Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Republik Indonesia telah mengeluarkan hasil dari pemantauan, temuan faktual, kesimpulan dan rekomendasi dari hasil investigasi yang dilakukan terhadap kasus rusuh Sinakma, Wamena, Jayawijaya, Papua Pegunungan pada 23 Februari 2023.
Dalam jumpa pers Komnas HAM RI, Kamis (6/4/2023) melalui siaran dalam jaringan atau online yang dihadiri Ketua, Atnike Nova Sigiro dan koordinator sub Komisi Penegakan HAM, Uli Parulian Sihombing dan staf lainya. Pada kesempatan itu disampaikan sejumlah kesimpulan.
Pertama, penyebaran informasi mengenai penculikan anak beredar luas di berbagai media. Dalam kurun waktu 1 Januari-31 Maret 2023 telah terjadi delapan peristiwa yang dipicu oleh adanya informasi penculikan anak, yaitu di antaranya terjadi di Kabupaten Sorong, Jayapura, Sarmi, Keerom, Wamena dan Yalimo.
Kedua, dugaan terkait adanya kasus penculikan anak di Wamena pada 23 Februari 2023 adalah tidak benar terjadi. Kondisi yang sesungguhnya terjadi adalah kesalahpahaman BK atas pernyataan LM.
Ketiga, peristiwa kerusuhan pada 23 Februari 2023 di Wamena dipicu oleh adanya disinformasi terkait penculikan anak yang menimbulkan kemarahan secara meluas. Karena tidak terpenuhinya tuntutan massa untuk menghakimi terduga pelaku penculikan anak secara massal.
Keempat, anggota Polres Jayawijaya, Brimob Satgas Damai Cartenz dan Batalyon D Kompi 4 melakukan pengendalian massa dan melibatkan anggota TNI dari Kodim 1702/Jayawijaya dan Batalyon Infanteri 756/ Wimane Sili.
Kelima, terdapat penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) dalam upaya pengendalian massa anggota Polri dan TNI. Akibatnya 9 warga tertembak dan meninggal dunia serta puluhan lainnya terluka.
Keenam, dampak kerusuhan Wamena menyebabkan 11 orang meninggal dunia, 58 orang mengalami luka-luka, 920 orang mengungsi ke Kodim 1702/Jayawijaya serta kerugian materiil lainnya, yaitu terbakar atau rusaknya sejumlah rumah tinggal, ruko, kios dan kendaraan bermotor.
Ketujuh, berdasarkan bukti medis terhadap jenazah 9 (sembilan) korban masyarakat asli Papua, patut diduga bahwa 9 masyarakat asli Papua yang meninggal dunia disebabkan karena tembakan senjata api. Karakter luka-luka di tubuh korban menunjukan adanya luka masuk dan luka keluar seperti tembakan senjata api pada umumnya. Sedangkan 2 (dua) orang warga pendatang yang meninggal dunia diduga kuat akibat senjata tajam (busur-panah dan parang).
Kedelapan, sejumlah anggota Polri dan TNI mengalami luka yang diduga akibat anak panah dan lemparan batu dan ada pula yang mengalami memar dan pembengkakan.
Kesembilan, latar belakang penyebab kerusuhan ini tidak hanya dipicu oleh adanya disinformasi penculikan anak semata tetapi juga berhubungan dengan akar masalah yaitu adanya sentimen antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat pendatang dan sentimen ekonomi mengenai proteksi dan pemberdayaan hak-hak masyarakat asli Papua dalam berbagai bidang kehidupan sesuai semangat affirmative action.
Kesepuluh, peran penjabat Gubernur Provinsi Papua Pegunungan belum sepenuhnya optimal, dalam konteks pembinaan dan pengawasan terhadap para Bupati dalam upaya pemulihan kondisi pasca kerusuhan.
Sebelas, penggunaan kekuatan berlebih (excessive use of force) dalam pengendalian massa yang menimbulkan korban jiwa adalah bagian dari pelanggaran HAM.
Kesimplaan keduabelas ialah terdapat sejumlah pelanggaran HAM atas kasus kerusuhan Wamena yaitu, pelanggaran hak hidup, hak atas rasa aman, hak memperoleh keadilan, hak atas kesejahteraan dan hak anak. (*)