Sarmi, Jubi – Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP menggelar pelatihan paralegal bagi masyarakat adat Kampung Srum di Distrik Bonggo dan Kampung Binyer di Distrik Sarmi Timur, Kabupaten Sarmi, Papua. Pelatihan yang digelar di Sarmi pada 20-22 Juni 2024 itu diikuti 20 calon paralegal.
Selama tiga hari, para peserta pelatihan dibekali dengan berbagai materi terkait tugas dan keterampilan paralegal. Materi itu termasuk pengantar hukum dan demokrasi, keparalegalan, struktur masyarakat, bantuan hukum dan advokasi, dan Hak Asasi Manusia.
Para peserta pelatihan paralegal itu juga menerima materi tentang gender, kelompok minoritas dan kelompok rentan, teknik komunikasi bagi paralegal, serta materi jurnalisme warga. Warga juga belajar soal prosedur hukum dalam sistem peradilan di Indonesia, teknik penyusunan kronologi, dan teknik penyusunan dokumen laporan. Pelatihan itu ditutup dengan materi pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup.
Antoni Ibra dari AlDP mengatakan pelatihan itu diberikan kepada masyarakat adat kedua kampung karena mereka memiliki berbagai masalah seperti pendidikan, kesehatan hingga masalah pengelolaan hutan dan hak ulayat. Ibra mengatakan warga di kampung kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat, terutama ketika berhadapan dengan perusahaan besar.
“Kampung yang dilatih pasti mempunyai masalah. Misalnya, dulu [AlDP membuat] pelatihan [paralegal bagi] warga di Kampung Tablasupa, [Kabupaten Jayapura]. Itu ada masalah [sengketa ulayat masyarakat adat karena] pembangun Pelabuhan Depapre,” kata Ibra pada Jumat (21/6/2024).
Ibra mengatakan minimnya informasi dan kapasitas masyarakat adat dalam mengadvokasi persoalan mereka membuat masyarakat adat sering terpinggirkan dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah. Ibra mengatakan pelatihan dan pendidikan hukum itu diberikan demi memperkuat upaya masyarakat adat mengakses keadilan secara mandiri dan berkelanjutan.
“Pendidikan hukum sebagai upaya penguatan kapasitas masyarakat [adat] untuk dapat menghadapi rencana pembangunan dan investasi yang akan dijalankan di wilayah kampungnya,” ujarnya.
Ibra mengatakan pendidikan hukum itu juga dapat memberikan informasi tentang aturan hukum yang diperlukan untuk melindungi hak ulayat masyarakat adat. Penguatan kapasitas itu diharapkan akan memperkuat posisi tawar masyarakat adat saat berhadapan dengan investor ataupun pemerintah.
“[Pelatihan itu] memberikan masyarakat kemampuan untuk mengadvokasi haknya secara berkelanjutan. [Masyarakat adat hidup] terabaikan dalam pembangunan dan masalah pengelolaan hutan oleh perusahaan dan pihak lain dari luar Kabupaten Sarmi,” ujarnya.
Ibra mengatakan pelatihan paralegal itu akan ditindaklanjuti dengan pendamping/penguatan masyarakat adat. Ia juga mengatakan berbagai masalah masyarakat adat yang dibahas selama pelatihan itu akan dibahas lebih lanjut dalam pertemuan yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. “Diskusi di kampung lagi, dan dilanjutkan pertemuan bersama pemerintah daerah,” katanya.
Advokasi hak ulayat
Peserta pelatihan dari Kampung Srum, Marthen Wepe (29) berterima kasih banyak atas pelatihan yang diberikan AlDP. Menurut Wepe, pelatihan paralegal itu sangat penting bagi dirinya dan warga Kampung Srum di Distrik Sarmi Timur.
