Jayapura, Jubi – Komisi Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI Perwakilan Papua menggelar diseminasi Standar Norma dan Pengaturan atau SNP Hak Asasi Manusia tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi serta menangkal radikalisme di era global di Kota Jayapura.
Diseminasi SNP HAM ini menyasar mahasiswa Hubungan Internasional atau HI Fisip UNCEN angkatan 2021, mahasiswa pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM Fakultas dan Mahasiswa dari beberapa kampus lain di Kota Jayapura.
28 orang mahasiswa tersebut hadir bersama enam orang jajaran anggota Komnas HAM RI Perwakilan Papua.
Kepala Kantor Perwakilan Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia atau Komnas HAM RI Provinsi Papua, Fritz Ramandey mengatakan kegiatan itu bertujuan pertama-tama untuk menyebarluaskan informasi, pengetahuan dan wawasan HAM mengenai SNP tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Selain itu juga untuk memperkuat kapasitas masyarakat sipil khususnya mahasiswa serta mendorong implementasi SNP HAM tentang kebebasan berpendapat serta menjalin komunikasi dan koordinasi dengan mahasiswa se-Kota Jayapura.
“Kegiatan ini merupakan kepentingan dari Komnas HAM karena soal standar dan norma kebebasan berekspresi untuk mahasiswa di kampus sangat penting. Komnas HAM mengeluarkan standar dan norma kebebasan berekspresi, Dengan harapan agar mahasiswa di kampus mengetahuinya supaya gerakan kebebasan berekspresi yang dibangun dari kampus itu tidak melanggar Hak Asasi Manusia,” katanya di Aula P3W Padang Bulan, Kota Jayapura, Provinsi Papua pada Jumat (2/8/2024).
Ramandey menyatakan penting agar mahasiswa tahu standarnya, yang merujuk kepada Undang Undang Nomor 9 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Ramandey melanjutkan dalam konteks hukum HAM itu berlaku pembatasan. Karena kebebasan berekspresi penting sehingga Komnas HAM mengeluarkan SNP dan melakukan sosialisasi kepada mahasiswa agar membuat aksi yang tidak merugikan hak orang lain.
Ia berharap perjuangan kebebasan berekspresi yang dilakukan mahasiswa selalu mewakili kepentingan publik dan perjuangannya bisa tersampaikan.
“Komnas berkepentingan untuk menyampaikan hal ini kepada mahasiswa karena kerentanan terhadap kebebasan berekspresi selalu dikeluhkan mahasiswa, karena memang sampai hari ini terutama di Papua kebebasan berekspresi masih dibungkam,” katanya.
Menyinggung alasan digelarnya diseminasi terkait radikalisme dalam konteks global, Ramandey menyebutkan karena di Papua gerakan radikalisme berpotensi terjadi.
“Kenapa kami ingin menyampaikan materi tentang radikalisme dalam konteks global karena gerakan radikalisme potensi terjadi. Radikalisme ada yang memperjuangkan perubahan sosial tapi ada radikalisme yang menyebarkan berita hoax dan bisa penyebar ketakutan, ancaman itu juga penting untuk diketahui mahasiswa,” lanjutnya.
Ramandey mengingatkan adanya “sel-sel tidur radikalisme” terkait kelompok terorisme di Tanah Papua. Gejala-gejala “sel-sel tidur” di Merauke dan di Jayapura sudah ada dan ia menyampaikan adanya konteks global yang mendukungnya.
Diseminasi juga dilakukan karena ingin menjawab pertanyaan publik tentang kebebasan berekspresi di Papua yang setiap tahun dibungkam. Komnas HAM Papua beranggapan jalan terobosan yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun standar dan norma. Standar dan norma ini tak saja q untuk mahasiswa tapi juga untuk aparat. “Bagi kami ini menjadi kebutuhan, tapi juga standar norma kebebasan berekspresi kami menyebutnya sebagai alternatif untuk menjawab pertanyaan publik dalam demo-demo yang dibungkam di Tanah Papua,” katanya.
