Jayapura, Jubi – Pemerintah Indonesia di Jakarta diminta agar memperhatikan hak-hak dasar orang asli Papua atau OAP. Permintaan ini diserukan dalam aksi yang digelar di gedung KPU RI dan Kemenkumham RI, Kamis (6/6/2024).
Aksi serempak itu digelar oleh 24 organisasi mahasiswa Papua, baik dari organisasi intra kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), maupun organisasi luar kampus seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), serta sejumlah organisasi dan forum lainnya dari Tanah Papua.
Seorang peserta aksi, Bram Atanay, seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Jubi di Jayapura, Papua, Kamis (6/6/2024) mengatakan, pemerintah pusat sering menggunakan klaim bahwa segala kebijakan istana adalah demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam kasus Papua, seolah-olah segala masalah terkait Papua hanya berasal dari ancaman terhadap persatuan Indonesia.
“Salah satu akar masalahnya lebih berasal dari pola pikir yang keliru dan kebijakan yang inkonsisten,” kata Atanay.
Bram Atanay menambahkan, selama ini Pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan koersif untuk mempertahankan integrasi Papua dalam wilayah NKRI.
“Wilayah serta kekayaan alamnya diutamakan, tetapi manusianya dikesampingkan,” ujar Bram.
Menurut Bram Atanay, mengutamakan kekayaan alam tapi mengesampingkan manusia Papua, justru mengakibatkan banyak pelanggaran HAM dan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) dan disahkannya RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) bagi Provinsi Papua.
Peserta aksi lainnya, Alfred Pabika menjelaskan UU No 2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No 21/2001 itu sudah diundang-undangkan pada 19 Juli 2021. Dalam pembahasan revisi itu, pemerintah pusat tidak melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua secara memadai. Bahkan protes penolakan ditangani secara koersif.
Padahal, kata Pabika, UUD 1945 pasal 18B ayat (1) dan (2) dalam penjelasan umum UU 21/2001 secara tegas disebutkan, bahwa UU Otsus Papua salah satunya untuk mendorong orang asli Papua, untuk terlibat, baik dalam pemikiran, maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua.
“Dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya,” kata Pabika.
Alfred Pabika berkata, penjelasan umum UU 21/2001 tersebut dengan tegas menunjukkan adanya kebijakan afirmatif (affirmative action policy), yakni pengistimewaan untuk sementara waktu, untuk memberikan peluang kepada masyarakat asli Papua.
Penerapan kebijakan Otonomi Khusus atau Otsus selama 20 tahun berjalan ini, nilainya, belum sepenuhnya mencerminkan pemenuhan dan penghormatan HAK di Provinsi Papua.
Ketika UU Otsus disahkan, Pabika berkesimpulan bahwa undang-undang itu berlaku di tingkat provinsi saja. Terlihat standar ganda, bahwa pemerintah kabupaten/kota dapat melaksanakan perdasi (peraturan daerah provinsi) dan perdasus (peraturan daerah khusus), tetapi juga dapat melaksanakan undang-undang sektoral lainnya.
“Namun perlu digarisbawahi juga bahwa di tingkat provinsi juga terdapat standar ganda dalam pengelolaan pemerintahan, yaitu mengacu kepada UU Otsus, maupun kepada undang-undang lainnya,” kata Pabika lagi.
Putusan MK dan UU Nomor 2 tahun 2021
Peserta aksi di Jakarta itu juga menyoroti Putusan MK dan UU Nomor 2 tahun 2021. Dalam Putusan MKRI Nomor 34/PUU-XÌV/2016, ketika Pimpinan MRP dan Anggota MRP, Hofni Simbiak dan Roberth Wanggai serta Benyamin Wayangkau, menguji UU Otsus guna menambah pasal dalam UU Otsus Papua bahwa Bupati Wakil Bupati, Walikota Wakil Walikota, harus orang asli Papua, Mahkamah Pendapat, menyebutkan bahwa Otsus yang berlaku di provinsi bukan di kabupaten/kota dan dalam amar putusannya menyebutkan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
Seiring dengan perubahan undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 menjadi undang-undang nomor 2 tahun 2021, maka telah terjadi perubahan dalam pengelolaan pemerintahan. Dengan adanya turunan dari UU Nomor 2 tahun 2021 telah disusun yang disebut peraturan pemerintah nomor 106 tahun 2021.
Dalam peraturan pemerintah nomor 106 tahun 2021 dapat kita. lihat terdapat pembagian kewenangan antara pemerintah provinsi dan Kabupaten, ada DPRP dan DPRK, Dana Otsus langsung masuk rekening Kabupaten/Kota, artinya otsus berlaku juga di Kabupaten/kota, titik berat ataupun prioritas dan Dalam melaksanakan pembangunan adalah kepada orang asli Papua.
Dengan dasar pemikiran tersebut di atas, maka sangatlah realistis bila hari ini terdapat tuntutan, agar bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota dijabat oleh orang asli Papua, agar dengan sungguh-sungguh melaksanakan amanat UU No 2 tahun 2021, Peraturan Pemerintahan nomor 106 tahun 2021, yang mana, titik beratnya adalah kepada orang asli Papua.
Peserta aksi lainnya, Jery Daby mengatakan, hanya anak negeri yang dapat merusak dan membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Tanah Papua. Maka wajar bila pimpinan daerah harus dijabat oleh orang asli Papua.
Tuntutan
Puluhan organisasi mahasiswa dan sipil yang berunjuk rasa di Jakarta itu kemudian mendesak beberapa hal kepada Direktorat Jenderal Perundang-Undangan Cq. Kementerian Hukum dan Ham, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU), dan Presiden Republik Indonesia.
- Menetapkan pemilihan kepala daerah se-Tanah Papua wajib orang asli Papua;
- Menetapkan Keppres penambahan pasal dalam UU Otsus Papua bahwa Bupati Wakil Bupati, Walikota Wakil Walikota, harus Orang Asli Papua;
- Mendesak KPU RI agar merevisi KPKPU secara terpisah untuk menetapkan secara administrasi pencalonan kepala daerah se-tanah papua wajib diisi oleh asli orang Papua;
- Mendesak KPU RI agar menerbitkan PKPU baru yang mengakomodir secara tegas pengaturan hak politik orang asli papua yang tersurat maupun tersirat dalam UU No 21 tahun 2001 Jo UU No 2 tahun 2021;
- Mendesak Ketua KPU RI ketua KPU provinsi dan ketua KPU Kabupaten Kota Se-tanah papua agar dapat memfasilitasi guna menyampaikan sebagaimana diktum ke-1 kepada pimpinan partai politik sebagai wujud keberpihakan kepada masyarakat orang asli Papua;
- Mendesak kepada Dirjen Perundang-undangan cq, Menteri Kemenkumham untuk menerbitkan rancangan peraturan undang-undang yang menjamin hak-hak politik orang asli Papua;
- Mendesak semua Ketua Umum Partai Politik agar memberikan rekomendasi Parpol kepada pasangan calon yang dua duanya khusus. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!