Wamena, Jubi – Ketegangan memuncak dalam Pilkada Serentak 2024 di Jayawijaya. Pada Kamis (5/12/2024), pleno rekapitulasi suara tingkat kabupaten berlangsung panas setelah Panitia Pemilihan Distrik (PPD) tak kunjung hadir. Padahal, pleno ini sangat krusial untuk menentukan hasil akhir pemilihan kepala daerah di wilayah tersebut.
Ketidakhadiran PPD memaksa Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua Pegunungan, Daniel Jingga, melontarkan ancaman yang tidak biasa: jemput paksa. Dengan waktu yang semakin menipis, opsi ini menjadi langkah terakhir untuk menyelamatkan tahapan rekapitulasi yang harus rampung pada 6 Desember 2024.
“Kalau mereka terus lambat seperti ini, kita jemput paksa saja,” ujar Jingga, dengan nada tegas bercampur kekhawatiran.
Pengambilalihan Wewenang KPU Jayawijaya
Dinamika Pilkada di Jayawijaya tidak hanya berkutat pada teknis penyelenggaraan, tetapi juga bayang-bayang krisis kepercayaan. Pada 2 Desember 2024, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan tiga komisioner KPU Jayawijaya: Silas Hubby, Maikel Walilo, dan Alminus Wuka. Keputusan ini membuat KPU Papua Pegunungan harus mengambil alih kendali pleno di Jayawijaya.
“Kami harus ambil alih karena putusan DKPP memberhentikan tiga komisioner KPU Jayawijaya. Tidak ada waktu untuk kosong,” ujar Jingga.
Namun, pengambilalihan ini tidak berarti mulus. Kekosongan komisioner membuat administrasi KPU Jayawijaya kacau, sementara di sisi lain, dinamika geografis dan logistik di Papua Pegunungan menjadi tantangan besar. Hingga pukul 16.00 WP, rapat pleno yang dijadwalkan mulai pukul 12.00 WP masih harus diskors karena 23 distrik belum menyerahkan rekapitulasi hasil suara.
“Kita tunggu sampai semuanya lengkap. Kalau tidak, kita tidak bisa mulai pleno,” kata Jingga, sebelum meninggalkan lokasi rapat di Kantor KPU Jayawijaya.

Jemput Paksa: Langkah Kontroversial atau Solusi Tak Terhindarkan?
Komisioner KPU Papua Pegunungan, Naftali Paweka, menegaskan bahwa tanpa dokumen lengkap dari distrik, pleno tidak dapat dimulai. Sementara itu, Niko Asso dari KPU Jayawijaya menyebut jemput paksa sebagai langkah darurat untuk mempercepat proses.
“Kami sudah turun ke lapangan untuk monitoring. Masalahnya, banyak PPD belum memindahkan data dari C hasil ke D hasil. Ini yang bikin lambat,” ungkap Asso.
Langkah ini memang mulai menunjukkan hasil. Hingga malam, 17 dari 40 distrik telah menyerahkan dokumen rekapitulasi. Namun, ketegangan tidak serta-merta mereda.
Ketua Bawaslu Jayawijaya, Hongko Gombo, mengingatkan pentingnya koordinasi antara KPU dan PPD agar pleno berjalan sesuai jadwal. “Kami baru menerima dokumen dari tiga distrik. Sisanya masih belum menyerahkan. Ini menghambat proses verifikasi,” ujarnya.
Spekulasi Pemberhentian Komisioner
Sorotan publik terhadap pemberhentian tiga komisioner KPU Jayawijaya oleh DKPP menambah kerumitan situasi. Meskipun alasan pemberhentian ini belum dijelaskan secara rinci, banyak pihak menduga adanya pelanggaran kode etik.
“Pemberhentian ini tidak boleh memengaruhi proses rekapitulasi. Kami harus fokus menyelesaikan tugas tepat waktu,” tegas Jingga.
Namun, pengambilalihan oleh KPU Papua Pegunungan menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, langkah ini memastikan keberlanjutan tahapan Pilkada, tetapi di sisi lain, menegaskan krisis kepercayaan terhadap penyelenggara di Jayawijaya.

Geografi dan Batas Waktu
Di tengah tantangan teknis dan administratif, faktor geografis menjadi tantangan yang tak kalah besar. Jayawijaya, dengan medan yang sulit diakses, membuat mobilitas antar distrik berjalan lambat.
“Dengan waktu yang terbatas, kami terus mengupayakan yang terbaik. Harapannya, pleno selesai tepat waktu,” kata Asso.
Namun, tekanan untuk menyelesaikan pleno sebelum 6 Desember 2024 terus membayangi. Ketua KPU Papua Pegunungan, Daniel Jingga, berusaha menjaga semangat timnya. “Kita harus bekerja serius dan memberikan yang terbaik untuk Papua Pegunungan,” katanya.
Harapan Demokrasi Papua Pegunungan
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Papua Pegunungan, Arianto Kogoya, mengingatkan semua pihak untuk menjaga integritas dan kedamaian dalam Pilkada.
“Kita percaya Pilkada harus aman dan damai. Nilai-nilai demokrasi harus dijunjung tinggi di Papua Pegunungan. Jangan sampai situasi ini dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin merusak,” ujarnya.
Antoni Ibra dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) turut mendukung langkah jemput paksa yang diambil KPU Jayawijaya. Ia menegaskan, badan ad hoc penyelenggara Pilkada seharusnya sudah memahami pentingnya jadwal yang ketat.
“Pertimbangan apa sampai hasil rekapitulasi masih ditahan PPD? Semua ini sudah terjadwal dan harus diikuti,” tutup Ibra. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!