Jayapura, Jubi – Masyarakat adat bersama lembaga swadaya masyarakat di Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, terus melakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif. Pemetaan wilayah itu diharapkan akan menjadi solusi atas berbagai sengketa tanah dan perampasan tanah adat. Majelis Rakyat Papua meminta pemerintah daerah memberi dukungan yang lebih nyata.
Di Kabupaten Jayapura, Ketua Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) Kabupaten Jayapura, Elphyna Situmorang mengatakan pihaknya terus melakukan pemetaan wilayah adat. Pemetaan itu dilakukan GTMA Kabupaten Jayapura melalui kerja sama dengan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Setiap pemetaan dilakukan secara partisipatif, melibatkan masyarakat adat setempat yang mengetahui batas-batas wilayah adat dan tanah ulayat mereka. “GTMA bergerak terus [melakukan] pemetaan wilayah adat. Kami sekarang ini sedang bekerja sama dengan BRWA untuk menopang pemetaan wilayah adat di Kabupaten Jayapura,” kata Elphyna kepada Jubi, pada Senin (15/7/2024).
Data Gugus Tugas Masyarakat Adat Kabupaten Jayapura mencatat total luas wilayah adat di Kabupaten Jayapura mencapai 1.629.633,18 hektare. Wilayah adat itu dimiliki secara kolektif oleh 86 kelompok masyarakat adat.
Hingga kini, sudah ada delapan komunitas adat Kabupaten Jayapura yang telah merampungkan pemetaan wilayah adatnya. Hasil pemetaan itu meliputi wilayah adat seluas 26.189,41 hektare, dan kepemilikan kolektif delapan masyarakat adat tersebut telah mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Jayapura.
Elphyna yang juga menjabat sebagai Asisten 1 Bidang Pemerintahan Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Jayapura itu mengatakan GTMA sedang melakukan pemetaan wilayah adat di Yano Genyem Yeku, Yano Nembu Berap, Yano Warumbaim, dan Beneik. Menurut Elphyan, hasil pemetaan wilayah adat maka juga akan diajukan agar mendapatkan penetapan dari Bupati Jayapura.
“Setelah proses pemetaan itu, kami akan mengajukan [hasil pemetaan] kepada Bupati, untuk penetapan surat keputusannya,” ujarnya.
Akan didaftarkan ke BPN
Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) Kabupaten Jayapura tidak berhenti dengan memetakan wilayah adat di Kabupaten Jayapura. Setiap hasil pemetaan yang telah dikukuhkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Jayapura akan diteruskan ke Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR BPN) Papua, agar bisa mendapatkan Sertifikat Hak Pengelolaan kolektif masyarakat adat setempat.
Upaya itu berkaca dari penerbitan Sertifikat Hak Pakai bagi masyarakat adat Suku Sawoi di Kabupaten Jayapura. Pada 17 Oktober 2023, Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto menyerahkan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Sawoi seluas 699,7 hektare. Penerbitan sertifikat itu akan menjadi jaminan hak atas tanah yang kuat bagi masyarakat adat Sawoi.
“Ada beberapa marga di Kabupaten Jayapura sudah [ada sertifikat HPL] yang langsung diserahkan oleh Menteri ATR/BPN. Kami akan ke ATR/BPN [untuk meneruskan hasil pemetaan yang telah diakui dengan SK Bupati Jayapura. Itu] berguna untuk nanti. Misalnya, [jika] ada pembelian tanah/pengganti rugi tanah, Maka marga-marga yang ada di situ akan dijumpai, sehingga penyelesaian [ganti rugi tanah] akan lebih mudah,” kata Elphyna.
Ia mengatakan wilayah masyarakat adat yang telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah bisa dimanfaatkan potensinya. Elphyna mengatakan Pemerintah Kabupaten Jayapura mendorong masyarakat adat untuk memberdayakan potensi hutan ulayatnya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Bagaimana memfungsikan hutan tersebut untuk kesejahteraan mereka. Kami juga lagi membuat proposal ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [untuk pengembangan] potensi yang cocok [dijadikan hutan adat di Kabupaten Jayapura],” ujarnya.
Pemetaan di Keerom
Sekretaris Umum Dewan Adat Keerom, Raymond May mengatakan pihaknya sedang melakukan pendampingan pemetaan wilayah adat tiga suku yang ada di Kabupaten Keerom. Ketiga suku yang wilayah adatnya sedang dipetakan itu adalah Suku Awi di Distrik Skanto, Suku Abraf dan Suku Maraf di Distrik Arso Barat dan Distrik Arso, dan Suku Mannem di Distrik Mannem dan Arso Timur.
