Jayapura, Jubi – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay mendesak Kapolda Papua dan Komnas HAM Republik Indonesia, segera lakukan proses hukum pelaku pembunuhan dan penyalahgunaan senjata api serta dugaan pelanggaran HAM berat terhadap masyarakat sipil, dalam kerusuhan di Wamena. sebab pembayaran denda tindak dapat menghapuskan kewenangan penuntutan secara pidana atas kerusuhan yang terjadi pada 23 Februari 2023.
Insiden di wamena bermula dari kasus dugaan penculikan anak yang berujung terjadinya konflik atau kerusuhan pada tanggal 23 Februari 2023, yang menelan korban jiwa dan korban raga serta korban harta benda di Wamena. Menurutnya itu merupakan salah satu kasus yang telah mengusik nilai kemanusiaan. 10 orang warga meninggal dunia, 23 orang warga terluka serta ada 18 anggota TNI-Polri yang terluka.Ada pula 13 unit rumah dan dua ruko dibakar massa.
“Sebanyak 10 orang warga sipil yang meninggal dunia dalam kerusuhan di Wamena pada tanggal 23 Februari 2023 telah dilakukan pembayaran denda, juga secara hukum tidak dapat menghapus kewenangan penuntutan pidana. Sebab berdasarkan teori hukum pidana, hapusnya kewenangan menuntut pidana, apabila perkara yang sudah diproses dan diproses kembali (Pasal 76 KUHP), pelakunya meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) kedaluwarsa atau masa penuntutannya berakhir (Pasal 78 KUHP),” tulis Gobay dalam siaran pers yang diterima Jubi, Jumat (3/3/2023).
Gobay mengatakan, melalui fakta pembayaran denda dalam kasus kerusuhan di Wamena pada tanggal 23 Februari 2023, tidak membenarkan memberlakukan Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative justice).
“Dalam penyelesaian perkara pidana karena tindak kesalahan pelaku relatif tidak berat dan tidak menjadi syarat hapusnya kewenangan menuntut pidana atas kasus penembakan dan atau pembunuhan, atau dugaan pelanggaran HAM Berat terhadap 10 orang warga sipil yang meninggal dunia di Wamena,”katanya.
Gobay mengatakan, amuk masa dan penembakan , jika dikaji secara hukum maka akan ditemukan beberapa fakta pelanggaran hukum.
“Fakta adanya kasus dugaan penculikan anak sebagaimana diatur pada Pasal Pasal 76F Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kasus dugaan penyalahgunaan senjata api sebagaimana diatur dalam Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, kasus dugaan tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana diatur pada Pasal 340 KUHP, kasus dugaan tindak pidana pembunuhan sebagaimana diatur pada Pasal 338 KUHP, kasus dugaan tindak pidana pengeroyokan dan pengrusakan sebagaimana diatur pada Pasal 170 KUHP, kasus dugaan tindak pidana lainnya dan bahkan ada indikasi dugaan pelanggaran HAM Berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur pada Pasal 9 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” katanya.
Gobay mengatakan, berdasarkan fakta pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus konflik atau kerusuhan pada tanggal 23 Februari 2023 di atas menunjukan beberapa objek korban baik korban jiwa, korban raga dan benda benda. Dari fakta objek korban diatas tentunya tidak dapat disamakan sebab semua objek memiliki kualitas yang berbeda-beda.
“Atas dasar itu maka sangat tidak logis jika objek korban benda disamakan dengan objek korban raga (badan) begitu pula objek korban harta benda dan objek korban raga disamakan dengan objek korban jiwa,” katanya.
Gobay mengatakan, dalam penyelesaian fakta pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus konflik atau kerusuhan pada 23 Februari 2023, tidak dibenarkan secara hukum untuk menggunakan satu metode penyelesaian perkara.
Karena melanggar hak atas keadilan bagi korban yang dijamin dalam ketentuan, “setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar, sebagaimana diatur pada pasal 17, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang melindungi korban.
“Secara hukum tidak dibenarkan jika diselesaikan menggunakan Mekanisme Kekeluargaan atau Mediasi atau Restorative Justice sebab kasus penyalahgunaan senjata api dan tindak pidana pembunuhan atau dugaan pelanggaran HAM Berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami oleh 10 orang warga sipil yang meninggal dunia merupakan tindakan kesalahan pelaku yang sangat berat. Sehingga jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan “tindak kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan (schuld) atau mens rea dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk)” sebagaimana diatur pada Pasal 3 huruf a, angka 4, huruf a, angka 1, Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perkara pidana,”katanya.
Gobay mengatakan, prinsipnya menurut hukum pidana “perdamaian tidak menghapus tindak pidana yang terjadi, perdamaian hanyalah akan memberikan keringanan bagi putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim di pengadilan”.
Dengan demikian tidak ada seorang pun selain hakim dengan alasan apa pun, dapat menjadikan perdamaian ataupun pembayaran denda sebagai dasar pijakan untuk menghentikan proses penegakan hukum atas kasus penembakan dan atau pembunuhan atau dugaan pelanggaran HAM Berat terhadap 10 orang warga sipil yang meninggal dunia dalam kerusuhan di Wamena pada tanggal 23 Februari 2023.
“Atas dasar itu, ditegakkan kepada siapapun untuk tidak menyalahgunakan mekanisme penyelesaian adat sebagai media untuk membungkam penegakan hukum menggunakan mekanisme yang telah diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan atau Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juncto Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berlaku di Indonesia dan bahkan berusaha untuk melindungi pelaku dari jeratan hukum yang justru akan menambah deretan panjang fakta impunitas di wilayah Papua khususnya di Wamena,”katanya.
Gobay mengatakan, tujuan penegakan hukum pidana adalah mencegah dan menanggulangi kejahatan, memperbaiki si pelaku kejahatan untuk kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna, mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan sewenang-wenang di luar hukum (tidak manusiawi) dan menyelesaikan konflik serta memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, sebagaimana dikutip dari buku Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan,(Badan Penerbit Universitas Diponegoro,Semarang 2009, hal, 45-46).
“Mekanisme pembayaran denda tidak mungkin akan mencapai 4 (empat) tujuan penegakan hukum pidana di atas. Berdasarkan pada ketentuan “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar” sebagaimana diatur pada pasal 17, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
untuk itu LBH Papua menggunakan kewenangan sesuai Pasal 100, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan kepada, Kapolri, segera perintahkan Kapolda Papua lakukan penegakan hukum atas kasus dugaan pembunuhan dan penyalahgunaan senjata api yang menewaskan 10 orang masyarakat Sipil di Wamena, dengan prinsip pembayaran denda tidak menghapus kewenangan menuntut secara pidana.
Pihaknya juga mendesak Ketua Komnas HAM Republik Indonesia, segera membentuk tim investigasi untuk melakukan penyelidikan atas dugaan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Kasus Kerusuhan di Wamena sesuai perintah Pasal 89 ayat (3) huruf b, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban segera melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban atas kasus dugaan tindak pidana pembunuhan dan penyalahgunaan senjata api yang menewaskan 10 orang masyarakat sipil di Wamena,”katanya.
Pihaknya juga mendesak kepada Ketua DPRD Kabupaten Jayawijaya segera bentuk Panitia Khusus Kemanusiaan untuk mendorong penegakan hukum atas kasus dugaan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai perintah Pasal 89 ayat (3) huruf b, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (*)