Jayapura, Jubi – Penambahan pasukan militer di Tanah Papua untuk mengatasi gerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB dinilai berlangsung secara masif dan telah serupa operasi militer. Akan tetapi, pemerintah tidak mau mendeklarasikan dan membuat dasar hukum pengerahan pasukan itu. Akibatnya, pengerahan pasukan di Tanah Papua itu menjadi operasi militer ilegal dan status konflik Papua tidak jelas.
Penilaian itu disampaikan pakar Hukum Humaniter, Budi Hernawan PhD saat dihubungi pada Rabu (19/9/2024). “[Pengerahan pasukan] itu dasarnya apa? Itu yang perlu dikejar. Dasar peraturannya apa? Dasar hukumnya apa? Apakah DPR [RI] tahu atau tidak? [Tanpa kejelasan status, pengerahan pasukan] itu ilegal,” kata Budi.
Menurut Budi, jika mengacu kepada Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, maka yang terjadi saat ini telah menyerupai Operasi Militer Selain Perang. “Itu [di Papua sedang berjalan] Operasi Militer Selain Perang untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata. [Untuk menggelar] Operasi Militer Selain Perang harus ada Peraturan Presiden. Nah, ini [Peraturan Presiden] tidak ada. Kita punya [Peraturan Presidan soal operasi militer] di Ambon, di Aceh. Tapi dalam konflik Papua tidak pernah ada [Peraturan Presiden itu],” ujar Dosen STF Driyarkara Jakarta tersebut.
Jika mengacu kepada pertimbangan hukum Mahkamah Pidana Yugoslavia, demikian menurut Budi, secara de facto konflik Papua telah berkembang menjadi konflik bersenjata non-internasional. Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah pusat terus mengerahkan dan menambah pasukan militer maupun aparat keamanan di Tanah Papua. Menurutnya, operasi militer telah berlangsung, namun pemerintah tidak mengakui tengah menjalankan operasi militer di Tanah Papua.
“Sampai hari ini kan memang tidak ada pernyataan dari Presiden. Yang [punya] kewenangan untuk melakukan operasi militer adalah Presiden. Yang terjadi di lapangan ini apa? Mereka harus jelaskan,” kata Budi.
Merugikan warga sipil
Budi mengatakan kejelasan status konflik di Papua sangat penting guna memberikan perlindungan bagi warga sipil dan objek sipil. Akan tetapi, pemerintah tidak mengakui adanya konflik bersenjata di Tanah Papua, sehingga kepentingan warga sipil dirugikan. Budi mencontohkan, ketidakjelasan status konflik Papua membuat sulit bagi pihak lain untuk membuka akses bantuan kemanusiaan.
“Pemerintah harus menetapkan dan menjelaskan kondisi itu. Karena [kejelasan] itu ada kaitannya dengan akses bantuan kemanusiaan, akses lembaga kemanusiaan. [Karena sampai] sekarang tidak ada penetapan [status konflik bersenjata di Tanah Papua] itu, lembaga kemanusiaan di dalam negeri tidak bisa memobilisasi sumber daya mereka untuk menangani, misalnya soal pengungsi internal,” ujarnya.
Karena berlangsung tanpa ada deklarasi dari Presiden, sulit untuk mengevaluasi operasi militer di Tanah Papua saat ini. “Selama ini, teman-teman Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga mengatakan operasi itu ilegal,” kata Budi.
Tanpa deklarasi dari Presiden, juga sulit untuk menentukan siapa pihak yang harus menjadi penanggung jawab operasi militer tersebut. “Siapa sebenarnya yang paling mengendalikan semua operasi itu? Apakah Presiden? Apakah Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan? Apakah Panglima Komando Daerah Militer? Atau Pangkostrad? Atau Panglima TNI? Atau siapa?” tanya Budi.
Menurut Budi, lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Majelis Rakyat Papua, dan para gubernur di Tanah Papua seharusnya mendesak Presiden untuk menerbitkan Peraturan Presiden tentang operasi militer dan status konflik Papua.
