Jayapura, Jubi – Pemerintah Republik Indonesia melalui aparat keamanan diminta untuk berhenti menyakiti perasaan warga di Papua dengan berhenti membunuh orang Papua, pemerintah harus mengevaluasi dan mengakhiri pendekatan keamanan di Papua yang selalu menimbulkan korban jiwa terutama rakyat sipil.
Hal itu disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Hussein Ahmad dalam siaran pers yang diterima Jubi, Jumat (3/3/2023).
Hussein Ahmad mengatakan, penggunaan kekuatan berlebihan terutama di Papua selama ini memperkuat cermin pendekatan keamanan yang dilakukan Pemerintah di Papua.
“Kami perlu ingatkan kembali bahwa status darurat militer dan daerah operasi militer di Papua sejak awal Reformasi telah dicabut dan oleh karena itu penanganan massa secara koersif di tengah-tengah sipil harus dihindari,” katanya.
Hussein Ahmad mengatakan, dari data yang dihimpun oleh koalisi bahwasannya insiden amuk massa pada 23 Februari 2023 yang terjadi di Wamena menyebabkan hilangnya setidaknya 12 nyawa oleh aparat keamanan menggunakan kekuatan berlebihan yang menggunakan peluru tajam ke arah massa hingga terjadi korban jiwa.
“Kami organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Koalisi Kemanusiaan untuk Papua dan Koalisi Honai untuk Papua menyampaikan, belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada keluarga korban sekaligus berharap pengungkapan terhadap kebenaran benar-benar dilakukan,” katanya.
Hussein Ahmad memandang dalam peristiwa yang menyebabkan jatuhnya 12 korban tersebut telah terjadi penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) oleh aparat keamanan saat mengendalikan kerusuhan.
“Penggunaan senjata api dalam penanganan massa memang dimungkinkan, akan tetapi penggunaannya seharusnya dilakukan secara ketat dengan tetap memperhatikan faktor keselamatan dan standar operasional yang berlaku,” katanya.
Husein mengatakan, negara Indonesia harus belajar dari peristiwa pada 2019 yang menentang tindakan rasisme aparat keamanan di Surabaya dimana jatuhnya korban jiwa dalam penanganan massa sebelumnya juga terjadi di beberapa wilayah di Papua.
“Dalam peristiwa itu, puluhan orang meninggal dunia,” katanya.
Husein mengatakan, jauh sebelum itu juga pada tahun 1998 terjadi penggunaan kekuatan berlebihan yang mengarah pada pelanggaran ham yang berat, yakni kasus Biak Berdarah yang menewaskan 8 orang meninggal dunia.
“Ironisnya, kendati penembakan terhadap warga sipil terus terjadi dalam penanganan massa di Papua, hingga saat ini tidak langkah konkrit aparat keamanan, bahkan erkesan enggan dalam memutus spiral kekerasan tersebut,” katanya.
Sementara itu Fadhil Alfathan, pengacara publik LBH Jakarta menyatakan peristiwa kerusuhan yang terjadi seharusnya dipandang oleh aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian sebagai pelanggaran hukum dan direspons dengan penegakan hukum.
“Dalam konteks ini sudah seharusnya apabila ada orang yang diduga melakukan kerusuhan seharusnya dinilai sebagai pelanggaran hukum sehingga harus direspons dengan penegakan hukum (penangkapan) dan bukan malah menembak (eksekusi),” katanya.
Fadhil Alfathan mengatakan, negara berkewajiban untuk melindungi hak setiap orang yang diduga melakukan pelanggaran hukum agar dapat membela diri dalam suatu proses peradilan pidana yang jujur dan adil (the right to a fair trial).
“Penembakan terhadap kerumunan massa dalam kerusuhan ini dengan dalih mengurai/membubarkan kerusuhan justru kontraproduktif dan menunjukkan abainya negara dalam menjamin hak tersebut,” katanya.
Fadhil Alfathan mengatakan, setiap penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh aparat keamanan, wajib berpegangan pada prinsip-prinsip umum yang diakui secara internasional sebagaimana Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement (CCLEO) dan UN Basic Principle on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials (BPUFF).
“Dalam ketentuan tersebut, penggunaan senjata api merupakan alternatif terakhir dengan tujuan melindungi nyawa manusia (the “protect-life”-principle), serta harus dapat diuji berdasarkan empat prinsip, yakni legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.
Di Indonesia, terdapat pula beberapa ketentuan yang telah mengadopsi prinsip-prinsip penggunaan kekuatan yang diakui secara internasional.
“Khususnya ketentuan internal Polri seperti Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian,” katanya.
Fadhil Alfathan mengatakan, dengan jatuhnya belasan korban jiwa dengan mayoritas korban mengalami luka tembak oleh aparat keamanan dengan senjata yang mematikan dalam kerusuhan ini bukan hanya sekadar pelanggaran hukum biasa, melainkan sudah mengarah ke level yang lebih serius, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 dan Pasal 9 UU 26/2000.
“Kami menilai bahwa pelanggaran ini sudah sepatutnya direspons secara aktif oleh Komnas HAM RI untuk memastikan terpenuhi atau tidaknya unsur pelanggaran HAM berat tersebut,” katanya.
Fadhil Alfathan mengatakan, peristiwa Wamena hanya salah satu dari sekian banyak peristiwa penanganan konflik di Papua yang menimbulkan korban jiwa.
“Kami menilai bahwa pendekatan keamanan terlebih dengan penggunaan kekuatan berlebih hanya akan meningkatkan eskalasi pelanggaran HAM. Kami mendesak kepada Pemerintah Indonesia harus mengevaluasi dan menghentikan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan setiap konflik yang terjadi di Papua,” katanya.
Fadhil Alfathan mengatakan, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar presiden memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk melakukan pemeriksaan secara profesional, transparan, dan akuntabel terhadap anggota yang diduga terlibat dalam kasus ini.
“Presiden menghentikan pendekatan keamanan yang selama ini dijalankan pemerintah di Papua sehingga memutus spiral kekerasan yang terjadi,” katanya.
Fadhil Alfathan mengatakan, Lembaga negara independen (Komnas HAM, Ombudsman RI, Kompolnas, dll) secara aktif melakukan pemeriksaan dalam kasus ini sesuai cakupan wewenangnya.
“Komnas HAM melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam kasus ini,” katanya.
Fadhil Alfathan mengatakan, Kapolri segera melakukan evaluasi total penggunaan kekuatan dalam tugas-tugas pemolisian.
“Kami meminta Presiden membentuk tim independen dengan keterwakilan masyarakat sipil yang memadai untuk melakukan kajian evaluatif tentang penggunaan kekuatan kepolisian dan eksesnya terhadap keamanan warga negara,” katanya.
Fadhil Alfathan mengatakan, presiden dan DPR segera mendorong agenda konkret reformasi kepolisian berkelanjutan secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan kerja-kerja kepolisian yang profesional, transparan, dan akuntabel. (*)