Jayapura, Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP Latifah Anum Siregar mengatakan pasal makar seringkali digunakan negara sebagai strategi untuk membungkam kebebasan berekspresi. Pasal makar biasa dikenakan kepada pemuda, mahasiswa, masyarakat sipil, aktivis sipil politik di Tanah Papua, termasuk kelompok adat yang menyuarakan hak dan kepentingan mereka.
Sebelum dijerat pasal makar, biasanya didahului oleh penangkapan dan penahanan yang seringkali diskriminatif terhadap orang-orang tersebut. “Untuk tujuan itu, negara cenderung mengabaikan aturan hukum yang ada. Misalnya ketika melakukan penangkapan atau penahanan oleh aparat keamanan tidak pernah menunjukkan surat perintah terlebih dahulu sebelum penangkapan atau penahanan itu,” kata Anum Siregar disela-sela diskusi kelompok terarah atau FGD yang bertajuk Makar dan Tapol di Tanah Papua pada Kamis (30/5/2024).
ALDP menyelenggarakan kegiatan FGD tersebut untuk memaparkan hasil penelitian mereka yang ditulis sebagai laporan terkait ‘Makar dan Tapol di Tanah Papua’. FGD tersebut melibatkan aktivis, Pembela HAM, serta pengacara-pengacara hukum, di sebuah hotel di Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua.
Direktur ALDP menjelaskan bahwa ide untuk membuat satu buku tentang Makar dan Tahanan Politik atau Tapol di Tanah Papua itu sebenarnya sejak lama, namun baru terwujud di akhir tahun lalu. Mereka mendokumentasi putusan-putusan kasus makar di seluruh Tanah Papua sejak tahun 2020 hingga sekarang, hingga terkumpul sekitar 50 kasus putusan makar.
ALDP juga menelusuri putusan-putusan makar di daerah lain seperti Aceh dan Maluku sebagai studi banding dengan putusan makar di Tanah Papua. Hal itu dilakukan untuk memperoleh pengetahuan terkait penanganan kasus makar di Papua dan perbedaan-perbedaannya dengan penanganan di Aceh atau di Maluku.
“Untuk sementara sekitar 100 halaman sudah jadi dengan judul ‘Makar dan Tapol di Tanah Papua’. Tadi kami presentasikan ringkasannya saja untuk berdiskusi. Kami berharap bulan Juli ke depan bersama mitra kami akan launching laporannya atau buku ini,” katanya.
Rancangan buku yang ditampilkan memiliki 10 bab tersebut mencoba merinci penjelasan yang berkaitan dengan pasal makar, macam aturan yang dipakai, dasar hukumnya, teori-teorinya hingga menelusuri makar dalam perspektif internasional serta sejarah pasal makar.
“Nah kami sudah dapat reviewnya, jadi kami sampaikan konfirmasi ke teman-teman aktivis, pengacara bahwa ada review seperti ini,” ujarnya.
Misalnya di bab tiga itu, lanjut Siregar, ALDP melihat makar yang diterapkan di Papua sebenarnya berbicara subjektivitas penerapan makar. Hal itu dapat terlihat misalnya di awal-awal penerapannya hanya menggunakan Pasal 106 KUHP. Tetapi belakangan bertambah lagi dengan pasal berlapis 110, 106, 108, 212 tentang melawan aparat, undang-undang ITE, sertanundang-undang darurat.
“Jadi dari praktik itu kami menyimpulkan bahwa makar ini pasal yang menstigma, untuk mengkriminalisasi gerakan masyarakat sipil atau sipol. Kita bisa lihat di bagian laporan bab selanjutnya adalah bagaimana putusan-putusan yang kontroversi, misalnya putusan dibebaskan tapi kemudian di tahap banding kena vonis lagi, sampai pada kriminalisasi gerakan masyarakat sipil,” katanya.
”Di ujungnya kita mau gambarkan bahwa pasal ini tidak efektif diterapkan di Papua. Kalau kita lihat banyak sekali yang kena pasal makar berulang-ulang tapi mereka tidak merasa jera kok. Jadi pasal ini tidak efektif, dan ini sifatnya sangat politis,” tegas Siregar.
