Manokwari, Jubi – Puluhan Mahasiswa dan Masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Papua, menduduki perempatan Jalan Gunung Salju Fanindi depan Lampu Merah Makalow Manokwari Papua Barat, Senin (4/11/2024). Akses jalan utama itu lumpuh selama beberapa jam. Aksi itu menolak Program Transmigrasi dari pemerintah pusat.
Akibat aksi itu, arus Lalulintas terpaksa dialihkan satu jalur dari arah Sanggeng ke arah pelabuhan dan Jalan Brawijaya serta ke kawasan Amban. Aksi Mahasiswa dan aktivis ini berlangsung sejak pukul 7.00 WIT hingga siang.
Pilatus Legowan mantan Presiden mahasiswa Unipa mengatakan pihaknya kesal dengan polisi yang tidak memberikan izin aksi. Kapolres tidak memberikan izin, padahal menurutnya setiap warga berhak memberikan pendapat di depan umum
“Kami dulu melakukan aksi dikawal langsung oleh mantan Kapolres yang sekarang jadi Kapolda, tapi saat ini kami dihadang, kami sekarang ini sama saja dengan mengganggu lalu lintas,” kata Legowan dalam orasi.
Herson Korwa, mantan ketua BEM STIH Manokwari yang ikut dalam aksi itu menilai upaya polisi menghalangi massa aksi agar tidak bisa ke Kantor DPRD Papua Barat, merupakan cara yang tidak demokratis dan cenderung melanggar peraturan Kapolri Nomor 16 tahun 2006 pasal 7 ayat 1 soal penanganan pengendalian massa kepolisian.
“Dari aksi ke aksi, polisi selalu menghadang massa ditengah jalan, ini upaya pembungkaman terhadap demokrasi,” katanya.
Nyaris Bentrok
Aksi demo menyampaikan penolakan terhadap rencana pemerintah soal program transmigrasi, awalnya berjalan lancar. Hingga sekitar pukul 11.00 WIT massa menduduki perempatan Makalow, sembari menghadang kendaraan agar tidak boleh melintasi, seketika terjadi pemicu yang menyebabkan beberapa mahasiswa menyerang barikade Polisi.
Massa sempat mencabut kayu yang digunakan untuk baliho dan spanduk, kemudian mau menyerang barikade polisi. Namun situasi itu tidak berlangsung lama setelah koordinator aksi melerai. Keadaan kembali normal. Mahasiswa dapat menyampaikan aspirasinya secara bergantian setelah Ketua DPRD Papua Barat, Orgenes Wonggor menemui mereka di kawasan Makalow.
ordinator Aksi Yulianus Niko saat membacakan aspirasi menyebut, program transmigrasi di Tanah Papua sejak tahun 1966, empat tahun setelah Papua terintegral di Indonesia.
“Petak-petak tanah bagi para transmigran pertama kali di kawasan Aimas, Sorong Papua Barat Daya, semula tanah wilayah yang diwariskan secara turun temurun, namun pemerintah mengubah status tanah sebagai milik negara,” kata Yulianus di hadapan Ketua DPRD Papua Barat.
Program transmigrasi sempat dihentikan melalui keputusan Gubernur Irian Jaya waktu itu dijabat oleh Barnabas Suebu. Kemudian menurut mahasiswa, Otonomi khusus masuk sebagai rangkaian baru dimana pengesahan Program Transmigrasi masif kembali dilanjutkan,
“Di Merauke Papua Selatan, 10 distrik atau hampir dari sebagai distrik ditetapkan sebagai kawasan transmigrasi oleh Suharto melalui keputusan presiden,” katanya
Sejumlah distrik menjadi tujuan transmigrasi selama Orde baru di antaranya Distrik Orensbari di Manokwari Selatan, Distrik Prafi di Kabupaten Manokwari, kemudian Arso di Jayapura, Kabupaten Timika dan Kabupaten Teluk Bintuni serta Distrik Jendidore di Kabupaten Biak Papua.
“IPM Tahun 2016 menempatkan Daerah dengan kawasan transmigrasi memiliki indeks tertinggi, secara berturut turut kota Jayapura, timika Biak, kabupaten Jayapura Merauke dan nabire pada IPM 2023 enam daerah diurutan pertama ditambah kota Sorong dan Manokwari,”kata Yulianus.
Dia menyebut Merujuk Hasil sensus BPS tahun 1971 dan Tahun 2000, setiap tahun laju pertumbuhan penduduk asli Papua lebih rendah ketimbang penduduk non Papua.
Menolak Transmigrasi ke Papua
Ketua DPRD Papua Barat Orgenes Wonggor yang menemui langsung masa aksi menegaskan, kini ada 3 dari 5 Fraksi di DPRD Papua Barat, sudah menyatakan menolak program transmigrasi ke Papua Barat.
“Tanpa demo kami di DPRD sudah tiga fraksi dari 5 Fraksi menolak program transmigrasi,” kata Wonggor di hadapan Massa.
Meski demikian Wonggor mengatakan akan menindak lanjuti aspirasi mahasiswa yang telah diserahkan kepadanya, dalam rapat internal Dewan yang akan digelar dalam waktu dekat.
“Kami akan tindak lanjuti sesuai mekanisme internal dan akan melaporkan ke pimpinan DPRD di Pusat,” kata Wonggor.
Usai menemui massa, Orgenes mengatakan penolakan terhadap program transmigrasi yang digagas oleh Kabinet di pemerintahan Prabowo harus dilakukan jauh hari meski saat ini belum ada gambaran berapa banyak transmigran yang bakal di kirim ke Papua Barat.
“Itu rencana pusat, memang masih dalam tahap rencana tapi sudah pasti dilaksanakan jadi mahasiswa menyampaikan aspirasi menolak transmigrasi di Papua Barat dan tanah Papua,” kata Orgenes
Ia tak menampik ada dampak positif dari program transmigrasi. Namun berdasarkan aspirasi, ada penolakan dari mahasiswa.
Aksi massa dari kelompok solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Papua menolak Program Transmigrasi dikawal oleh puluhan aparat dalmas dari kepolisian resort kota Manokwari, dibantu Brimob serta anggota TNI. Aksi bubar secara tertib setelah aspirasinya diterima Ketua DPRD Papua Barat. Kini aktivitas laku lintas sudah berlangsung normal. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!
Papua dan penduduk aslinya seharusnya dipertahankan sebagai situs peradaban jaman batu. Mereka tidak perlu dididik secara modern. Biarkan mereka hidup dan belajar dari alam. Penduduknya tidak perlu dicatat di kependudukan. Ketika industri tambang masuk, pastikan mereka direlokasi untuk menjamin mereka tetap hidup dalam dunianya. Oleh karena itu mulai sekarang tutup dan hentikan pendidikan modern kpd mereka. Biarkan mereka hidup liar. Kasihan jika dipaksakan. Yang penting investor asing dilarang masuk. Jadikan papua seperti amazonnya indonesia