Ia juga menyinggung pasal makar yang digunakan kepada mahasiswa yang melakukan demonstrasi atau kegiatan-kegiatan aktivisme. Menurutnya hal itu justru dapat menstimulus gerakan radikalisme dalam konteks ideologi, dalam konteks nasionalisme dan konteks kultural. Jadi untuk mengingatkan pemerintah, penegak hukum agar melihat bahwa penerapan pasal makar tidak efektif di Papua. “Karena orang akan bangga dikenakan pasal makar, sehingga Papua ke depannya tidak bisa lagi menggunakan pasal makar harus menggunakan pasal lain untuk penegakan hukum,” katanya.
Ramadey juga mengajak agar mahasiswa menghindari pasal makar dengan cara tidak melakukan tindakan-tindakan yang menebar kebencian dan menebar ketakutan. Di jaman 90-an kalau orang berdemo mendapatkan dukungan langsung masyarakat sipil, namun sekarang orang berdemo justru orang takut dan tutup pagar.
“Yang harus dihindari kawan-kawan mahasiswa adalah demo jangan anarkis, lalu demo harus bisa dikomunikasikan dengan otoritas sipil, kalau mau demo ke DPR kita harus memberitahukan dari jauh-jauh hari dan juga kasih tahu pihak keamanan supaya aparat keamanan melaksanakan tanggung jawabnya untuk mengawal,” katanya.
Ramandey juga beranggapan mahasiswa seharusnya menghindari penggunaan bendera bintang kejora. Memang Gus Dur pernah mengatakan bahwa bendera bintang kejora itu simbol kultural dan itu sudah pernah dikibarkan. Tapi belakangan ini dianggap sebagai simbol dari gerakan Papua Merdeka. Sehingga ada orang yang mengibarkannya ditangkap dan dikenakan pasal makar.
Selain mahasiswa, Ramandey juga berharap aparat berkewajiban melakukan koordinasi dan berkewajiban memfasilitasi proses-proses penyampaian aspirasi, dan mahasiswa harus bersedia mengembangkan gerakan kritis yang tidak mengorbankan pemenuhan HAM atas pendidikan dan kesehatan.
“Jadi kalau pemalangan kampus lalu mengakibatkan proses perkuliahan terabaikan itu anda berpotensi melanggar hak atas pendidikan. Karena itu silahkan anda menyampaikan aspirasi tapi tidak boleh pemalangan kampus, kena itu mengancam mahasiswa lain untuk tidak menerima haknya, maka dari itu berekspresi lah pada tempat dan sasaran,” katanya
Melky Weruin Analisis Kebijakan Komnas HAM RI Perwakilan Papua mengatakan pihaknya terus melakukan monitoring terhadap isu kebebasan berekspresi di Papua dan menilai bahwa kondisi pemenuhan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi cukup memprihatinkan. Karena masih ditemukan praktek-praktek pembatasan, pelarangan, tindakan kekerasan dan represi dari aparat keamanan dalam aksi-aksi yang dilakukan warga sipil khususnya mahasiswa.
“Kewajiban kita yang mau melakukan kebebasan berpendapat dan berekspresi, misalnya kita mau demo, kita wajib bikin surat pemberitahuan antar ke pihak keamanan. Wajib disampaikan kepada kepolisian kami masa jumlahnya sekian, dan ada korlap dan alasan aksi jelas semuanya harus diberitahu. Dan berikut demo tapi tidak tutup jalan kalau tutup jalan pasti dibatasi karena itu sudah mengganggu hak asasi orang lain,” katanya.
Menurutnya setiap mahasiswa punya hak untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi, tapi mahasiswa atau setiap orang juga punya kewajiban. Kalau merasa kebebasan itu dibungkam lapor ke Komnas HAM dan Komnas HAM pastikan laporan itu. ”Jangan besok mau demo paginya baru antar surat,” Itu tidak bisa juga karena pihak kepolisian harus cek apa saja perlengkapannya, titik kumpul dimana, berapa banyak orang dan alat peraganya apa saja, makanya kalau mau kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak dibungkam penuhi dulu kewajibanmu,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!