatirannya, mengatakan bahwa penduduk Papua lebih membutuhkan layanan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ketimbang program transmigrasi yang dikhawatirkan akan semakin meminggirkan pemilik tanah adat.
Sejumlah warga dan aktivis mengungkapkan kekhawatiran mereka terkait dampak transmigrasi terhadap kesempatan kerja, serta aspek politik dan ekonomi di Papua. “Kebijakan ini memengaruhi politik dan ekonomi Papua,” kata Apei Tarami dalam sebuah demonstrasi di Sorong Selatan, Papua Barat Daya.
Theo Hasegem, aktivis HAM, juga mengkritik rencana transmigrasi ini, mengingat isu keamanan yang masih tinggi di Papua. Ia mempertanyakan jaminan keselamatan bagi pendatang dari luar, yang kerap menjadi sasaran kelompok separatis.
Program transmigrasi di Indonesia bermula sejak 1905 dan terus berlanjut dengan berbagai modifikasi, termasuk pasca kemerdekaan di bawah Presiden Sukarno. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan persatuan sosial melalui penyebaran penduduk antarwilayah. Berdasarkan catatan pemerintah, sebanyak 78.000 keluarga atau sekitar 312.000 hingga 390.000 orang telah bertransmigrasi ke Papua hingga tahun 1999.
Namun, program ini terhenti sementara pada 2001 seiring diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Pasal 61 undang-undang tersebut mengharuskan adanya persetujuan gubernur dan peraturan daerah untuk melaksanakan transmigrasi.
Anggota parlemen Inggris Alex Sobel, ketua Parlemen Internasional untuk Papua Barat, mengungkapkan keprihatinannya atas dampak transmigrasi terhadap perubahan demografi dan ketimpangan struktural di Papua. Ia menyebut transmigrasi justru memperdalam ketimpangan sosial.
Selain itu, Pramono Suharjono, seorang transmigran dari Arso II, Keerom, mendukung program tersebut karena dianggap memberi manfaat bagi pembangunan daerah. Namun, ia menyadari bahwa masalah sosial dan perbedaan budaya seringkali menjadi pemicu ketegangan antara penduduk lokal dan pendatang.
Papua juga tengah menghadapi krisis kemanusiaan akibat konflik bersenjata antara pasukan Indonesia dan kelompok separatis. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan antara 60.000 hingga 100.000 warga Papua telah mengungsi dalam beberapa tahun terakhir. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!