“[Peraturan Presiden] itu harus ditagih sehingga parameter hukumnya jelas, dan nggak sepotong-sepotong kita bertanya tentang [operasi militer di Papua] maupun [upaya] untuk melindungi warga sipil. Jika ada [Peraturan Presiden, berarti] TNI menjalankan operasi militer, [maka] di situ [berlaku] hukum humaniter internasional,” kata Budi.
Jeda kemanusiaan
Juru Bicara Jaringan Damai Papua (JDP), Yan Christian Warinussy juga menilai dalam kenyataannya telah terjadi operasi militer di Tanah Papua. Namun, operasi militer itu dilakukan tanpa deklarasi Presiden, dan berlangsung secara ilegal.
Warinussy menilai pemerintah sengaja tidak mendeklarasikan operasi militer di Tanah Papua, demi menghindari sorotan internasional bahwa Indonesia menggunakan militer untuk menyelesaikan konflik politik di Tanah Papua. “Militer justru diletakkan pada garda terdepan, tanpa memiliki dasar hukum apa pun,” kata Warinussy pada Rabu (18/9/2024).
Warinussy menegaskan bahwa operasi militer tidak akan bisa menyelesaikan masalah Papua. Menurutnya, operasi militer yang telah berlangsung secara sembunyi-sembunyi itu justru akan memperhebat konflik bersenjata di Tanah Papua.
Menurutnya, JDP selalu berpandangan bahwa langkah awal penyelesaian konflik bersenjata adalah pemberlakuan Jeda Kemanusian. Warinussy mengatakan Jeda Kemanusian sangat penting sebelum memulai pembicaraan dialog damai. “Kepala negara untuk melakukan langkah awal melalui jeda kemanusiaan (humanitarian pause),” kata Warinussy.
Warinussy mengatakan Jeda Kemanusiaan penting, karena para pihak yang berkonflik dapat menghentikan pertikaian bersenjata. Jeda Kemanusian membuka akses warga terdampak konflik, untuk memastikan adanya pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan makan dan minuman yang lebih baik. “Jeda Kemanusiaan dapat menjadi suatu upaya baru para pihak bertikai dalam langkah yang lebih moderat untuk memulai melakukan dialog di antara mereka,” katanya.
Warinussy mengatakan langkah Jeda Kemanusiaan dapat ditentukan oleh para pihak yang terlibat dalam konflik politik di Tanah Papua. “Pihak yang terlibat adalah TPNPB, TNI, Polri, negara dan pemangku kepentingan lainnya seperti pemerintah daerah maupun gereja, kalangan umat beragama lainnya di Tanah Papua. Serta juga para diaspora di luar negeri,” ujarnya.
Korban berjatuhan
Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey mengatakan pemerintah pusat harus memulai menginisiasi dialog damai. Komnas HAM meyakini bahwa hanya dialog yang dapat menyelesaikan konflik bersenjata di Papua.
“Pemerintah sendiri belum bersedia menginisiasi, itu problemnya. Jika saja pemerintah bersedia menginisiasi, maka sebenarnya prosesnya jalan,” kata Ramandey.
Ramandey mengatakan apabila dialog tidak didorong, maka siklus kekerasan terus terjadi di Tanah Papua. Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua mencatat dalam rentang waktu Januari – Mei 2024 terjadi 41 insiden kekerasan terkait konflik bersenjata di Tanah Papua. Data Komnas HAM Papua merinci berbagai kasus kekerasan tersebut menimbulkan korban hingga 53 orang (32 orang meninggal dunia, dan 21 orang terluka).
“Kita tidak bisa berhenti [untuk dorong dialog kemanusiaan]. Kalau kita berhenti dan tidak melakukan upaya dialog maka sama dengan kita membiarkan siklus kekerasan itu berkembang secara terus di Papua,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!