Jayapura, Jubi – Dewan Gereja Papua dan Pastor Pribumi Papua yang didukung oleh komunitas masyarakat sipil menggelar pameran yang menampilkan dokumentasi perjuangan melawan Proyek Strategis Nasional atau PSN dan kondisi para pengungsi di beberapa daerah konflik di Tanah Papua, di Aula STFT Fajar Timur Abepura, Jl Yakonde, Kota Jayapura, Papua, Sabtu (7/12/2024).
Penanggung jawab kegiatan pameran, Pdt Benny Giyai, menuturkan pameran tersebut adalah bentuk perlawanan sekaligus dukungan bagi semua masyarakat adat yang tengah menghadapi ketidakadilan di Tanah Papua akibat dari Program Strategis Nasional (PSN).
“[Kita] dalam konteks masalah yang rumit di Papua, dan sejak tahun 60-an sudah ada, [melibatkan] banyak sekali aktor, pemerintah punya pikiran tentang pembangunan, lalu LIPI menemukan hal yang lain seperti rasisme terhadap orang Papua, pendidikan, kesehatan, ekonomi, tapi orang Papua juga memikirkan hal yang lain, [yaitu] penentuan nasib sendiri,” kata Giyai.
Giyai mengatakan pameran itu ingin menyampaikan pesan kepada pemerintah pusat bahwa solusi dan upaya pendekatan yang selama ini dilakukan negara Indonesia kepada orang Papua selama 60 tahun lebih itu salah. Selama ini, lanjutnya, negara hanya memaksakan apa yang pemerintah pusat pikirkan terhadap Papua.
“Indonesia sedang gencar-gencarnya menyelesaikan masalah dengan [pendekatan] pembangunan, tanpa memperhitungkan atau mengakui keberadaan orang Papua, seperti sistem kebut semalam, orang Papua jadi korban dari pembangunan, pendekatan pembangunan, datangkan transmigrasi ke Papua, Program Strategis Nasional, dengan backup militer sangat gencar-gencarnya di Tanah Papua, dan hasilkan banyak sekali korban berjatuhan,” ungkapn Giyai.
Eneko Pahabol, salah seorang panitia kegiatan dan juga sebagai staf Dewan Gereja Papua menjelaskan terkait kondisi dan data pengungsian di seluruh Tanah Papua. Ia menyampaikan bahwa tahun ini pihaknya mendapatkan beberapa laporan baru, namun sebagian belum bisa dipublikasikan karena masih harus melakukan verifikasi ke lokasi pengungsian.
“Distrik Oksop, di Kabupaten Pegunungan Bintang, di Kabupaten Nduga juga baru terjadi lagi ada operasi militer disalah satu distrik, lalu ada keadaan dimana para pengungsi di Maybrat yang sudah kembali ke kampung mereka tapi masih tetap ketakutan, aktifitas mereka tidak bebas, jadi sebenarnya mereka mengungsi di dalam kampung mereka sendiri,” kata Pahabol.
Dia juga menyebutkan ada kampung yang terkesan seperti diambil alih oleh pihak militer. Pemilik kampung hanya datang sebagai tamu. Pahabol juga menyebutkan situasi konflik di Intan Jaya dimana setiap ada kontak senjata antara TPN-PB dengan militer Indonesia maka masyarakat memilih berlindung tempat-tempat keagamaan seperti di pastoran. Menurutnya kondisi semakin rumit, tak jarang pada akhirnya pater, pastor, dan pendeta juga dicurigai para pihak.
“Kepala kampung, pegawai negeri, dan pejabat tidak punya kekuatan untuk melawan, meskipun mereka perpanjangan tangan pemerintah, mereka justru dicurigai sebagai orang yang mendukung kombatan, apalagi [jika] marga sama,” kata dia.
Pahabol juga menceritakan kasus dimana masyarakat sipil di daerah konflik, kerap jadi sasaran pertanyaan yang cenderung menginterogasi saat mereka pergi berobat. Menurutnya, kalau kedapatan marga mereka sama dengan salah satu kombatan, maka mereka langsung diinterogasi bahkan tidak mendapat pelayanan lanjutan untuk berobat.
“[Pengobatan] tidak dilayani tapi ditanya dulu ‘ko kenal orang ini tidak [sambil menunjukkan foto]’. Hal itu juga membuat masyarakat sipil di daerah konflik lebih memilih tinggal di rumah ketimbang ke rumah sakit. Ada juga satu kasus dimana satu pasien dibawa oleh keluarganya, menempuh perjalanan tiga minggu dari Nduga ke Timika untuk berobat,” lanjutnya.
Pameran yang berlangsung ini juga menampilkan foto-foto kondisi beberapa daerah konflik di Tanah Papua yang jarang diketahui, seperti Kabupaten Yapen dan Fak-fak
Pameran yang akan berlangsung hingga tanggal 10 Desember itu adalah bagian dari rangkaian kegiatan peringatan Hari HAM tahun 2024 dari tanggal 4-10 Desember. Kegiatan telah diawali oleh Refleksi Bersama pada 4-5 Desember, kemudian dilanjutkan dengan pameran, dan diikuti oleh seminar publik pada 9 Desember yang akan ditutup oleh Jalan Salib Merah pada 10 Desember di Lapangan Zakheus, Padang Bulan, Abepura Kota Jayapura. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!