Jayapura, Jubi – Konflik bersenjata yang terjadi di Tanah Papua dinilai semakin rumit sehingga semakin sulit untuk diselesaikan. Belum ada keseriusan dari Pemerintah Indonesia dalam membuka ruang dialog substantif untuk menyelesaikan akar persoalan konflik Papua.
Sebaran wilayah konflik bersenjata antara aparat keamanan TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) kian meluas. Insiden konflik bersenjata semakin pun kerap terjadi, dan kerap kali warga sipil/orang biasa malah menjadi korban.
Ketika jatuh korban, TNI/Polri kerap serta-merta menjatuhkan vonis bahwa korban adalah anggota TPNPB, dan kebanyakan klaim TNI/Polri itu dibantah TPNPB. Kalaupun pihak TNI/Polri dan TPNPB sama-sama mengakui bahwa korban adalah warga sipil/orang biasa, TNI/Polri dan TPNPB kerap kali saling tuding soal siapa pelaku kekerasan terhadap korban.
Pada 16 Juli 2024 misalnya, tiga orang asli Papua meninggal dunia karena ditembak prajurit Satuan Tugas Batalion Infantri Batalyon Infanteri Raider Khusus 753/Arga Vira Tama di Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua Tengah. Kepala Penerangan Komando Daerah Militer (Kapendam) XVII/Cenderawasih, Letkol Inf Candra Kurniawan segera saja menyatakan bahwa ketiga korban itu—SW (33), YW (41), dan DW (36)—adalah anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Pernyataan Kapendam XVII itu lantas dibantah Juru Bicara TPNPB, Sebby Sambom. Menurutnya, ketiga korban adalah warga sipil/orang biasa, bukan anggota TPNPB/OPM. Sambom menyatakan korban yang meninggal karena ditembak prajurit TNI itu adalah Kepala Desa Kalome, Kepala Desa Dokkome, dan seorang warga sipil.
Di tengah baku bantah itu, terjadi amuk massa di Mulia, Ibu Kota Kabupaten Puncak Jaya, yang marah mendengar kematian ketiga korban. Sebuah bentuk reaksi warga yang nyaris tak pernah terjadi ketika mereka mengetahui anggota TPNPB meninggal ditembak aparat keamanan.
Kasus penembakan yang terjadi di Puncak Jaya itu adalah kelanjutan dari rangkaian panjang konflik bersenjata yang terus terjadi di Tanah Papua. Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua mencatat dalam rentang waktu Januari – Mei 2024 terjadi 41 insiden kekerasan terkait konflik bersenjata di Tanah Papua.
Data Komnas HAM Papua merinci berbagai kasus kekerasan tersebut menimbulkan korban hingga 53 orang (32 orang meninggal dunia, dan 21 orang terluka). Di antara mereka termasuk 12 warga sipil yang meninggal dunia, dan 16 warga sipil terluka. Selain itu, sejumlah 11 anggota TPNPB meninggal dunia dan dua orang terluka. Sejumlah sembilan anggota TNI/Polri juga meninggal dunia, dan 3 orang lainnya terluka.
Kian tak terselesaikan
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Cahyo Pamungkas mengatakan konflik bersenjata semakin sulit diselesaikan karena Pemerintah Indonesia mengendapkan pendekatan keamanan di Papua. Menurut Cahyo, Pemerintah Indonesia lebih ingin menunjukkan kedaulatannya melalui kehadiran aparat keamanan di Tanah Papua.
“Negara ingin menunjukkan kedaulatan terhadap masyarakat sipil. Negara ingin mengontrol orang Papua [dengan] memperkuat perannya melalui militer,” kata Cahyo.
Cahyo mengatakan apabila pendekatan keamanan ini terus dilanjutkan, maka konflik bersenjata akan terus terjadi dan menimbulkan krisis kemanusian. Ia juga mengkritik Pemerintah Indonesia yang terus mengedepankan pendekatan pembangunan, tanpa mendengarkan aspirasi penolakan masyarakat Papua.
“Jumlah korban semakin meningkat, insentif konflik bersenjata semakin meningkat. Pengungsian terus terjadi. Pemerintah lebih mengedepankan pendekatan keamanan, pendekatan pembangunan, pemekaran [Provinsi Papua, dan] memperpanjang Otonomi Khusus sesuai dengan keinginan Jakarta,” ujarnya.
Cahyo menilai pendekatan itu dipilih pemerintah pusat yang hendak mempersempit perjuangan politik gerakan Papua Merdeka. Di sisi lain, kata Cahyo, akar konflik Papua tak kunjung diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia.
Cahyo mengatakan akar konflik itu adalah kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), serta kontroversi sejarah dan status politik wilayah Papua. Menurut Cahyo apabila akar masalah tidak diselesaikan, gerakan perlawanan senjata bakal terus dilakukan TPNPB.
