Jayapura, Jubi – Ketua Kelompok Khusus (Poksus) Papua John N.R Gobay mengatakan,masyarakat adat di Tanah Papua masih terbatas dalam kepemilikan modal dan peralatan untuk produksi hasil hutan adat mereka.Kondisi saat ini, masyarakat adat masih bermitra dengan industri lokal sekunder di Papua.
“Selama ini ada dua skema yang dilakukan oleh masyarakat adat. Pertama, masyarakat adat menjalin kemitraan dengan perindustrian kayu yang mempunyai modal. Industri ini biasanya kasih tunai langsung pelaku usaha, kepada masyarakat pemilik hak ulayat” katanya kepada Jubi melalui sambungan selulernya, Rabu (25/10/2022).
Skema kedua, masyarakat adat menjual hasil hutan mereka berupa kayu. Mereka harus menunggu sampai dengan kayu terjual di pasar di luar Papua
“Skema penjualan yang kedua merupakan skema yang rawan untuk terjadi kerugian ketika penjualan ini disebut kayu ilegal oleh penegak hukum. Maka diperlukan regulasi yang jelas dan tegas untuk menjadi payung hukum untuk kemitraan ini, hal yang perlu diatur dalam regulasi kemitraan masyarakat adat atau penggesek kayu dengan pelaku usaha kayu dibawah 6000m3 antara lain terkait, harga beli,proses pembayaran dan lain-lain,” urainya.
Karena itu Pemerintah Pusat penting untuk mengakomodir Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperdasi) tentang Pengelolaan hutan di Provinsi Papua.
“Pemerintah pusat harus meninjau kembali usulan Raperdasi tentang pengelolaan kehutanan yang diusulkan oleh pemerintah Provinsi Papua yang mengesahkan Perdasus No. 21 Tahun 2008, tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Papua. Ini harus akomodir kembali,” katanya.
John Gobay mengatakan, saat pemerintah provinsi Papua mengusulkan Perdasus no 21 tahun 2008, pemerintah pusat disinyalir menolaknya dengan alasan belum adanya pasal yang mengatur tentang hutan adat dalam UU No. 41 Tahun 1999.
“Waktu itu alasan pemerintah pusat menolak. Mereka beralasan, belum Norma Standar Prosedur Kriteria belum ditandatangani oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, sementara pengelolaan kehutanan di Papua tetap terus berjalan, seakan-akan hutan di Provinsi Papua tidak berpenghuni,” katanya.
Gobay mengatakan, sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014, Pemerintah telah diberikan kewenangan Pengelolaan Hutan, yang mempunyai kemampuan produksi sampai dengan 6000M3, melalui PP 106 tahun 2021, telah diatur juga pengelolaan kehutanan yang isinya sedikit berbeda dengan UU No 23 tahun 2014. Untuk itu perlu diatur sebuah regulasi di Provinsi Papua.
“Sebab mengingat pemegang HPH semuanya adalah Pengusaha Non Papua dan berasal dan tinggal di luar Papua, sementara yang lain adalah orang Non Papua dan Papua yang bertempat tinggal di Papua,” katanya.
Saat ini di Provinsi Papua, stakeholder yang mengerjakan hutan dengan usaha kayu, dapat digolongkan sebagai Pengusaha Pemegang HPH, Perusahaan Pengekspor, Pengusaha Pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK),Pengusaha Pemilik Sawmill (penggergajian) , Penggesek Kayu dan Masyarakat.
“Dalam hal tertentu Pemegang HPH selalu menjadi anak emas, sementara ijin untuk Jasa Lingkungan masih terbatas atau belum dilirik,” katanya.
Gobay mengatakan, sejak adanya Putusan MKRI 35, telah diterbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan perambahan hutan, tata batas kawasan (tenurial) dan keadilan bagi masyarakat setempat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan, dalam rangka kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan.
