Jayapura, Jubi – Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menggelar diskusi dan peluncuran buku Catatan Akhir Tahun 2023 di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta, Rabu (6/3/2024). Diskusi membahas tema ‘Tetap Berlawan pada rezim hukum pembangunan ekstraksi di Tanah Papua’.
Acara yang juga disiarkan secara live itu menampilkan dua pemapar dari Pusaka, yaitu Dorthea Wabiser dan MA Mahruz. Sedangkan penanggap adalah Fatia Maulidiyanti, Profesor Cahyo Pamungkas dan Hendro Sangkoyo.
Menurut MA Mahruz dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat penerapan hukum di Papua adalah hukum pembangunan.
“Kalau kita cek naskah akademik UU Cipta Kerja, kita akan menemukan bahwa penggunaan rezim hukum dalam mendesain UU Cipta Kerja itu nyata,” katanya.
Ia menjelaskan tentang rezim hukum. Rezim hukum itu sesuatu yang disiapkan untuk melancarkan arus modal di seluruh dunia. Di Indonesia rezim hukum dimulai dari 1960-an dan 1970-an sampai sekarang.
“Celakanya di Indonesia itu diresapi secara baik oleh rezim negara dan itu digunakan secara baik pula,” ujarnya.
Ia mencontohkan kasus di Tanah Papua di mana Otsus diberlakukan. Undang-Undang Otonomi Khusus atau Otsus, khusus Daerah Otonomi Baru (DOB) diatur sedemikian rupa sehingga dapat memperlancar kemauan Jakarta. DOB ini dijalankan dengan kekuatan yang memaksa.
“Di mana aparat negara, tokoh adat atau lembaga adat bentukan negara yang membuat kuasa negara terus awet di Papua,” ujarnya.
Kemudian, kata Mahruz, ada juga legitimasi moral dan klaim. Misalnya pemerintah pusat mengatakan mereka sudah sangat serius melakukan pembangunan, kesejahteraan, dan DOB dalam Otsus.
Berikut menurut Mahruz adalah kriminalisasi dan bekerjanya rezim hukum rasis. Jika diamati pada 2019 di Papua, lanjutnya, dibuat rezim hukum untuk mengakui hak masyarakat adat, tapi di sisi lain ada rezim hukum yang dibuat juga untuk mempercepat eksploitasi atas tanah adat.
Ia mengatakan negaranisasi di Tanah Papua adalah hukum sebagai arena kontestasi yang tak netral, di mana pengakuan wilayah adat, hutan desa, hak pengelolaan, pengusulan hutan adat, pengusahaan perkebunan dan kehutanan, bisa ditemukan satu izin yang bisa melegalkan.
Suatu perusahaan, lanjutnya, bisa melakukan banyak usaha di hutan. Bisa kayu, bisa jasa lingkungan, bisa karbon, bisa madu, dan lainnya.
“Ada kutipan dari jenderal Orde Baru Ali Murtopo, ‘Jakarta tidak tertarik dengan orang Papua, yang membuat Jakarta tertarik adalah tanah dan sumber daya alamnya’,” kata Mahruz.
Apakah kutipan ucapan Ali Martopo itu masih relevan? “Kita bisa melihat hal itu dari beberapa perusahaan yang memiliki dan sedang mengurusi izin baru PBPH Multi Usaha Kehutanan,” ujarnya.
Mahruz membeberkan contoh perusahaan yang mengurus izin baru PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) di Tanah Papua, yaitu Alamindo Bumi Hijau Group, terdiri dari empat anak perusahaan, di antaranya Indo Hutan Ekosistem Group dan Khatulistiwa Hijau Lestari Jaya Group. Total ada 14 anak perusahaan.
“Rezim hukum itu masih menggunakan watak yang rasis terhadap Papua dan itu tertuang dalam pasal-pasal, seperti Pasal 151 (3) PP 23/2021 dan Pasal 97 Permenlhk dengan batasan luasan 100.000 hektare untuk Papua. Kemudian Pasal 150 dengan jangka waktu penguasaan 90 tahun,” ujarnya.
Terakhir, kata Mahruz adalah resolusi konflik palsu kemitraan kehutanan dengan perusahaan PBPH, yaitu kerja sama dengan membentuk koperasi masyarakat Pasal 123 PermenLHK.
Aktivis HAM Fatia Maulidiyanti yang menanggapi uraian Mahruz mengatakan tidak ada dampak positif pembangunan bagi masyarakat Papua. Sebab agenda-agenda pembangunan di Tanah Papua itu tidak pernah diagendakan atau direncanakan bersama dengan orang-orang Papua.
“Pada akhirnya agenda-agenda tersebut lebih cenderung kepada kepentingan dari pemerintah pusat,” ujarnya.
Dampak-dampak yang diberikan karena kepentingan dari pusat itu, menurut Fatia, pada akhirnya menimbulkan berbagai macam konflik HAM dan bagaimana isu-isu ekologis di Papua itu terjadi.
“Berikut kita bisa lihat bagaimana perdebatan capres dan cawapres mengenai Papua, itu sama sekali tidak menyentuh akar persoalan di Tanah Papua,” katanya.
Persoalan di Papua menurut Fatia adalah militerisme, di mana hal ini menjadi masalah serius karena masyarakat sipil banyak yang menjadi korban. “Contoh kasus di Intan Jaya terdapat 3.000 pasukan yang diturunkan untuk menghadapi 14 orang pasukan TPNBP,” katanya.
Pemerhati dan Aktivis Lingkungan Hendro Sangkoyo mengatakan Catatan Akhir Tahun mengenai Papua yang disusun oleh Pusaka Belantara Rakyat itu berupa laporan kesaksian siksaan terhadap orang Papua.
“Catatan ini menggambarkan versi terburuk dari kemanusiaan, di mana orang Papua hidup di bawah bayang-bayang kebengisan yang terorganisir, menyerbu dari berbagai arah,” katanya.
Berikutnya dari catatan itu, kata Hendro, tersirat pertanyaan yang genting, ‘Apakah Papua sekarang dalam tanda kutip adalah sebuah alamat geografis dari belahan barat pulau besar New Guinea yang kebetulan mendapatkan perlakuan khusus walaupun sama menjadi objek industri bongkar keruk seperti pulau lainnya.
“Ataukah Papua adalah proyek kolonialisme raksasa yang mempertautkan ruang hidup orang Papua dengan ladang-ladang ekstraktivisme di seluruh kepulauan,” ujarnya.
Menurut Hendro Papua juga mengalami politik apartheid atau sistem pemisahan ras seperti yang terjadi di Afrika Selatan. (*)