Politisasi pasal makar
Anum Siregar membeberkan kalau dilihat pada bab-bab terakhir buku laporan itu, sebenarnya makar tidak mampu mengubah pandangan kritis atau pandangan pro Papua Merdeka menjadi pro NKRI harga mati. Tak sedikit contoh orang-orang yang berulang-ulang kena makar, bahkan lintas generasi. Generasi orang tua hingga sekarang anak-anak muda ditangkap, ditahan, lalu baru saja keluar dua bulan, masuk lagi tahanan dengan kasus serupa.
Menurutnya pasal makar itu sebenarnya tidak efektif meredakan gejolak persoalan di Tanah Papua apalagi menyelesaikannya. Hak kebebasan berekspresi seharusnya tidak dikenakan pasal makar. Sebagai efek jera pun, pasal tersebut tidak berhasil membuat jera bagi para aktivis sipil politik di Papua.
“Contohnya kalau kita mau lihat banyak sekali kasus yang berulang dari zamannya Pak Theys Eluay; Pak John Mambor; kemudian generasinya Bukhtar Tabuni yang telah tiga kali keluar masuk penjara; Victor Yeimo; Steven Itlay, itu kan menunjukkan bahwa tidak efektif dengan pasal makar, karena orang tidak takut lagi kena pasal makar,” ujar Anum Siregar.
Dia juga menyampaikan jeratan pasal makar yang lebih banyak digunakan di Papua memberi kesan bahwa pasal makar itu mendiskriminasi dan rasis terhadap aktivis sipil politik atau masyarakat sipil di Tanah Papua. Apalagi definisi makarnya tidak jelas, sehingga pasal makar itu cenderung digunakan hanya untuk mengkriminalisasi orang Papua.
“Benar-benar definisi makar menjadi melebar kemana-mana dan jadinya ada stigma, ada kriminalisasi terhadap gerakan masyarakat sipil. Banyaknya pasal-pasal yang dipakai, jadi hampir tidak bisa orang lolos karena pasal berlapis itu, misalnya kalau lolos pasal 106 nanti kena 160 begitu, kalau lolos, ada lagi kena undang-undang darurat,” kata Latifah Anum.
Jauh dari pantauan publik
Narasumber-narasumber yang ditemui ALDP untuk diwawancarai dalam penyusunan buku terutama pengacara-pengacara yang menangani kasus makar di Manokwari dan Fakfak Papua barat. Hal itu dilakukan karena, menurut ALDP, para pengacara dan kasus-kasusnya ini paling jauh disorot media, dan paling jauh pula aksesnya.
“Jadi kalau itu tidak diliput, tidak diangkat maka selamanya lebih cenderung akan tenggelam. Jadi kenapa akhir tahun kemarin kami ke Fakfak dan menjadi titik awal kami wawancara disitu. Banyak sekali kasus [yang belum diketahui publik],” katanya.
Latifah Anum Siregar menyatakan ada kasus di Papua Barat yang menjerat bahkan hingga 20 orang terdakwa pada tahun 2019 yang pasalnya sama tapi di sidang satu persatu. Terdakwa saling memberikan kesaksian atau yang disebut saksi mahkota.
“Mereka dipaksa karena tidak ada saksi dari luar, jadi mereka saling memberikan kesaksian. Bayangkan 20 orang, 20 berkas, yang sidang satu per satu lagi untuk berikan kesaksian. Nah ini kan sangat jelas menunjukkan stigma dan kriminalisasi, jadi kita mau angkat itu,” katanya.
Siregar melanjutkan ada beberapa kasus sudah masuk tahap penyidikan tapi ditangguhkan, sehingga seharusnya perlu dilakukan cek alasan penangguhan.
“Kenapa tidak di SP3 saja? Itu semua makin menunjukkan bahwa [pasal makar] jadi upaya politisasi, kriminalisasi, stigmatisasi terhadap gerakan-gerakan masyarakat sipil,” katanya.
Pasal karet muktitafsir
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua Gustaf Kawer memberikan apresiasi yang besar kepada ALDP yang berinisiatif menulis buku tentang Makar dan Tapol di Papua.