“Akar dari konflik itu harus diselesaikan terlebih dahulu. [Jika tidak maka], konflik Papua semakin lama [bakal] semakin rumit. Ada permasalahan ideologi/masalah status politik keinginan orang Papua untuk merdeka. Ada masalah marginalisasi dan diskriminasi, ada masalah kegagalan pembangunan yang ditunjukkan dengan ekspansi pertambangan, perkebunan, food estate [yang dilakukan] tanpa mengakui hak masyarakat adat,” katanya.
Menanti inisiatif perdamaian
Cahyo mengatakan konflik bersenjata yang semakin rumit itu hanya dapat didinginkan dengan menumbuhkan gerakan perdamaian sebagaimana yang didorong Jaring Damai Papua. Perlu ada berbagai inisiatif perdamaian yang muncul dari kalangan masyarakat sipil maupun dari pemerintah.
Cahyo mengatakan dialog untuk membangun perdamaian di Papua haruslah substantif dan melibatkan aktor konflik Papua. Menurutnya, Pemerintah Indonesia harus bersedia berdialog dengan kelompok-kelompok yang ingin merdeka.
“Sekarang belum ada inisiatif yang ditawarkan menyelesaikan konflik Papua secara non kekerasan. Yang ada inisiatif untuk menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan keamanan dan pendekatan pembangunan. Perlu sekali [dialog damai yang] dulu [dirintis] almarhum Pastor Neles Tebay dan Muridan S Widjojo [dengan] mengedepankan pendekatan human security daripada state security,” ujarnya.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay juga mengatakan konflik bersenjata di Papua semakin sulit diselesaikan karena Pemerintah Indonesia tetap melakukan pendekatan keamanan. Sementara itu, kata Gobay, warga sipil yang menjadi korban dan mengungsi tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
“Supaya masyarakat sipil tidak menjadi korban, semestinya pendekatan keamanan itu dievaluasi agar kemudian mengurangi pelanggaran HAM. Kita semua tahu pilihan pendekatan keamanan bukan saja [menimbulkan] terjadinya penyiksaan warga sipil, tapi [juga menyebabkan] masyarakat mengungsi dan menjadi korban. Itu [konsekuensi] pilihan pemerintah menyelesaikan persoalan di Papua dengan pendekatan keamanan,” kata Gobay pada Kamis (18/7/2024).
Gobay mengatakan Pemerintah Indonesia harus mencarikan jalan keluar yang efektif dalam persoalan Papua. Menurut Gobay penyelesaian persoalan Papua dapat memakai mengacu pendekatan penyelesaian konflik Aceh yang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pilihan lainnya, mengacu kepada pendekatan penyelesaian konflik Timor Leste yang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui Hak Penentuan Nasib Sendiri.
“Ini kan dua referensi yang ada, yang [dapat] dilakukan Pemerintah Indonesia. Kenapa [Pemerintah Indonesia] tidak berpikir dua alternatif itu digunakan dalam [menyelesaikan] konflik di Papua,” ujarnya.
Sumber konflik baru
Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey mengatakan siklus kekerasan dan konflik bersenjata semakin masif terjadi di Papua. Ramandey mengatakan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) melalui pemekaran wilayah justru menimbulkan eskalasi konflik bersenjata. Pemekaran wilayah juga berpotensi membuat orang Papua semakin termarjinalisasi.
“Pemekaran sampai banyak pun hanya menimbulkan kekerasan, karena pemekaran [justru] berpotensi memarginalkan orang asli Papua. Karena, yang terjadi [adalah orang] non Papua berekspansi secara ekonomi. Ekspansi perusahaan besar menghantam hak-hak ulayat masyarakat adat asli Papua. [Akhirnya] pemekaran [justru menjadi] sumber konflik [baru] dan orang akan memainkan kepentingan bisnisnya,” ujar Ramandey.
Ramandey mengatakan siklus kekerasan dan konflik bersenjata harus bisa dihentikan. Ramandey menyatakan dialog damai harus terus didorong sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik bersenjata di Papua.
“Dialog harus di terus didorong. Kalau kita berhenti dan tidak melakukan upaya dialog, maka sama dengan kita membiarkan siklus kekerasan berkembang secara terus menerus. Karena itulah Komnas HAM kemudian menginisiasi dialog kemanusian,” katanya.
Ramandey mengatakan Pemerintah Indonesia harus menginisiasi dialog damai tersebut. Ramandey mengatakan dialog itu harus melibatkan kelompok sipil bersenjata/TPNPB, keluarga korban dan korban pelanggaran HAM, perwakilan pemerintah, dan faksi-faksi politik gerakan kemerdekaan Papua seperti Negara Republik Papua Barat (NRPB) ataupun United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Ramandey mengatakan pihaknya juga sedang membangun komunikasi dengan JDP untuk mempertemukan faksi-faksi politik gerakan Papua merdeka. “Negara menginisiasi pertemuan, mau di dalam negeri atau di luar negeri. Kami [Komnas HAM Papua] juga sedang diskusi dengan JDP untuk menginisiasi [pembicaraan dengan] kelompok faksi yang ada di Papua. Kalau faksi-faksi itu bisa bicara, maka konflik bersenjata bisa dikurangi,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!