“Ruang lingkup peraturan ini meliputi: hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat. Walaupun telah ada Permen LHK namun di Provinsi Papua belum ada regulasi yang mengatur tentang Perhutanan Sosial, pola kemitraan, sehingga kayu hasil masyarakat yang kemudian dijual oleh pelaku usaha masyarakat juga sering disebut illegal logging,” katanya.
Gobay mengatakan,perizinan di atas tentunya dapat diakses oleh masyarakat adat Papua, karena Hutan merupakan kekayaan masyarakat adat setempat. Tentunya yang di bawah 6000 M 3, sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014 dan PP No 106 tahun 2021, karena ada kewenangan Provinsi.
“Oleh karena hutan di Papua, diperoleh sebagai warisan, Tuhan melalui nenek moyang,orang tua serta hari ini dimiliki oleh masyarakat Papua ang memiliki kearifan lokal, sebuah kebiasaan yang dipatuhi oleh masyarakat adat Papua, untuk itu dalam pengelolaan Hutan Alam karena terdapat dikampung maka perlu juga ada peraturan kampung,” katanya.
Gobay mengatakan, dari berdasarkan uraian fakta fakta kondisi masyarakat adat dan skema sekema itu, Selain Kayu di kampung dapat juga masyarakat papua Hasil hutan bukan kayu (HHBK) adalah mengelola hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan.
“Pengertian lainnya dari hasil hutan bukan kayu yaitu segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang diambil dari hutan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasil hutan bukan kayu pada umumnya merupakan hasil sampingan dari sebuah pohon, misalnya getah, daun, kulit, buah atau berupa tumbuhan-tumbuhan yang memiliki sifat khusus seperti rotan, bambu dan lain-lain,” katanya.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada umumnya merupakan kegiatan tradisionil dari masyarakat yang berada di sekitar hutan, bahkan di beberapa tempat, kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu merupakan kegiatan utama sebagai sumber kehidupan masyarakat sehari-hari.
“Hasil hutan bukan kayu telah lama diketahui menjadi komponen penting dari kehidupan masyarakat sekitar hutan,”katanya.
Gobay mengatakan, bagi sebagian besar penduduk, hasil hutan bukan kayu merupakan salah satu sumber daya penting dibandingkan kayu. Banyak rumah tangga di sekitar kawasan hutan ini, menggantungkan hidupnya terutama pada hasil hutan bukan kayu sebagai kebutuhan sampingan (subsistem) dan atau sebagai sumber pendapatan utama. baik secara sendiri maupun dengan bekerjasama bersama pihak lain dapat mengembangkan Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK) berupa pengolahan bahan baku yang berasal dari hasil hutan bukan kayu yang dipungut langsung dari hutan, antara lain pengolahan rotan, sagu, nipah, bambu, kulit kayu, daun, karet, kakao, kopi, buah atau biji, dan getah.
“Terdapat juga peluang izin Jasa lingkungan yang belum dikelola baik di Papua, antara lain perdagangan carbon ( carbon trade) yang harus juga dikelola masyarakat adat Papua. Tapi juga sebenarnya ada peluang pengembangan jasa lingkungan yang dapat dikelola masyarakat adat Papua. Hanya saja kami masih belum banyak tahu dan belum mendapat pendampingan”katanya.
Gobay mengatakan, Pemen LHK dan UU No 23 Tahun 2014 dan PP No 106 tahun 2021 dapat dibaca pada lampirannya, kewenangan kehutanan di Pemprov Papua.
“Regulasi tersebut diatas merupakan Regulasi, yang belum ditindaklanjuti di Papua dalam bidang kehutanan. untuk itu haruslah dipikirkan regulasi payungnya agar masyarakat adat pemilik hutan adat tetap untung dalam kemitraan. Manfaat ekonomi pengelolaan kehutanan untuk PAD Provinsi Papua maupun Kabupaten/Kota yang diberikan oleh pemegang HPH tidak ada, apalagi manfaatnya bagi pemberdayaan Masyarakat Adat sebagai pemilik hutan,” katanya.(*)