“Saya pikir teman-teman yang ambil inisiatif ini bagus untuk mengkritisi, mendorong perubahan supaya ke depan pasal ini digunakan pada tempatnya,” ujar Gustaf.
Menurutnya hampir tiap tahun di Papua selalu disibukan dengan sidang makar dan vonis makar. Ada disparitas di tingkat hakim dalam penggunaan pasal makar tapi kemudian dalam vonisnya berubah. Ada juga beda pemahaman di tingkat ahli hukum soal makar ini.
Gustaf Kawer mengatakan selama ini penggunaan pasal makar itu boleh dikatakan sesat. Karena dasarnya dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP Belanda. Kata makar itu diadopsi dari kata Aanslag diterjemahkan ke Bahasa Indonesia sebagai penyerangan. Ketika dikodifikasi ke KUHP Indonesia maknanya berubah, sehingga kadang makar itu ditafsirkan ke mana-mana, dan menjadi pasal karet, kata Kawer.
“Jika orang demo yang ada kaitannya dengan berbicara Papua Merdeka, atau pelanggaran HAM diterjemahkan jadi melawan negara. Yang lebih parah lagi itu orang kumpul kumpul berdoa untuk mengucap syukur, atau diskusi diterjemahkan dengan makar. Ini yang saya katakan jadi sesat nalar hukumnya,” katanya.
Negara, menurut Kawer keliru menerjemahkan makar, sehingga kekeliruan itu pun diturunkan sampai kepada aparat penegak hukum di semua jenjang, mulai dari kepolisian, Jaksa sampai hakim di pengadilan.
Kawer juga menilai ada disparitas hukum yang terjadi sejak tahun 2000-2005. Misalnya dalam menyampaikan pendapat di muka umum yang merupakan kebebasan berekspresi dijamin secara hukum, namun kebebasan berekspresi itu dibungkam dan orangnya ditangkap karena dianggap makar. Vonis yang dijatuhkan berkisar dari penjara seumur hidup, 20 tahun, dan yang terendah 15 tahun.
“Vonis 15 tahun pada kasus Pak Filep Karma kita bilang rendah, tapi bagi terdakwa itu masih cukup tinggi” katanya.
Kemudian periode dari 2005 sampai 2008 atau 2009 lanjut vonis makar Pembela HAM, seperti kasus Buktar Tabuni, Sebby Sambom, Serafim Dias, Mako Tabuni, Victor Yeimo yang juga dikenakan pasal makar tapi vonisnya hanya satu samoai tiga tahun.
“Pasalnya masih sama. Yang terakhir kita punya kasus rasisme itu ada yang dituntut dengan pasal makar tapi tuntutan tinggi hingga 17 tahun, 15 tahun, 10 tahun dan 5 tahun. Tapi kemudian dalam vonis pengadilan turun. Jadi saya katakan disparitas karena ada kasus yang pasalnya itu digunakan [sebagai dasar] vonis tapi level hukuman itu beda,” ujarnya.
Perbedaan dalam menafsir penerapan pasal makar ini tidak bisa diselesaikan lewat jalur hukum, demikian Kawer. “Berarti solusi untuk penyelesaian bukan solusi hukum. Solusinya adalah solusi resolusi konflik dan saya pikir dialog itu jadi penting,” ujarnya.
Dialog, kata Kawer, bertujuan supaya pihak-pihak yang bertikai, seperti perwakilan dari Papua yang menginginkan pelurusan sejarah duduk sama-sama dengan pihak Indonesia guna mencari solusi yang tepat.
Kawer setuju bahwa penggunaan pasal makar di Tanah Papua tidak akan memadamkan dan menyelesaikan akar persoalannya. Dialog menurutnya jadi pilihan yang tepat untuk penyelesaian persoalan di Papua.
“Jadi mesti ada pihak ketiga yang netral baru kita sama-sama cari solusi. Saya percaya melalui dialog itu bisa ditemukan jalan keluar yang terbaik untuk Papua, persoalan sejarah, persoalan pelanggaran HAM dan persoalan-persoalan lainnya juga,” kata Gustaf Kawer. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!