“Dari tujuh suku [yang ada di Kabupaten Keerom, kami] fokus untuk melakukan pemetaan di [wilayah adat] tiga suku. Nanti [setelah pemetaan wilayah adat] tiga suku itu selesai, barulah [kami akan memetakan wilayah adat] empat suku [yang lain],” kata May yang juga anggota Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Adat Majelis Rakyat Papua (MRP) itu.
Menurutnya, pemetaan wilayah adat keempat suku yang lain itu akan dilakukan pada 2025. Keempat suku itu adalah Suku Warsa di Distrik Waris, Suku Kein di Distrik Kaisenar dan Distrik Senggi, Suku Bramm di Distrik Yaffi dan Distrik Web, Suku Yefra di Distrik Towe.
May mengatakan pemetaan partisipatif itu melibatkan lembaga swadaya masyarakat dan akademisi dari Universitas Cenderawasih. Ia mengatakan pemetaan adat itu dibiayai Pemerintah Kabupaten Keerom. Setiap suku menerima bantuan uang senilai Rp30 juta untuk memetakan wilayah adat masing-masing.
“Dewan Adat Keerom mendapatkan operasional sebesar Rp250 juta per tiga bulan. [Bagian dari] dana operasional itu diberikan kepada tiga suku untuk membantu mereka membuat pemetaan [wilayah adatnya]. Anggarannya Rp30 juta per suku, untuk membantu pemetaan,” ujarnya.
May mengatakan hasil pemetaan wilayah adat nantinya akan didorong untuk diakui dan dikukuhkan dengan peraturan daerah. Ia berharap dengan adanya pemetaan wilayah adat itu, setiap upaya pengembangan kabupaten, pemekaran distrik, ataupun penggunaan tanah adat untuk kepentingan investasi tidak akan menimbulkan masalah.
“Dewan Adat Keerom memprakarsai/memotori komunikasi ke Pemerintah Kabupaten Keerom untuk membantu persoalan sosial di masyarakat, lebih khusus masalah pemetaan [wilayah adat. Semoga pemetaan itu] bisa kita tuntaskan,” katanya.
Dukungan pemerintah daerah lain dinanti
Pemetaan wilayah adat digadang-gadang akan menjadi solusi jangka panjang atas keruwetan masalah pertanahan di Tanah Papua. Buramnya masalah pertahanan di Papua antara lain berakar kepada masalah tidak adanya peta dan data batas-batas wilayah adat maupun tanah ulayat masyarakat adat. Investasi di Tanah Papua juga kerap mengabaikan hak atas tanah masyarakat adat, sehingga menimbulkan sengketa, bahkan sengketa hukum.
Selaku Ketua Kelompok Kerja Adat Majelis Rakyat Papua, Raymond May menyatakan pemetaan wilayah adat penting. May mengatakan salah satu penyebab kerumitan masalah tanah di Papua adalah tidak adanya pemetaan wilayah adat.
“Kami melihat persoalan tanah itu memang krusial sekali. Selama ini, pemetaan wilayah adat belum clear, khususnya di wilayah Tabi dan Saireri. Yang selama [menjadi] masalah, masyarakat adat klaim ‘ini saya punya tanah, itu saya punya tanah’. Akhirnya masalah tidak selesai-selesai. Sedikit-sedikit dia palang. Akar permasalahan harus selesai dulu,” kata May.
Ada berbagai dampak yang ditimbulkan dari tidak adanya peta batas wilayah adat di Papua. Salah satu dampaknya adalah proses pembebasan tanah untuk kepentingan umum menjadi kacau. Jika pemerintah membayar ganti rugi kepada pihak yang tidak berhak, pemilih hak ulayat yang sah bisa memalang lokasi pembangunan fasilitas umum itu. Pemalangan bahkan dapat dilakukan ketika fasilitas umum seperti rumah sakit atau sekolah sudah beroperasi.
Menurut May, Pokja Adat MRP akan terus mendorong pemetaan pemetaan wilayah adat di Papua, dan dorongan itu akan menjadi agenda MRP. Ia meyakini pemetaan itu bisa menjadi salah satu cara untuk mencegah pemalangan fasilitas umum di Papua.
“Kami dari Pokja Adat MRP akan mendorong pemetaan tanah adat. Kalau [pemetaan itu] tidak dilakukan, akan menghambat proses pembangunan. [Orang menyebut, di Papua ]kayu paling mahal itu kayu palang. Biar bangun gedung seperti hotel, kalau kayu palang sudah [ditaruh], tidak [bisa] ada aktivitas,” katanya.
