Jayapura, Jubi – Komunitas Mahasiswa Dan Pelajar Aplim-Apom atau Komapo Kabupaten Pegunungan Bintang se-Jawa, Bali, Sumatera dan Kalimantan menggelar diskusi publik, menolak Transmigrasi di Tanah Papua.
Hal itu dikatakan Penasehat Komapo, Melkior Sitokdana, melalui layanan Whatsapp pada Selasa (5/11/2024).
Sitokdana mengatakan, alasan pihaknya menolak program transmigrasi ke Papua itu antara lain, slow motion genocide atau genosida secara perlahan-lahan, dari sisi demokrasi OAP belum berkembang, angka kematian lebih banyak daripada kelahiran. Lalu, Menurutnya pertumbuhan penduduk asli Papua yang stagnan atau bahkan menurun, sementara angka kematian tinggi, mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk mengurangi jumlah penduduk asli.
Kedua etnosida: Ketika orang lain masuk ke Papua, terjadi etnosida sehingga bahasa daerah dan lainnya punah atau hilang. Lalu, masuknya pendatang dalam jumlah besar ke Papua mengancam keberadaan budaya dan bahasa asli Papua.
Sitokdana mengatakan akulturasi yang tidak seimbang menyebabkan hilangnya identitas dan kekayaan budaya masyarakat Papua. Selanjutnya itu Ekosida, dimana seluruh kekayaan di Papua dieksploitasi dengan adanya berbagai perusahaan, seperti PT.Freeport Indonesia, PT.Tunas Sawah Herna, PT.Merauke sawit Jaya dan berbagai perusahan yang beroperasi di Papua untuk dapat mengeksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
“Perusahaan besar seperti PT. Freeport Indonesia telah merusak lingkungan hidup di Papua dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat setempat,”ujarnya.
Sementara itu, Emil Muner Uropmabin Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sebagai pemateri satu dalam diskusi tersebut, mengatakan isu program transmigrasi itu sebenarnya terlebih dahulu dijembatani dari otonomi khusus atau Otsus jilid II,lalu berlanjut ke pembentukan Daerah Otonomi Baru atau DOM, kemudian Investasi dan program transmigrasi yang dicanangkan pemerintahan Presiden Prabowo subianto melalui kementrian transmigrasi.
“Akar masalahnya itu Otsus Jilid II yang menjadi landasan utama bagi pembentukan DOB di Papua, tujuan Pemekaran dilakukan untuk memuluskan masuknya investasi besar-besaran ke Papua.”katanya.
Menurutnya, beberapa daerah yang dimekarkan menjadi Provinsi di Papua itu belum memenuhi syarat administratif dan infrastruktur yang memadai seperti Provinsi Papua Selatan yang hanya terdiri dari empat kabupaten, yaitu Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi serta Kabupaten Merauke. Padahal, syarat administratif untuk layak membentuk sebuah Provinsi adalah harus lebih dari lima Kabupaten.
“Perubahan regulasi, terutama UU Cipta Kerja yang memberikan kemudahan bagi investor untuk beroperasi di Papua. Lalu, Sektor pertambangan menjadi fokus utama investasi dengan pemberian izin yang lebih fleksibel”ujarnya.
Uropmabin mengatakan dominasi pemerintah pusat masih memiliki kendali yang kuat dalam pengambilan keputusan terkait izin investasi. Menurutnya, landasan Hukum undang-undang Otsus Jilid II dan peraturan daerah mengatur pelaksanaan transmigrasi di Papua, sebaliknya perlindungan atas orang asli Papua yaitu Undang-undang otonomi khusus menekankan pentingnya memberdayakan masyarakat asli Papua dan membatasi jumlah pendatang.
“Perda Provinsi Papua, Nomor 15 Tahun 2008 membatasi jumlah transmigran dan mewajibkan persetujuan MRP dan DPRP. Meskipun ada regulasi yang kuat, implementasi di lapangan seringkali tidak efektif dalam melindungi hak-hak OAP”katanya.
Emil Uropmabin mengatakan Implementasi Otonomi Khusus Jilid II di Papua telah memicu serangkaian perubahan signifikan, termasuk pembentukan Daerah Otonomi Baru dan pembukaan peluang investasi yang lebih luas. Ia mengatakan tujuan utama kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.
Namun, dalam praktiknya, kebijakan tersebut seringkali diiringi oleh tantangan kompleks. Pemekaran DOB yang tergesa-gesa. Dominasi pemerintah pusat dalam pengambilan keputusan investasi, serta program transmigrasi yang belum sepenuhnya mengakomodasi hak-hak masyarakat asli Papua, menjadi beberapa persoalan krusial.
“ Meskipun terdapat regulasi yang mengatur perlindungan masyarakat asli Papua, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Akibatnya, potensi konflik sosial dan lingkungan semakin meningkat. Untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan di Papua, diperlukan upaya yang lebih komprehensif dalam merumuskan kebijakan, melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, serta memperkuat penegakan hukum”ujarnya.
Ketua Komunitas Mahasiswa dan Pelajar pegunungan Bintang, Elia A.Mimin mengatakan program transmigrasi dapat memicu tatanan kehidupan orang Papua. Masyarakat Papua mengalami berbagai persoalan dan dilema secara ekonomi yang juga berdampak terhadap politik. Program Transmigrasi yang merupakan kebijakan Pemerintah Pusat, dinilai tidak dipertimbangkan dengan baik. Karena kelestarian budaya orang Papua yang secara langsung sedang menuju kepunahan.
“Kebijakan ini dapat melemahkan eksistensi budaya dan kelestarian lingkungan hidup serta sosial dikalangan masyarakat papua”katanya.
Mimin mengatakan Pemerintah hanya berfokus pada kepentingan negara. Tanpa sadar, program Transmigrasi akan menghilangkan manusia Papua secara pesat. Strategi yang digunakan sedang berjalan secara sistematis, Negara terlihat sedang merampas hak hidup, hak politik, ekonomi dan budaya orang asli Papua.
Pada kesempatan itu, Komunitas Mahasiswa dan Pelajar Aplim-Apom membuat beberapa poin pernyataan sikap, yakni :
1. Pemekaran Wilayah Empat Provinsi di tanah Papua tidak menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Pemekaran tanpa perencanaan yang matang. Tanpa partisipasi aktif masyarakat adat Papua hanya akan memperlemah kontrol masyarakat asli terhadap tanah dan sumber daya orang asli Papua.
2. Investasi di tanah Papua, khususnya dalam sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan, seringkali lebih menguntungkan pihak luar dan tidak menguntungkan masyarakat setempat. Dengan tujuan mensejahterakan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, konflik lahan, dan marginalisasi masyarakat adat Papua.
3. Kami menolak dengan tegas kebijakan transmigrasi, Pemerintah Pusat segerah mencabut kembali dan mempertimbangi kebijakan terhadap trasmigrasi di tanah Papua. Transmigrasi yang dilakukan hanya akan mempercepat proses marginalisasi masyarakat Papua dan mengancam kelestarian budaya serta identitas masyarakat adat Papua. Kami berharap bahwa setiap kebijakan yang diambil terkait Papua harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dan nilai-nilai hak asasi manusia yang sudah tercantum dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat, sebagai bentuk penolakan terhadap transmigrasi yang akan dilakukan ditanah masyarakat Papua.
Salatiga, 05 November 2024 Komunitas Mahasiswa & Pelajar Aplim-Apom (KOMAPO) Se-Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera Periode 2023-2025.
Elia A. Mimin
(SEKJEN KOMAPO)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!