Jayapura, Jubi – Aktivis Hak Asasi Manusia atau HAM di Papua, Theo Hesegem, menilai upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Wamena 2003 secara non-Yudisial diragukan dan akan kembali buntu.
Hal itu dikatakan Theo Hesegem menyusul Presiden Joko Widodo mengumumkan terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat termasuk kasus Wasior dan Wamena di tahun 2003, hasil laporan tim Penyelesaian non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM).
Menurut Theo Hesegem, sejak tim PPHAM dibentuk keluarga korban telah menolak dengan tegas untuk penyelesaian secara non-Yudisial. Karena, keluarga korban menginginkan diselesaikan melibatkan pihak ketiga, termasuk dipublikasi oleh media atas peliputan kasus dugaan pelanggaran HAM yang dimaksud.
“Apakah rekomendasi yang disampaikan oleh tim PPHAM seperti apa secara pribadi belum tahu. Artinya, hasil rekomendasi yang sudah disampaikan kepada Presiden, menurut saya keluarga korban dari kasus Wamena itu bentuk rekomendasinya yang disampaikan ke Presiden seperti apa,” kata Hesegem saat dihubungi, Jumat (13/1/2023).
Seperti apa nantinya penyelesaiannya, kata Hesegem, jika berkaca pengalaman buruk yang terjadi atas kasus pelanggaran HAM secara yudisial seperti apa yang terjadi pada kasus Paniai tidak adanya keadilan bagi keluarga korban.
Sedangkan untuk yang non-Yudisial, pemerintah mempunyai niat ingin menyelesaikan beberapa kasus. Jika di daerah lain di Indonesia mungkin bisa terselesaikan, namun kata Theo di Papua akan sulit.
“Jika Wasior terkait dengan perusahaan, sedangkan di Wamena terkait dengan politik. Jadi apakah nanti ada kaitan dengan politik atau tidak, saya tidak tahu. Tetapi saya yakin pasti tim akan menolak itu, sekalipun Presiden menyampaikan rekomendasi untuk menyelesaikan dengan non-yudisial dengan berbagai cara, tetapi kalau keluarga korban sudah menolak dari awal, pasti tetap menolak,” katanya.
Ia juga menilai pemerintah pusat pernah mengatakan akan membentuk tim di daerah sebagai perpanjang tangan tim PPHAM, namun hingga kini belum terbentuk padahal rekomendasi telah disampaikan.
“Jadi saya pikir harapannya perlu membentuk tim daerah. Karena kalau dari Jakarta langsung mau turun menemui korban tidak mungkin, dimana kondisi daerah harus diketahui oleh tim daerah,” katanya.
Sementara itu, korban sekaligus saksi pelanggaran HAM Wamena 4 April 2003, Linus Hiluka, menghargai Presiden Republik Indonesia telah mengakui kesalahannya terhadap pelanggaran HAM yang terjadi dan telah menyesalinya.
Namun, ia merasa jika kasus Wamena 2003 ingin ditindaklanjuti lagi dianggapnya sudah terlambat karena tidak akan ada titik temu antara pelaku dan korban, dalam hal ini Indonesia dan Papua.
“Dari 12 kasus yang diumumkan Presiden itu kan berbeda-beda kasusnya. Jika Wasior soal ekonomi sedangkan Wamena ini murni unsur politik. Sehingga kami minta untuk ada orang tengah, dalam hal ini Komisi HAM PBB untuk memediasi, karena upaya baik secara Yudisial maupun non-Yudisial korban dan keluarga sudah menolak dengan tegas,” katanya. (*)
