Jayapura, Jubi- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bali meminta pemerintah Indonesia menggelar referendum atau penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Sebab selama ini masyarakat Papua dinilai hidup dalam marginalisasi, penuh penderitaan serta tidak bebas bersama Indonesia.
Dalam siaran pers AMP Komite Kota Bali, menyatakan dalam catatan sejarah bangsa Papua dipaksakan untuk bergabung bersama Indonesia. Proses pemaksaan itu dilakukan dengan cara diantaranya operasi Tri Komando Rakyat atau Trikora pada 19 Desember 1961, perjanjian New York Agreement pada 15 Agustus 1962 dan Penentuan Pendapatan Rakyat atau Pepera pada Juli hingga Agustus 1969.
“Secara sepihak Indonesia mengklaim dengan dalil Papua merupakan bekas jajahan Hindia Belanda [sehingga menjadi bagian dari Indonesia],” kata Ketua AMP Komite Kota Bali, Herry Meaga dalam rilis pers yang diterima Jubi, pada Sabtu malam (1/4/2023) .
Meaga menyatakan Pemerintah Indonesia, melalui Presiden Megawati saat itu memberikan Undang-Undang Otonomi Khusus sebagai obat luka masyarakat Papua akibat penindasan. Menjanjikan kedaulatan bagi rakyat West Papua yang termarjinalisasi, hingga mengakomodasi kehadiran partai politik lokal. Namun nyata jaminan dalam undang-undang otonomi khusus itu nyatanya tidak mengobati luka orang Papua tetapi terbantah dengan adanya pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua Theys Eluay pada 2001.
“Selama 20 tahun Otsus diterapkan tanpa memperhatikan mekanisme demokrasi yang sejati. Lembaga-lembaga pemerintahan lokal menjadi sasaran campur tangan dan pengawasan pemerintah pusat,” ujarnya.
Meaga menyatakan kebebasan ekspresi di Tanah Papua juga semakin buruk. Ia menyatakan pada 2020 organisasi-organisasi masyarakat sipil dan aktivis politik mengorganisasi penolakan perpanjangan UU Otsus dan penolakan pembentukan provinsi baru di Tanah Papua. Meaga menyatakan penolakan itu dihadapi pemerintah Indonesia dengan cara melakukan pembubaran paksa, penembakan penangkapan terhadap masyarakat Papua.
“Pada September 2020 misalnya, ribuan rakyat di Yahukimo, Wamena, Dogiyai, Deiyai, Sorong, Merauke, Kaimana, Nabire, Manokwari, dan daerah lain di Papua melakukan aksi serentak dengan tuntutan umum pokok “Tolak Otsus Jilid II, Tolak Pemekaran, dan Segera Berikan Referendum bagi Papua” namun yang terjadi adalah penangkapan, pemukulan, bahkan berujung pada pembunuhan terhadap massa aksi,” katanya.
Meaga menyatakan pemerintah Indonesia juga menangkap sejumlah aktivis Papua yang terlibat dalam demonstrasi anti rasisme dengan dalil makar, misalnya yang terjadi kepada Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, Viktor Yeimo. Ia juga menyatakan pembentukan Provinsi baru yakni, Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, Provinsi Papua Selatan, dan Provinsi Papua Pegunungan hanya untuk mengirim memperbanyak pasukan keamanan dan mengeruk sumber daya alam Papua. Namun, rentetan kekerasan pelanggaran HAM terus dibiarkan terjadi di tanah Papua.
“Rentetan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat terus terjadi di Tanah Papua,” katanya.
Meaga menyatakan serangkaian permasalahan yang terjadi di Tanah Papua menunjukan Indonesia hanya menginginkan sumber daya alam Papua. Menurut Meaga kondisi ini kemudian membuahkan praktik militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM terhadap Orang Asli Papua dan kerusakan lingkungan.
“Karenanya diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak menentukan nasib sendiri atau referendum,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, AMP Komite Kota Bali pada Sabtu (1/4/2023) gagal menggelar demonstrasi damai setelah massanya diadang dan diserang massa organisasi kemasyarakatan Patriot Garuda Nusantara atau PGN di kawasan Kampus Universitas Udayana, Denpasar. Sejumlah demonstran terluka akibat terkena lemparan massa ormas. (*)