MRP Papua mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk mendukung pemetaan wilayah adat. Dukungan pemerintah kabupaten/kota itu dengan menyediakan anggaran guna pemetaan wilayah adat. Menurutnya, pemetaan wilayah adat membutuhkan dukungan dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Apalagi, MRP sendiri tidak memiliki cukup anggaran untuk pemetaan itu.
Menurut May, setiap pokja MRP hanya mendapatkan anggaran senilai Rp600 juta untuk menjalankan program. Ia menyatakan anggaran itu jelas tidak cukup untuk menjalankan program pemetaan wilayah adat di Papua.
“Kami [hanya] diberikan setiap Pokja Rp600 juta. Anggaran tidak mencukupi untuk kita menjangkau sembilan kabupaten/kota di Provinsi Papua. MRP kewalahan dalam anggaran,” katanya.
May mengatakan MRP hanya mampu melakukan pendampingan dan sosialisasi, termasuk dalam hal pemetaan wilayah adat.“Kami akan fokus dorong pemetaan. Kami akan memberikan bantuan pendampingan dan jaringan aspirasi masyarakat. [Misalnya], kami ada dampingan masalah tanah di Kampung Holtekamp. Kami sudah rapat dengan mereka, dan meminta mereka untuk mengumpulkan bukti-bukti baik pelesapan. Dokumen [itu nantinya kami] periksa, lalu [kami] akan menyurat ke ATR BPN Pusat,” ujarnya.
Menurutnya, pemetaan wilayah adat membutuhkan dukungan dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota di Papua. Ia menekakan pemetaan harus dilakukan secara partisipatif, melibatkan masyarakat adat setempat, dibantu lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta akademisi, dan dibiayai pemerintah.
“Pemerintah harus fasilitasi pemetaan. Kalau [batas wilayah adat] itu sudah clear, nanti tidak saling klaim. [Misalnya] areal di Kota Jayapura, baik itu [untuk tanah yang] sudah dibeli untuk fasilitas publik, dan bagian-bagian [tanah] yang belum ada pembangunan, [atau tanah yang] pelepasan [adatnya] masih simpang siur, itu kami fasilitas pemetaan. Yang bisa melakukan pemetaan itu [adalah] masyarakat adat didampingi NGO. Pemerintah bisa memfasilitasi, supaya [batas-batas wilayah adat] bisa clear. Kalau itu sudah clear, saya kira pembangunan [dan pelayanan publik] akan berjalan secara normal,” ujarnya.
Amanat perdasus
Ketua Tim Pemantauan dan Penyuluhan Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Papua, Melchior S Weruin mengatakan pemetaan wilayah adat wajib dilakukan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Papua. Melchior mengatakan pemetaan itu telah diamanatkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
“Status tanah, riwayat tanah perolehan tanah itu harus diluruskan. Tugas pemerintah saat ini menurut amanat Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 itu melakukan pemetaan. Perdasus itu mewajibkan pemerintah daerah melakukan pemetaan. Lakukan survei, penelitian, buat pemetaan bersama-sama [masyarakat adat],” ujarnya.
Melchior mengatakan peran pemerintah daerah juga sangat penting untuk mengakui dan mengukuhkan hasil pemetaan wilayah adat dengan surat keputusan atau SK kepala daerah. Ia mengatakan pemetaan dan data batas wilayah adat di Tanah Papua akan memberi kepastian bagi semua pihak dalam menyelesaikan atau mencegah konflik pertahanan di Papua.
“Dengan penetapan itu dia meminimalisir konflik. Supaya ada klaim-klaim nanti lihat pemetaan siapa punya. Misalnya ada pembangunan di wilayah Holtekamp tinggal lihat saja kan sudah ada petanya, sudah ada penetapan. [Misalnya] wilayah yang mau dipakai ini punya Suku Sibri. Dengan harapan tidak ada suku lain yang palang lagi, karena sudah petanya, sudah ada penetapannya. Supaya pembangunan masuk orang tidak protes lagi. Itu [pemetaan] yang belum dilakukan,” katanya.
Melchior mengatakan praktik baik pemetaan partisipatif itu telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Jayapura. Melchior mengatakan pemerintah kabupaten/kota lainnya ikut memfasiiltasi masyarakat adat dan lembaga swadaya masyarakat untuk bersama-sama membuat pemetaan wilayah adat yang partisipatif.
“Wilayah-wilayah adat itu segera dibuatkan pemetaan. Pemetaan itu melibatkan pihak-pihak masyarakat adat, pihak akademisi dan lembaga swadaya masyarakat. Pertanyaan itu kenapa mereka tidak segera laksanakan pemetaan berdasarkan amanat Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 itu. Kalau kaya begitu [terkesan] pemerintah daerah membiarkan saja,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!