“[Pelatihan itu] sangat bagus dan memperluas wawasan warga dari Kampung Srum. [Kami] butuh pendamping [lanjutan] untuk memperdalam soal hukum,” kata Wepe pada Sabtu (21/6/2024),
Wepe mengatakan materi pelatihan itu akan menjadi bekal untuk mengadvokasi persoalan pengelolaan hutan dan kayu hasil hutan di kampungnya. Menurut Wepe, selama ini perusahaan swasta mengambil kayu dari hutan, namun tidak secara terbuka mengumumkan jumlah kayu yang diambil.
“Mereka [perusahaan] tidak pernah kasih tahu jumlah kayu diambil. Perusahaan tidak terbuka terhadap masyarakat. Ketika dikasih uang, masyarakat diam saja. Dong bayar dua kali dalam setahun, uang kompensasi, langsung bayar ke masyarakat,” ujarnya.
Wepe menyatakan dugaan bahwa perusahaan swasta itu juga mengambil kayu hasil hutan hingga merambah ke wilayah ulayat yang dilindungi. “Perusahaan seenaknya masuk. Perusahaan tidak boleh seenaknya. Masyarakat tidak sadar bahwa hutan habis,” ujarnya.
Peserta lainnya dari Kampung Binyer, Ahmad Gwenjau (37 tahun) juga berterima kasih atas pelatihan paralegal AlDP itu. Gwenjau mengatakan pelatihan itu sangat penting bagi pendamping masyarakat adat seperti dirinya.
Ia mengaku pernah mendampingi warga Binyer yang ditangkap aparat penegak hukum pada 31 Desember 2020 di Kabupaten Jayapura. “Saya [pernah] mendampingi [warga yang] ditahan di Jayapura,” katanya.
Gwenjau mengaku banyak sekali masalah yang terjadi di kampung, mulai dari persoalan pendidikan, kesehatan, hingga masalah hutan dan hak ulayat. Gwenjau mengatakan ia akan terus mendampingi masyarakat adat Binyer memperjuangkan hak-hak mereka.
“Setiap ada masalah, saya biasa dipanggil polisi. [Saya] sudah pernah mengawal masyarakat [adat] bermasalah secara hukum. [Saya akan] tetap melanjutkan pendampingan bagi masyarakat yang bermasalah hukum di kampung,” ujarnya.
Aturan jadi acuan pembangunan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarmi, Femmy Kreeuw mengatakan pihak terus berkoordinasi dengan beberapa dinas terkait yang melaksanakan pembangunan pembangunan berskala besar. Kreeuw mengatakan koordinasi itu penting kegiatan pembangunan tetap mengacu kepada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Undang-undang jadi acuan bagi pelaksanaan pembangunan. Harus ada kajian-kajian yang dilaksanakan sebelum [kegiatan] pembangunan [dilaksanakan]. Kami berharap mereka [yang melakukan kegiatan pembangunan] tetap mengacu [prinsip] pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Kami melaksanakan perubahan bentuk [dengan kegiatan pembangunan] tapi tetap menjaga keberlangsungan suatu lingkungan,” kata Kreeuw pada Sabtu (22/6/2024).
Kreeuw mengatakan setiap enam bulan sekali pihaknya juga mengevaluasi tiap perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Sarmi. Evaluasi itu meliputi dokumen operasi perusahaan, evaluasi pengelolaan limbah, hingga penanaman kembali hutan yang telah ditebang.
“Kalau perusahaan kayu lebih kurang ada enam [perusahaan yang beroperasi di Sarmi. Secara berkala kami] datangi, kami lihat dokumennya, bagaimana penanganan mereka untuk [hal yang] berhubungan lingkungan, semua kami pantau,” ujarnya.
Kreeuw mengatakan pihaknya juga akan melanjutkan pemetaan wilayah adat di Distrik Pantai Timur dan Distrik Bongo. Menurutnya, pemetaan wilayah adat itu sempat berhenti pada 2021, karena keterbatasan anggaran.
“Dinas Lingkungan Hidup pernah melakukan kegiatan pemetaan, tetapi kami sesuaikan dengan ketersediaan anggaran. [Pemetaan] sudah pernah [dilakukan], tapi belum selesai [karena] kurang anggaran,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!