Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan Dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, mengharapkan Tim Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM berat Wamena dan Wasior tidak pungut-pungut aspirasi di jalan, tanpa melibatkan keluarga korban atau korban yang punya hak berbicara.
“Kami melihat proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM, nantinya mau diselesaikan judisial dan non judisial atau dalam bentuk lain, kembali kepada keluarga korban dan korban,” katanya dalam siaran pers yang diterima wartawan Jubi, Rabu (12/10/2022).
Hesegem mengatakan, pentingnya tim melakukan pertemuan dengan keluarga korban dan korban Wasior dan Wamena Berdarah yang masih hidup. Itu sangat penting untuk mendengarkan aspirasi langsung dari mereka sebagai korban dan keluarganya.
“Saya harap agar, tanpa melibatkan orang lain yang bukan korban atau keluarga korban. Kasus Wamena terjadi pada 4 April 2003, dan Wasior terjadi pada tahun 2001, dan menurut saya kedua kasus yang dimaksud memakan waktu yang cukup lama dan sebenarnya sangat membosankan bagi keluarga korban dan korban yang masih hidup, oleh karena itu saya merasa tim akan mengalami banyak tantangan dari keluarga korban,”katanya.
Lanjut Hesegem pada waktu itu, memang Pemerintah pusat sama sekali tidak punya niat baik, untuk menangani dan menyelesaikan dengan serius kedua kasus itu, sampai memasuki tahun 2022. kasus Wamena sudah 20 tahun dan kasus Wasior 21 tahun.
“Sehingga keluarga korban dan korban yang masih hidup, merasa pemerintah pusat dan Komnas HAM RI telah mengabaikan, tidak pernah mendorong ke proses hukum,” katanya.
Sampai hari ini, kedua kasus tersebut masih terkatung-katung di Komnas HAM RI dan Mahkamah Agung. Keluarga korban dan korban yang masih hidup, sangat jenuh dan mereka sebenarnya tidak percaya kepada Pemerintah Pusat dan Komnas HAM RI.
“Karena terkesan mengabaikan dan tidak mau menangani dan serius menyelesaikan kedua kasus yang dimaksud,” katanya.
Hesegem mempertanyakan sebenarnya ada apa, sehingga pemerintah pusat dengan tergesa-gesa terbitkan Keppres No. 17 Tahun 2022, tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (Keppres PPHAM). termasuk kasus di Papua. Ini jadi pertanyaan keluarga korban.
Hesegem mengatakan, terkesan pemerintah mengeluarkan Keppres No.17 Tahun 2022, tergesa-gesa dengan batas waktu yang tidak begitu lama sejak tanggal dikeluarkan 26 Agustus sampai berakhir 31 Desember 2022.
“Waktu yang ditetapkan oleh pemerintah sangat singkat, pertanyaannya berapa lama proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di Papua akan diselesaikan dan berjalan efektif,” katanya.
Hesegem mengatakan ia sangat khawatir dengan adanya Keppres No.17 tahun 2022. Karena punya batas waktu yang sangat terbatas dan tidak punya dasar hukum yang kuat semacam Undang-undang Otonomi Khusus tahun 2001.
“Saya percaya, pemerintah pusat hanya akan raba- raba dan proses penyelesaiannya tidak akan terwujud dan terlaksana sesuai harapan pemerintah,” katanya.
“Setelah saya pelajari Keppres no 17 tahun 2022, tidak punya kekuatan hukum yang kuat seperti UU dan tim hanya membuat rekomendasi dan akan menyampaikan kepada Presiden RI, dan menurut saya tim akan menghadapi dua hal antara lain Keluarga korban akan menolak atau akan menerima,”
Hesegem menilai, Keppres No. 17 Tahun 2022, tidak punya kekuatan hukum dan punya batas waktu yang sangat terbatas dari 26 Agustus s/d 31 Desember 2022.
“Saya juga melihat dan membaca pada pasal 9 huruf c. di sana dapat menyelesaikan bahwa mengusulkan merekomendasikan untuk mencegah agar pelanggaran hak asasi Manusia yang serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang, bunyi yang sama terdapat pada pasal ke 10 ayat yang ke dua (2), pengungkapan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari upaya pemulihan kepada korban atau keluarganya dan mencegah agar pelanggaran hak asasi manusia yang serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang,” katanya.
“Sebagai pembela HAM di tanah Papua, saya menilai sama sekali tidak memberikan harapan yang sesungguhnya.Pemerintah Indonesia akan menghindari Pelanggaran HAM di Papua. Sehingga menurut saya pasal 9 dan 10 bukan jaminan dan tidak akan memberikan jaminan bagi keluarga korban dan pada umumnya bagi masyarakat Papua,” katanya.
Hesegem mempertanyakan mengapa Keppres No. 17 tahun 2022 diterbitkan oleh pemerintah pusat. Sebenarnya kalau punya niat baik, sdelesaikan semua kasus Pelanggaran HAM di Papua, jangan hanya dua kasus saja.
“Ada banyak Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua, semua kasus ini harus diperhatikan dan diselesaikan, namun Pemerintah Pusat hanya fokus Kasus Wamena dan Wasior, kalau dua kasus saja pasti masyarakat Papua dan keluarga korban akan bertanya. Karena kasus yang lain terkesan terabaikan,” katanya.(*)