Jayapura, Jubi – Pemerintah Provinsi atau Pemprov Papua harus berani bertindak tegas dalam menangani masalah kependudukan. Mereka mesti selektif dalam menerima para pendatang.
Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua Matius Adadikam mengatakan kehadiran para pendatang yang tidak terkontrol akan membebani pemerintah daerah. Mereka harus turut menyiapkan dan memenuhi kebutuhan dasar hidup para pendatang. Karena itu, Pemprov Papua harus membatasi arus migrasi penduduk dari luar daerah tersebut.
“Kita bisa bandingkan saat Papua di bawah pemerintahan Belanda. Hanya orang yang memiliki skill [keterampilan tertentu, seperti guru, dan paramedis] yang bisa masuk [menetap] di Papua,” kata Adadikam, Senin (8/7/2024).
Menurutnya, Pemprov Papua bisa mencontoh kebijakan kependudukan di Jimbaran, Bali. Pemerintah setempat mengatur kehadiran para pendatang dengan memastikan tujuan dan durasi kunjungan.
“Jika masalah demografi ini bisa dikontrol dengan baik, Pemprov Papua akan fokus dalam mengurusi warga [Orang Asli Papua/OAP] sehingga mereka benar-benar sejahtera. OAP Saat ini masih kesulitan mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi,” kata Adadikam.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas mengatakan kebijakan sentralistis memang masih kental terhadap Papua. Pemerintah pusat masih sangat berkuasa dalam menentukan arah pembangunan daerah.
“Pemerintah pusat yang menentukan program apa saja yang harus dikerjakan di Papua. Jadi, kewenangan pemerintah daerah makin berkurang,” ujar Cahyo.
Menurutnya, arogansi kekuasaan itu sangat jelas dipertontonkan pada pemekaran provinsi Papua. Pemerintah pusat menghilangkan kewenangan Majelis Rakyat Papua dalam perekomendasian pemekaran daerah.
Cahyo juga menyoroti keberadaan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua. Dia menilai keberadaan lembaga yang dipimpin Wakil Presiden tersebut malah memperpanjang proses birokrasi.
“Badan itu juga dibiayai dari Dana Otsus [Otonomi Khusus Papua]. Tujuannya untuk untuk mempercepat pembangunan [di Papua], tetapi bisa juga memperpanjang proses birokrasi sehingga tidak menyelesaikan persoalan tumpang-tindih kewenangan,” kata Cahyo. (*)